Oleh: Dr. KH. Wido Supraha, M.Si. (Wakil Ketua Umum DPP PUI, Direktur Institut Adab Insan Mulia)
PUI.OR.ID – Majalah TEMPO terbitan 22-28 November 2021 mengeluarkan sebuah Opini kontroversial terkait definisi zina. Definisi zina yang sejatinya telah mapan dipahami oleh bangsa Indonesia kembali digugat. TEMPO menuliskan opininya tentang zina: “Mereka, misalnya, menyebut semua hubungan seksual di luar nikah itu sebagai zina. Padahal definisi zina seperti itu belum tentu diterima masyarakat Indonesia. Menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana, hubungan seks gelap disebut zina atau mukah bila pelakunya punya suami atau istri yang sah. Perzinaan baru masuk ranah pidana bila suami atau istri mengadukan perkaranya.”
KUHP yang berlaku saat ini memang mendefinisikan zina sebagai hubungan seksual dari seseorang yang terikat dengan ikatan perkawinan. Artinya, terdapat kekosongan hukum (rechtvacuum) atas hukum hubungan seksual yang sama sekali tidak terikat dengan perkawinan. Kekosongan hukum inilah yang telah seringkali diingatkan oleh bangsa Indonesia untuk segera dibuat aturannya, dan salah satu upanya adalah dengan hampir diketok palunya RUU KUHP di tahun 2019 yang lalu.
Bagi umat Islam sebagai mayoritas bangsa Indonesia, zina terbagi atas zina majazi (zina mata, zina kaki, zina tangan, zina mulut) dan zina hakiki (zina kelamin). Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
إن الله كتب على ابن آدم Øظه من الزنا أدرك ذلك لا Ù…Øالة Ùزنا العينين النظر وزنا اللسان النطق والنÙس تمنى وتشتهي والÙرج يصدق ذلك أو يكذبه
Allah telah menakdirkan anak Adam sebagian dari zina yang akan dialaminya, bukan mustahil. Zina kedua mata adalah melihat. Zina mulut adalah berkata. Zina hati adalah berharap dan berkeinginan. Sedangkan alat kelamin itu membuktikannya atau mendustakannya.
Istilah zina majazi dan hakiki yang lahir dari Ad-Dibaj, Syarah Shahih Muslim ibn al-Hajjaj karya Jalaluddin as-Suyuthi (1445-1505 M) ini menerangkan bahwa jika seseorang mampu menjauhkan dirinya dari zina majazi maka ia akan terjaga dari zina hakiki yang merupakan bagian dari dosa besar. Berkata as-Suyuthi dalam ad-Dibaj (hlm. 20):
إن الله سبØانه تعالى كتب على بن آدم Øظه من الزنى الØديث معناه أن بن آدم قدر عليه نصيب من الزنى Ùمنهم من يكون زناه Øقيقيا بإدخال الÙرج ÙÙŠ الÙرج الØرام ومنهم من يكون زناه مجازا) بالنظر الØرام ونØوه من المذكورات Ùكلها أنواع من الزنى المجازي والÙرج يصدق ذلك أو يكذبه أي إما أن ÙŠØقق الزنى بالÙرج أو لا ÙŠØققه بأن لا يولج وإن قارب ذلك وجعل بن عباس هذه الأمور وهي الصغائر تÙسيرا للمم Ùإن ÙÙŠ قوله تعالى الذين يجتنبون كبائر الإثم والÙواØØ´ إلا اللمم النجم عمر ÙتغÙر باجتناب الكبائر
“Sesungguhnya ketika Allah telah menakdirkan anak Adam sebagian dari zina, hadits tersebut maknanya adalah bahwa setiap anak Adam ditakdirkan melakukan sebagian dari zina. Sebagian dari mereka ada yang berzina hakiki dengan memasukkan alat kelamin ke dalam kelamin yang diharamkan. Sebagian lainnya berzina secara majazi, yaitu memandang yang diharamkan atau semisalnya yang tersebut dalam hadits. Semua yang tersebut itu merupakan zina majazi. Sedangkan alat kelamin membuktikan (membenarkannya) atau mendustakannya, bisa jadi dengan merealisasikan zina dengan alat kelamin atau tidak merealisasikannya dengan tidak memasukkan alat kelaminnya meski hanya mendekati. Ibnu Abbas memahami tindakan itu semua sebagai dosa kecil sebagai tafsiran atas kata ‘al-lamam’ atau kesalahan kecil. Allah berfirman, ‘Orang yang menjauhi dosa besar dan perbuatan keji selain kesalahan kecil,’ pada surat An-Najm. Kesalahan kecil itu dapat diampuni dengan menjauhi dosa besar.”
Maka bagi bangsa Indonesia yang Berketuhanan Yang Maha Esa, jelaslah bahwa yang disebut zina adalah masuknya alat kelamin ke dalam alat kelamin. Perbuatan seksual dengan definisi ini akan menyebabkan begitu banyak persoalan sosial di masyarakat seperti: aborsi, kehilangan nasab, penyakit kelamin, penyakit sosial, depresi, bunuh diri, kerusakan ketahanan keluarga, hingga sengaja menjadi pelaku prostitusi karena merasa ‘habis manis sepah dibuang’. Ini belum ditambah dengan persoalan zina laknat, yakni memasukkan kelamin pria ke dubur laki-laki, yang meningkatkan penyakit kelamin di Indonesia.
Mengingat dampak buruk bagi kehidupan sosial dan ketahanan keluarga di Indonesia, sangat wajar negara wajib turun tangan untuk mengisi kekosongan hukum tersebut, dan tidak menutup mata dengan berdalih bahwa itu hanya ‘urusan privat’. Sebagaimana moto TEMPO, ‘Enak Dibaca dan Perlu’, cara penulisan opini yang tidak sejalan dengan pandangan hidup Pancasila ini menjadikan majalah ini kembali ‘Tidak Enak Dibaca dan Tidak Perlu’.