Kabar DaerahSiaran Pers

Keputusan Menag Soal Majelis Masyayikh Dinilai Cacat Hukum

PUI.OR.ID, JAKARTA – Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas dianggap telah berbohong kepada publik dalam pernyataannya tentang pengukuhan Majelis Masyayikh, Kamis (30/12). Bahkan keputusan pengukuhannya atas Majelis Masyayikh itu dinilai inkonsitusional alias cacat hukum, dan harus dibatalkan.

“Apa yang dikatakan Menag tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya,” kata KH. Ahmadie Thaha, pengasuh pesantren, usai mengikuti petemuan dengan para kyai yang tergabung dalam Forum Komunikasi Pesanten Muadalah (FKPM), tadi malam. “Bahkan keputusan pengukuhan Menag itu cacat hukum, dan harus dibatalkan.”

Sebelumnya, dalam siaran pers yang dirilis Kemenag disebutkan, Menag secara resmi telah mengukuhkan sembilan orang kiai sebagai pengurus Majelis Masyayikh Pesantren. Pada kenyataannya, menurut Ahmadie yang Anggota Majelis Syura Persatuan Ummat Islam (PUI), Menaglah yang memilih nama-nama yang harus duduk di Majelis Masyayikh.

Menurut Undang-Undang Nomor 18 tahun 2019 tentang Pesantren, Majelis Masyayikh harus dibentuk sebagai instrumen Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Pesantren. Mutu ini meliputi aspek peningkatan kualitas dan daya saing sumber daya, penguatan pengelolaan, serta peningkatan dukungan sarana dan prasarana pesantren.

Dalam pasal 75 Peraturan Menteri Agama No 31 Tahun 2020 ditegaskan, Menteri hanya bertugas menetapkan Majelis Masyayikh. Sementara itu, demi kemandirian yang menjadi ciri khas pesantren yang diakui Undang-Undang, proses pemilihan bakal calon anggota Majelis Masyayikh hingga penetapannya sebagai calon untuk selanjutnya diserahkan ke Menag agar ditetapkan melalui keputusan menteri, sepenuhnya merupakan kewenangan Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA).

KH. Ahmadie Thaha

Kyai Ahmadie yang juga wartawan senior mencatat setidaknya dua dari sembilan Tim AHWA menjelaskan dalam rapat FKPM bahwa, Menag telah melampaui kewenangannya dengan “memilih” sembilan orang dari 21 nama (semula 22) pilihan AHWA yang menyatakan bersedia menjabat Majelis Masyayikh.

“Betul, Menag yang memilih kesembilan nama itu, lalu menetapkan dan mengukuhkan mereka sebagai Majelis Masyayikh,” kata KH. Ahmad Taufiq A. Rahman, salah seorang anggota Tim AHWA, ke peserta rapat. “Saya sangat kecewa dengan keputusan Menag yang mencoret sebagian besar nama yang kami sampaikan untuk dikukuhkan.”

Anggota Tim AHWA lainnya, KH. Agus Budiman, membeberkan proses panjang pemilihan Majelis Masyayikh yang ditugaskan kepada pihaknya. Terakhir, Tim ini berhasil menyeleksi bakal calon, selanjutnya Tim memilih 22 nama sebagai calon tetap Majelis Masyayikh.

Karena terdapat seorang calon yang menyatakan tak bersedia, akhirnya Tim AHWA menetapkan 21 nama. Sesuai peraturan, ke-21 nama inilah yang disampaikan AHWA kepada Menag. Tugas Menag selanjutnya, sesuai peraturan, mestinya menetapkan calon yang diajukan AHWA tersebut sebagai anggota Majelis Masyayikh dengan jumlah minimal 9 orang hingga maksimal 17 orang.

“Namun, Menag bukannya menetapkan nama-nama calon yang disampaikan Tim AHWA, tapi malah memilih hanya sembilah nama,” tegas Kyai Agus Budiman. Kesembilan nama itu pun hanya berasal dari kelompok atau unsur pesantren salafiyah, dengan menafikan keberadaan wakil dari pesantren khalafiyah (modern).

Menurut Kyai Agus, sebetulnya Tim AHWA melalui musyawarah mufakat telah sepakat memutuskan agar jumlah anggota Majelis Masyayikh diambil maksimal, yaitu 17 orang. Alasannya, karena ini Majelis Masyayikh yang pertama, yang harus bekerja ekstra dalam menata organisasi dan membuat peraturan terkait penjaminan mutu pesantren.

Itu sebabnya, pihaknya mengajukan 21 nama, agar Menag menetapkan 17 orang di antaranya. Namun yang terjadi, Menag malah membonsai Majelis Masyayikh hanya terdiri sembilan orang, dengan menyingkirkan sebagian besar nama yang diajukan Tim AHWA.

Yang jauh lebih mengecewakan Kyai Agus, itu tadi, Menag dalam keputusannya melabrak prinsip proporsionalitas yang diamanatkan peraturan perundang-undangan, sehingga membuat keputusannya menyimpang. “Menag telah bertindak sektarian. Ini sungguh absurd dan keputusan sembrono,” tegasnya.

Ahmadie Thaha menyebut, dalam formasi Majelis Masyayikh tersebut memang tidak terdapat wakil dari pesantren muadalah. “Ini betul-betul penghinaan terhadap keberadaan pesantren muadalah,” katanya. “Bagaimana mungkin pemerintah menafikan keberadaan pesantren muadalah dengan tidak diberi wakil untuk duduk di Majelis Masyayikh?”

Itu sebabnya, dalam rapat tersebut Sekjen FKPM KH Lukmanul Hakim menyatakan akan berjuang sekuat tenaga untuk meluruskan keputusan Menag terkait Majelis Masyayikh. Jika Menag tak mencabut keputusannya, atau paling tidak memperbaikinya, bukan mustahil pihaknya atau pihak-pihak lain akan menggugatnya di pengadilan.

Dia menjelaskan, pihaknya di FKPM sungguh serius dalam membuat usulan nama-nama untuk dibawa Tim AHWA. Nama-nama itu telah digodog dan dibahas dalam beberapa kali rapat, dengan harapan Majelis Masyayikh dapat mengemban tugasnya yang berat meningkatkan mutu pesantren.

Namun, dengan komposisi Majelis Masyayikh seperti sekarang yang tak melibatkan beragam unsur pesantren, dia mempertanyakan kesungguhan Kementerian Agama dalam meningkatkan dan menjamin mutu pesantren.

Related Articles

Back to top button