
Oleh: Agung Gumilar
Pendidik dan pengajar di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) TI PUI Kota Cirebon. Memiliki minat bidang kerelawanan, kebencanaan, parenting, pengembangan diri, serta pendidikan alternatif.
Cerita tentang Indonesia Emas 2045 sering kita dengar seperti janji manis akan masa depan yang hebat. Kita membayangkan negara ini maju dan orang-orangnya pintar. Namun, ada kenyataan pahit di baliknya: kita ingin hasil pendidikan kelas dunia, tapi kita memperlakukan pemeran utamanya—para guru—dengan cara yang jauh dari kata layak.
Sebagai guru yang sudah 15 tahun mengajar di SMK, saya melihat sendiri bagaimana aturan pemerintah sering kali tidak menyentuh masalah yang sebenarnya. Kebijakan yang ada seringnya hanya bagus di kulit luar, sibuk memuja teknologi, tapi lupa memuliakan manusianya.
Data tahun 2024 menunjukkan fakta yang menyedihkan: 74% guru honorer gajinya di bawah Rp2 juta per bulan. Lebih parah lagi, 20,5% dari mereka harus hidup dengan uang kurang dari Rp500 ribu. Ini bukan cuma angka; ini bukti bahwa sistem kita tidak memanusiakan guru. Inilah yang saya sebut sebagai “Absennya Kebijakan yang Memanusiakan Guru”.
Tulisan ini akan membahas masalah tersebut dari empat sisi: uang (kesejahteraan), teknologi, beban kerja, dan perlindungan hukum. Kita akan melihatnya menggunakan sudut pandang nilai perjuangan Persatuan Ummat Islam (PUI), khususnya semangat Ishlah at-Tarbiyah (Perbaikan Pendidikan).
Masalah Ekonomi: Pengabdian atau Pembiaran?
Masalah paling dasar adalah bagaimana negara memandang guru. Istilah “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” sering kali dijadikan alasan untuk membiarkan guru hidup susah.
Padahal, kesejahteraan adalah kunci semangat kerja. Pemerintah menuntut guru untuk kreatif dan pintar teknologi, tapi kebutuhan perutnya tidak diperhatikan. Bagaimana mungkin guru bisa mengajar dengan hebat jika pikirannya terpecah memikirkan uang belanja untuk besok?
Dalam Buku Nilai Dasar Perjuangan PUI Mewujudkan Islam Wasathiyah, K.H. Abdul Halim mengajarkan prinsip kemandirian ekonomi (self-help). Pendidikan bukan cuma soal mencerdaskan otak, tapi juga menyejahterakan hidup. Ketika negara membiarkan guru digaji sangat rendah, negara sebenarnya sedang melanggar prinsip Ishlah (perbaikan). Kebijakan yang memanusiakan guru seharusnya dimulai dengan menetapkan Standar Upah Minimum Guru yang jelas. Tanpa langkah tegas ini, segala pelatihan kurikulum percuma saja karena dasarnya rapuh.
Teknologi Tanpa Hati: Guru vs Mesin
Masalah kedua adalah soal teknologi. Di zaman serba digital dan Kecerdasan Buatan (AI) ini, pemerintah terlalu fokus pada alat: beli laptop, aplikasi rapor digital, dan sejenisnya.
Guru seolah dipaksa bersaing dengan mesin. Kita dituntut mengajar secanggih komputer. Ini cara berpikir yang salah. Tugas guru bukan sekadar memindah ilmu (transfer of knowledge), karena mesin bisa melakukannya lebih cepat.
Dalam Risalah Intisab PUI, kita memegang prinsip Allah Ghayatuna (Allah Tujuan Kami). Artinya, segala sesuatu ada tempatnya. Teknologi hanyalah wasilah (alat/perantara), bukan tujuan utama. Kebijakan yang baik tidak menuntut guru menjadi robot, tapi mengembalikan guru pada peran yang tidak bisa digantikan mesin: memberi kasih sayang, menanamkan akhlak, dan menyentuh jiwa murid.
