
LANGKAT – Ahad, 21 Desember 2025 kemarin adalah Milad Persatuan Ummat Islam (PUI) ke-108. Di banyak daerah, peringatan ini berlangsung dengan upacara, lomba-lomba, dan keceriaan anak-anak di sekolah. Sehari setelahnya, hari ini, 22 Desember, biasanya anak-anak bangun pagi lalu berkata di rumah, “Bu, selamat Hari Ibu.” Ada yang memberi bunga, ada yang membuat kartu kecil, ada yang sekadar memeluk ibunya erat.
Namun di Langkat, Sumatera Utara, semua itu terasa jauh.
Di sini, anak-anak tidak merayakan Hari Ibu dengan kertas warna atau panggung lomba. Mereka merayakannya di community center Posyandu Wanita PUI, dengan pakaian seadanya, dengan kenangan rumah yang sudah tidak ada lagi.
Hari ini, PUI Peduli Kemanusiaan menghadirkan kegiatan trauma healing bagi sekitar 70 anak korban bencana Sumatera. Sebuah peringatan yang sunyi, namun sangat bermakna.
Kak Andi Alang datang membawa boneka tangan. Bukan sekadar boneka, tetapi perantara untuk menyentuh hati anak-anak yang terlalu cepat belajar tentang kehilangan.
Di awal kegiatan, suasana terasa berat.
Beberapa anak menatap kosong.
Sebagian lain duduk diam, memeluk lututnya, seolah takut jika tertawa berarti melupakan apa yang telah hilang.
Lalu boneka itu berbicara—lucu, canggung, jatuh bangun, dan menyapa anak-anak dengan penuh kasih.
Pelan-pelan, satu senyum muncul.
Lalu senyum lain.
Hingga akhirnya tawa pecah, memecah sunyi yang selama ini membungkam jiwa-jiwa kecil itu.
Cobalah zoom foto-foto dan video mereka.
Perhatikan baik-baik.
Senyum itu tidak dibuat-buat.
Ia lahir dari dalam—dari anak-anak yang sedang berusaha bangkit.
Di antara mereka ada Alya (bukan nama sebenarnya), 7 tahun. Sejak banjir datang, Alya sering terdiam. Ibunya bercerita, Alya beberapa kali bertanya lirih,
“Bu, kita masih bisa pulang nggak ke rumah kita?”
Saat sesi dimulai, Alya duduk di sudut, menunduk, menggenggam ujung bajunya. Ketika boneka tangan menyapanya, Alya hanya menggeleng, matanya berkaca-kaca.
Namun ketika boneka itu pura-pura kehilangan rumahnya dan berkata, “Aku sedih, tapi aku mau punya teman yang bisa bikin aku ketawa,” Alya menatap.
Lalu tersenyum tipis.
Lalu tertawa kecil.
Dan akhirnya tertawa lepas.
Ibunya menangis di belakang tenda.
Bukan karena luka—
tetapi karena itulah tawa pertama Alya sejak bencana.
Tak jauh dari sana ada Rizki (nama samaran), 6 tahun. Ia kehilangan sepeda kesayangannya, buku-buku sekolahnya hanyut, dan sejak itu ia jarang berbicara tentang masa depan.
Ketika boneka bertanya, “Kalau nanti besar, kamu mau jadi apa?”, Rizki terdiam lama.
Lalu ia menjawab pelan,
“Orang yang suka nolong orang, biar nggak sedih kayak aku.”
Saat anak-anak lain tertawa, Rizki ikut tertawa.
Untuk sesaat, beban di pundaknya yang kecil itu terasa luruh.
Ia kembali menjadi anak-anak.
Hari ini, di Hari Ibu, para ibu di Langkat tidak menerima bunga.
Namun mereka menerima sesuatu yang jauh lebih berharga:
senyum anak-anak mereka yang kembali hidup.
Perjalanan belum selesai.
Ketua Tim Asep Kurniawan bersama Tim PUI Peduli Kemanusiaan saat ini sedang bersiap dan bergerak menuju Aceh dan basecamp-basecamp PUI lainnya, untuk kembali menghadirkan tawa, pelukan, dan ruang aman bagi anak-anak korban bencana di tempat lain.
Kami mengajak Anda untuk ikut membersamai langkah ini.
Titipkan kebaikan Anda dalam bentuk yang disukai anak-anak:
🍭 jajan sederhana
🎨 alat gambar dan mewarnai
📒 buku tulis dan alat sekolah
🧸 mainan kecil yang menghadirkan bahagia
Karena bagi anak-anak korban bencana,
satu pensil warna bisa berarti satu harapan.
Dan hari ini, di tengah duka,
kita belajar bahwa kebahagiaan bisa lahir kembali—
dari tenda pengungsian,
dari boneka tangan,
dan dari senyum anak-anak yang akhirnya berani tertawa lagi 🤍
—
🤲 Ayo Titipkan Kebaikan Anda
📌 Salurkan donasi melalui:
🏦 BNI: 282605979
👤 a.n. DPP Persatuan Ummat Islam
📲 Konfirmasi donasi:
📞 0857-9498-1871 (Sdr. Yanto)
🤲 Semoga setiap rupiah dan setiap kebaikan yang dititipkan menjadi amal jariyah, menguatkan para ibu, menyembuhkan anak-anak, dan menjadi saksi cinta kemanusiaan kita di hadapan Allah SWT.
Aamiin ya Rabbal ‘alamin.