
Oleh: Muhammad Rijal Wahid Muharram
Wakil Ketua Bidang Dikdasmen DPP PUI
Akhir-akhir ini, saat masih hangat-hangatnya momentum peringatan Hari Pahlawan Nasional, publik dikejutkan oleh kisah dua guru dari Luwu Utara—Abdul Muis dan Rasnal—yang terjerat hukum karena tindakan untuk membantu guru honorer yang telah berbulan-bulan tidak menerima gaji. Mereka mengusulkan iuran sukarela dari orang tua murid, yang bahkan disepakati bersama komite sekolah, sebuah langkah spontan yang lahir dari rasa solidaritas dan tanggung jawab moral.
Kronologi pilu ini berawal dari inisiatif mulia pada tahun 2018, di mana mereka mencari solusi agar sekitar 10 guru honorer yang tak terdaftar di Dapodik tetap mendapat insentif.
Namun niat baik itu justru berujung pada proses hukum, vonis bersalah, dan pemecatan dari status ASN.
Perjalanan kasus ini membuat banyak orang tercekat. Ada ironi yang terasa menyesakkan: pada saat guru membantu sesamanya untuk bertahan hidup, negara justru hadir melalui pintu penegakan hukum, bukan melalui pintu empati.
Namun pada titik tertentu, ada cahaya yang muncul. Presiden Prabowo Subianto kemudian menerbitkan rehabilitasi bagi kedua guru tersebut—sebuah isyarat pemulihan moral yang menegaskan bahwa negara mengakui adanya ketidakselarasan antara niat baik dan konsekuensi hukum yang mereka alami.
Rehabilitasi ini tentu perlu diapresiasi. Tetapi ia juga menyimpan pesan yang jauh lebih dalam: bahwa ada sesuatu yang perlu dibenahi dalam sistem pendidikan kita, sebelum kasus serupa terulang pada guru-guru yang lain.
Beberapa hari ke depan akan menyambut Hari Guru Nasional 25 November, kisah dua guru tersebut menjadi cermin besar untuk menelaah kembali bagaimana bangsa ini memperlakukan mereka yang kita sebut “pahlawan tanpa tanda jasa”.
Wajah Keadilan yang Perlu Kita Tengok
Ketika guru dihukum karena solidaritas, kita dipaksa untuk bertanya ulang: apa sebenarnya definisi keadilan dalam dunia pendidikan kita? Hukum memang penting, tetapi hukum yang baik selalu memberi ruang bagi konteks kemanusiaan. Ia sensitif terhadap situasi, tidak buta terhadap niat.
Kisah ini mengungkap realitas yang sering tidak terucap bahwa beban pendidikan di Indonesia kerap diselesaikan oleh rakyat sendiri. Guru, komite sekolah, dan orang tua murid—merekalah yang sering menjadi bantalan pertama ketika anggaran tersendat atau mekanisme birokrasi berjalan lambat. Mereka gotong-royong untuk menambal kekurangan demi keberlangsungan proses belajar.
Sayangnya, ruang abu-abu inilah yang kemudian menjadi lubang hukum yang menjerat Abdul Muis dan Rasnal.
Antara Pujian Tahunan dan Kenyataan Lapangan
Setiap tahun kita merayakan Hari Guru dengan tema-tema indah: dedikasi, pengabdian, pahlawan tanpa tanda jasa. Namun slogan itu sering berjarak dari kenyataan di lapangan. Banyak guru honorer masih digaji jauh di bawah kelayakan. Banyak yang menggantungkan hidup pada iuran komite. Banyak yang bekerja di ruang kelas yang catnya dibeli dari kocek sendiri.
Ketika kebutuhan lapangan tidak sejalan dengan desain kebijakan, guru sering mengambil inisiatif. Tetapi inisiatif itu menjadi rapuh karena ketidakjelasan regulasi. Ketika mereka menolong, mereka bisa dianggap melanggar. Di titik inilah, rehabilitasi dari Presiden menjadi penting—bukan hanya sebagai pemulihan nama baik, tetapi sebagai pengingat bahwa guru tidak boleh dibiarkan sendirian mengatasi persoalan sistem.
Belajar dari Chicago dan Finlandia
Apa yang menimpa dua guru kita di Luwu Utara—dalam skala berbeda—sebenarnya memiliki gema moral dengan sejarah pendidikan dunia. Salah satu kasus paling terkenal adalah Chicago Teachers’ Strike 2012, ketika lebih dari 25.000 guru di Chicago melakukan mogok terbesar dalam sejarah Amerika modern. Mereka memprotes kebijakan pemerintah kota yang menilai guru berdasarkan kinerja siswa semata, memotong anggaran, dan memperketat aturan tanpa mempertimbangkan realitas di lapangan. Guru merasa dihukum oleh sistem yang tidak memahami kehidupan kelas yang sesungguhnya. Mereka mengajar di ruang-ruang belajar yang terlalu padat, fasilitas minim, murid dengan kompleksitas sosial tinggi—namun kebijakan dibuat dari menara gading.