Teknologi seharusnya hadir untuk membantu, bukan menggantikan. Maksudnya, teknologi harusnya membuat pekerjaan guru lebih ringan, bukan malah menambah beban karena guru harus sibuk mengisi aplikasi sepanjang hari.
Beban Administrasi di Tengah Murid yang Rapuh
Masalah ketiga adalah ketidakpekaan aturan terhadap kondisi jiwa di sekolah. Murid zaman sekarang (Gen Z) jiwanya lebih rapuh. Kasus perundungan (bullying) dan kecemasan mental makin banyak.
Di saat murid butuh bimbingan, guru malah sibuk dengan tumpukan kertas administrasi. Niat Kurikulum Merdeka itu baik, tapi di lapangan, guru malah terjebak rumitnya laporan.
Kita perlu menengok kembali ajaran Santi Asromo dari PUI (1932). Konsep ini mengajarkan keseimbangan antara Head (Otak), Heart (Hati), dan Hand (Tangan). Aturan pendidikan kita sekarang terlalu berat di bukti tertulis (Head) dan keterampilan kerja (Hand), tapi melupakan Heart (Hati).
Guru butuh waktu luang untuk mendengar curhat siswa dan menjadi orang tua di sekolah. Hal ini mustahil dilakukan jika jam kerja guru habis hanya untuk mengisi formulir di laptop demi memenuhi syarat birokrasi.
Gonta-ganti Kurikulum dan Hilangnya Wibawa Guru
Terakhir, guru sering dibuat pusing dengan aturan yang berubah-ubah. Istilah “Ganti Menteri Ganti Kurikulum” bukan sekadar candaan, tapi beban nyata. Guru lelah karena harus terus menyesuaikan diri. Baru paham satu cara, sudah disuruh ganti cara lain. Guru jadi seperti bahan percobaan.
Selain itu, banyak guru yang takut mendidik karena ancaman dipolisikan (kriminalisasi). Dalam Risalah Intisab, PUI mengajarkan Al-Ikhlasu Mabda’una (Ikhlas Asas Kami). Tapi, menyuruh guru ikhlas di tengah ancaman penjara hanya karena menegur siswa, itu tidak adil.
Bagaimana guru bisa mengajarkan karakter jika mereka takut menegur murid? Aturan yang ada sekarang membuat posisi guru lemah. Hubungan guru dan murid jadi kaku. Kita butuh aturan yang melindungi guru, semacam hak khusus saat sedang mengajar, supaya wibawa guru kembali tegak.
Jalan Keluar: Kembali ke Ishlah at-Tarbiyah
Kesimpulannya: Pendidikan kita sedang kehilangan arah karena melupakan manusianya. Kita sibuk mengejar target tinggi, sementara nasib gurunya diabaikan. Jika ingin Indonesia Emas 2045 tercapai, pemerintah harus segera melakukan Ishlah at-Tarbiyah (Perbaikan Pendidikan) yang sungguh-sungguh.
Perbaikan ini harus dimulai dengan anggaran nyata, di mana negara menjamin gaji guru honorer setara UMK tanpa syarat yang rumit. Bersamaan dengan itu, teknologi harus dimanusiakan; hentikan aplikasi yang merepotkan, ganti dengan pelatihan cara mengajar yang penuh kasih sayang. Beban administrasi guru harus dikurangi separuhnya lewat sistem yang serba otomatis. Terakhir, wibawa guru harus dikembalikan lewat aturan hukum yang tegas melindungi guru dari ancaman pidana saat mengajar.
Tanpa langkah nyata ini, perbaikan pendidikan hanya khayalan.
Sudah saatnya pemerintah berhenti melihat guru hanya sebagai alat kecil dalam mesin pendidikan. Guru adalah nyawa dari sekolah. Memanusiakan guru bukan cuma soal naik gaji, tapi juga soal harga diri dan rasa aman. Sebab, TNI menjaga wilayah negara, tapi Guru menjaga akal sehat dan akhlak bangsa. Jangan biarkan benteng terakhir ini runtuh.