KH. Sholeh Iskandar: Ulama PUI Pejuang Bangsa yang Layak Menjadi Pahlawan Nasional

Oleh: Ahmad Gabriel
Wakil Ketua Umum PP Pemuda PUI

Di antara barisan ulama yang berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, nama KH. Sholeh Iskandar menempati tempat yang istimewa. Beliau bukan hanya ulama karismatik dari Bogor, tetapi juga pejuang bersenjata yang terjun langsung ke medan perang melawan penjajah, sekaligus pendidik, pendakwah, dan pembangun masyarakat setelah Indonesia merdeka.

Kini, menjelang peringatan Hari Pahlawan pada 10 November 2025, Pemerintah Republik Indonesia telah menerima pengajuan nama beliau sebagai salah satu calon Pahlawan Nasional, dan rasanya sulit untuk menolak bahwa Ajengan Sholeh Iskandar—begitu masyarakat memanggilnya—memang layak berada di barisan para pahlawan bangsa.

Santri dan Kader PUI Sejati

Sedikit yang mengetahui bahwa KH. Sholeh Iskandar memiliki hubungan historis yang sangat erat dengan Persatuan Ummat Islam (PUI). Beliau adalah santri KH. Ahmad Sanusi, pendiri PUI, ketika menimba ilmu di Pesantren Cantayan, Genteng Babakan Sirna, dan Gunung Puyuh, Sukabumi. Dari sang guru, Ajengan Sholeh mewarisi semangat jihad, keteguhan tauhid, dan cita-cita memadukan iman dengan perjuangan kebangsaan.

Hubungan itu kian menguat ketika KH. Sholeh Iskandar menikahi Ny. Maryam, putri KH. Ahmad Sanusi dari istrinya Ny. Edoh. Dengan demikian, beliau bukan hanya santri, tetapi juga menantu langsung pendiri PUI. Tak heran bila nilai, pemikiran, dan tradisi PUI sangat mewarnai seluruh perjalanan hidupnya.

Sebagai kader yang tumbuh di bawah bimbingan KH. Ahmad Sanusi, KH. Sholeh Iskandar tercatat sebagai anggota Al-Ittihadiyatul Islamiyah (AII) / Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII)—organisasi yang kelak menjadi bagian dari Fusi PUI tahun 1952. Pada momen bersejarah itu, beliau menjadi Anggota Delegasi Pengurus Besar PUII , yang ikut merumuskan fusi antara PUII dan Perikatan Ummat Islam (PUI) menjadi satu wadah besar: Persatuan Ummat Islam (PUI).

Pasca fusi, Ajengan Sholeh diamanahi sebagai Pembantu Umum Pengurus Besar PUI. Dalam Muktamar PUI pertama pasca fusi (10–14 Oktober 1952 di Bandung), beliau turut menjadi anggota panitia penyusun Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan redaksi Tafsir Asas PUI bersama tokoh-tokoh nasional seperti RU Sumaatmaja, Mr. Sujono Harjosudiro, M. Fadil Dasuki, dan Sudarja. Pada periode berikutnya, KH. Sholeh Iskandar tetap menjadi pengurus inti PUI hingga akhir hayatnya—tercatat sebagai Anggota Dewan Pembina PB PUI periode 1989–1994, sebelum wafat tahun 1992. Upaya mengawal pengajuan KH. Sholeh Iskandar sebagai Pahlawan Nasional juga menjadi salah satu hasil rekomendasi Muktamar PUI ke-15 pada 13-15 Mei 2025 lalu.

Dari Medan Jihad ke Medan Pengabdian

KH. Sholeh Iskandar lahir pada 22 Juni 1922 di Kampung Pasarean, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, sebagai anak kedua dari lima bersaudara pasangan H. Muhammad Arif Marsa dan Hj. Atun Halimah. Sejak kecil, beliau menunjukkan minat kuat terhadap ilmu agama, dan atas dorongan orang tuanya, beliau berangkat ke Sukabumi untuk berguru kepada KH. Ahmad Sanusi—pilihan yang kelak membentuk arah hidupnya sebagai ulama pejuang.

Saat proklamasi kemerdekaan berkumandang, Ajengan Sholeh tidak berpangku tangan. Ia memimpin pasukan Hizbullah, kemudian bergabung dengan Batalyon O Siliwangi, berpangkat Kapten, berjuang di kawasan Bogor Barat hingga Banten. Ia bukan hanya saksi sejarah, tetapi pelaku langsung dalam perjuangan bersenjata merebut kemerdekaan. Dengan senjata di tangan dan takbir di dada, ia melawan pasukan kolonial yang ingin merebut kembali tanah air.