Guru-guru Chicago turun ke jalan bukan karena mereka menolak evaluasi, tetapi karena mereka menolak ketidakadilan. Mereka menuntut agar kebijakan berpijak pada kemanusiaan, bukan sekadar angka. Setelah tujuh hari mogok, pemerintah dipaksa bernegosiasi: gaji ditingkatkan, aturan penilaian direvisi, dan kepadatan kelas diperbaiki. Pelajarannya jelas—ketika kebijakan salah sasaran, gurulah pihak pertama yang terluka.
Pelajaran kedua datang dari Finlandia, negara yang kini menjadi ikon pendidikan dunia. Keberhasilan Finlandia tidak lahir dari protes massal atau mogok besar, tetapi dari keputusan radikal negara sejak 1970-an untuk meningkatkan martabat guru. Pemerintah Finlandia memutuskan bahwa pendidikan hanya bisa maju jika guru diperlakukan sebagai profesional berkelas tinggi. Maka mereka memperkuat pendidikan guru hingga setara dengan pendidikan kedokteran, memberi otonomi profesional yang luas, menghapus birokrasi yang tidak perlu, dan membangun kurikulum fleksibel yang berlandaskan kepercayaan, bukan kecurigaan. Tidak ada “teachers’ march”, tetapi ada political will kuat untuk menempatkan guru sebagai pilar utama pembangunan bangsa.
Dua kisah dunia ini mengajarkan bahwa kualitas pendidikan hanya dapat tumbuh jika negara memperkuat, bukan menghukum, mereka yang menjaga masa depan bangsa di ruang-ruang kelas.
Momentum Agar Negara Hadir Lebih Nyata
Kisah ini seharusnya menjadi alarm pengingat bagi para pengambil kebijakan. Jika guru masih harus berjuang sendiri untuk menutupi kekurangan sistem, maka kita belum benar-benar menghormati profesi yang kita elu-elukan setiap 25 November.
Inisiasi dari Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad yang mendengarkan aspirasi masyarakat bersama Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi, yang disetujui oleh Presiden Prabowo Subianto dengan pemberian rehabilitasi kepada dua guru tersebut, memberikan secercah harapan kehadiran Negara yang lebih dalam pada dunia pendidikan.
Setidaknya, ada tiga momentum pembelajaran:
Pertama, negara harus memastikan kesejahteraan guru sebagai prioritas, bukan retorika.
Tidak boleh ada lagi cerita guru honorer menunggu gaji berbulan-bulan. Tidak boleh ada lagi sekolah meminjam solidaritas masyarakat untuk menutupi kekurangan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara.
Kedua, regulasi harus disinkronkan dengan realitas sekolah.
Aturan yang tidak membumi hanya akan menjebak guru dalam dilema moral-hukum. Mereka ingin membantu, tetapi khawatir disalahkan.
Ketiga, pemulihan martabat guru harus bersifat struktural, bukan event tahunan.
Rehabilitasi dari Presiden adalah langkah simbolik yang baik, tetapi langkah berikutnya perlu ditindaklanjuti dengan revisi kebijakan, perlindungan hukum, dan penataan kesejahteraan bagi seluruh guru.
Pelajaran dari 10 November, Harapan untuk 25 November
Hari Pahlawan mengajarkan keberanian melawan ketidakadilan. Hari Guru mengajarkan bahwa masa depan bangsa lahir dari ruang-ruang kelas yang ditopang oleh kerja senyap para pendidik.
Dua momen ini seakan terhubung oleh kisah Abdul Muis dan Rasnal. Bahwa menjadi pahlawan tidak selalu berarti bertempur; kadang berarti bertahan dalam sistem yang belum sempurna. Dan bahwa guru, dalam keheningan tugasnya, juga menanggung luka ketika negara terlambat hadir.
Jika kita benar-benar ingin memuliakan guru, maka mulailah dengan memastikan mereka tidak lagi dihukum karena kebaikan. Pastikan negara hadir bukan hanya saat menegur, tetapi saat menopang. Pastikan guru tidak perlu menggantungkan harapan pada gotong-royong masyarakat karena seharusnya negara ada di sana lebih dulu.
Guru tidak meminta disanjung.
Mereka hanya ingin dihargai dengan keadilan.
Dan mungkin, itulah makna Hari Guru yang sesungguhnya.