Dalam sebuah kisah kepada sahabatnya di ICMI Orwil Bogor, Dr. Ir. H. Apendi Arsyad, M.Si., beliau pernah menyampaikan bahwa ia pernah merampas dan melucuti senjata para penjajah di Bogor secara langsung. KH Sholeh juga berkata:

“Begitu besar jasa masyarakat desa di wilayah Bogor Barat yang membantu kami para pejuang Hizbullah dan TNI dengan kiriman nasi bungkus, bahkan rumah mereka rela dijadikan tempat persembunyian. Karena itu saya merasa berutang budi kepada mereka, dan itulah alasan saya membangun pendidikan, kesehatan, dan ekonomi kerakyatan agar masyarakat desa hidup sejahtera.”

Kutipan ini menggambarkan dengan jelas: perjuangan KH. Sholeh Iskandar tidak berhenti di medan perang, melainkan berlanjut dalam bentuk jihad sosial—membangun masyarakat dari bawah.

Ujian dan Keteguhan di Masa Orde Lama

Pada masa pemerintahan Orde Lama, KH. Sholeh Iskandar beberapa kali dipanggil ke Istana Bogor oleh Presiden Soekarno yang ingin mengangkatnya sebagai Menteri Veteran. Namun, dengan rendah hati beliau menolak jabatan itu karena tidak ingin terlibat dalam politik kekuasaan. Tak lama setelah penolakan itu, ia ditangkap dan dipenjara selama empat tahun tanpa proses hukum.

Penangkapan itu diduga terkait aktivitas beliau dalam Partai Masyumi bersama Mohammad Natsir, KH. Noer Alie, dan ulama lainnya—partai Islam yang berseberangan dengan gagasan Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) Soekarno.

Dalam satu kesempatan beliau pernah berkata:

“Saya ditahan sampai tiga kali oleh Orde Lama itu. Dan dilepas tanpa diperiksa dan diproses.”

Sikap ini memperlihatkan karakter khas ulama PUI: teguh, berprinsip, dan tidak tergoda kekuasaan.

Pembangun Peradaban dan Teladan Kesederhanaan

Setelah bebas, Ajengan Sholeh menempuh jalan dakwah dan pendidikan. Ia mendirikan berbagai lembaga penting seperti Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor, Pesantren Darul Falah, Pesantren Darul Muttaqien Parung, Rumah Sakit Islam Bogor, BPRS Amanah Ummah, dan Badan Kerjasama Pondok Pesantren (BKSPP). Semua itu dibangun atas dasar cinta kepada rakyat kecil dan semangat Islam kaffah yang menjadi ruh perjuangan PUI.

Beliau juga aktif membina ICMI Orwil Khusus Bogor, menjadi Ketua Dewan Penasehat MPW ICMI pertama (1991–1992), serta menjadi guru bagi aktivis Pemuda PUI, HMI dan KAHMI. Dalam keseharian, beliau hidup sederhana, disiplin ibadah, dan selalu menulis selepas salat Subuh—kebiasaan yang menjadi inspirasi bagi murid-murid dan sahabatnya.

Wafat dalam Dakwah

KH. Sholeh Iskandar wafat pada 22 April 1992 saat sedang memberikan tausiyah di kantor BKSPP Bogor dalam pengajian rutin bulanan. Seusai salat Zuhur dan makan siang, beliau beristirahat, dan menjelang Ashar, beliau berpulang ke rahmatullah.

Ia wafat dalam keadaan berdakwah—tanda khusnul khatimah seorang ulama pejuang. Jasadnya dimakamkan di pemakaman keluarga di Desa Barengkok, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor.

Pahlawan dalam Arti Sejati

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 menyebut bahwa Pahlawan Nasional adalah warga negara yang berjuang melawan penjajahan atau menghasilkan karya luar biasa bagi bangsa dan negara. KH. Sholeh Iskandar memenuhi semua kriteria itu:

KH. Sholeh Iskandar adalah pahlawan dalam arti sejati—yang berjuang dengan senjata, berpikir dengan ilmu, dan mengabdi dengan cinta.

Mengembalikan Keadilan Sejarah

Menjadikan KH. Sholeh Iskandar sebagai Pahlawan Nasional bukan sekadar penghargaan bagi pribadi beliau, tetapi juga bentuk keadilan sejarah bagi ulama dan santri, khususnya keluarga besar PUI yang telah menjadi bagian integral dari perjuangan bangsa. Sejarah kemerdekaan Indonesia tidak hanya ditulis dengan tinta politik dan diplomasi, tetapi juga dengan darah dan doa para ulama.

Bangsa ini, hanya akan besar jika menghargai jasa para pahlawannya. Kini, sudah saatnya bangsa Indonesia menunaikan amanah itu—dengan menempatkan KH. Sholeh Iskandar, ulama PUI yang menorehkan sejarah di medan perang dan medan pengabdian, sebagai Pahlawan Nasional Republik Indonesia.

Exit mobile version