
Khutbah Idul Adha 1446 H:
Cinta dan Pengorbanan untuk Allah SWT
Oleh: DR. KH. Wido Supraha, M.Si., Sekretaris Majelis Syura PUI | Disampaikan di Masjid Patal Senayan, Jakarta
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
اللهُ أَكْبَر/ اللهُ أَكْبَر/ اللهُ أَكْبَر/ اللهُ أَكْبَر/ اللهُ أَكْبَر/ اللهُ أَكْبَر/ اللهُ أَكْبَر/ اللهُ أَكْبَر/ اللهُ أَكْبَر
اللهُ أَكْبَر خَلَقَ الْخَلْقَ وَأَحْصَاهُمْ عَدَداً، وَكُلُّهُمْ آتِيْهِ يَوْمَ القِيَامَةِ فَرْداً، اللهُ أَكْبَر عَزَّ رَبُّنَا سُلْطَاناً وَمَجْداً، وَتَعَالى عَظَمَةً وَحُلْماً، عَنَتْ الوُجُوْهُ لِعَظَمَتِهِ وَخَضَعَتْ الخَلَائِقِ لِقُدْرَتِهِ، اللهُ أَكْبَر مَا ذَكَرَهُ الذَّاكِرُوْنَ، اللهُ أَكْبَر مَا هَلَّلَ الْمُهَلِّلُوْنَ، اللهٌ أَكْبَر كَبِيْراً وَالْحَمْدُ لِلّهِ كَثِيْراً وَسُبْحَانَ اللهُ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً.
الْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِيْ سَهَّلَ لِعِبَادِهِ طُرُقَ الْعِبَادَةِ، وَتَابَعَ لَهُمْ مَوَاسِمَ الْخَيْرَاتِ لِتَزْدَانِ أَوْقَاتِهِمْ بِالطَّاعَاتِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلهَ إِلّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَاحِبَ الْوَجْهِ الأَنْوَرِ وَالْجَبِيْنِ الْأَزْهَرِ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلى آلِهٍ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْماً كَثِيْراً. أَمَّا بَعْدُ:
فَيَاعِبَادَ اللهِ، أُوْصِي نَفْسِيْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَظِيْمِ، وَأَحُثُّكُمْ عَلَى طَاعَةِ اللهِ الْكَرِيْمِ. يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ
Pagi ini, di hamparan lapangan yang diberkahi (di rumah Allah, masjid yang diberkahi), kita berkumpul dengan hati bergetar, lisan tak henti mengagungkan asma Allah Yang Maha Besar. Gema takbir berkumandang syahdu, membelah angkasa, menembus relung jiwa, mengingatkan kita akan kebesaran dan keagungan-Nya. Hari ini, kita merayakan Idul Adha, Hari Raya Kurban, sebuah perayaan yang bukan sekadar seremonial, melainkan pengingat abadi akan sebuah kisah agung yang sarat makna: kisah cinta sejati dan pengorbanan hakiki yang diteladankan dengan sempurna oleh Nabi Ibrahim a.s., Bunda Hajar, dan buah hati tercinta mereka, Nabi Ismail a.s.
Hadirin, jamaah Idul Adha yang berbahagia,
Hakikat hidup seorang mukmin adalah menempatkan Allah SWT di puncak tertinggi segala-galanya. Ini adalah esensi tauhid, pengesaan Allah. Cinta kepada Allah bukanlah sekadar perasaan, melainkan sebuah orientasi hidup yang membentuk seluruh pikiran, ucapan, dan perbuatan kita. Ketika cinta kepada Allah menguasai hati, maka segala perintah-Nya akan terasa ringan,dan segala larangan-Nya akan kita jauhi dengan mudah, sepenuh jiwa.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah [2] ayat 165:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ ۗ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang memuja dan menyembah selain Allah, seperti tahta, harta, dan jabatan, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya hanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui tatkala mereka melihat siksa (pada hari Kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).”
Ayat ini secara jelas mencirikan betapa orang-orang beriman sangat besar cintanya kepada Allah. Ini bukan cinta biasa, melainkan cinta yang melampaui segala cinta, cinta yang mendominasi setiap aspek kehidupan.
Rasulullah SAW bersabda, menekankan pentingnya cinta ini dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari no. 16:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ.”
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Tiga perkara yang apabila ada pada diri seseorang, ia akan merasakan manisnya iman: (1) Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada selain keduanya. (2) Hendaklah ia mencintai seseorang semata-mata karena Allah. (3) Hendaklah ia benci kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya dari kekufuran itu, sebagaimana ia benci dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini secara tegas menempatkan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya di atas segala-galanya, dan menjadi pilar utama untuk merasakan manisnya iman (halawatul iman). Tanpa cinta, iman kita hambar, kering, dan mudah goyah.
Ma’asyiral Muslimin wal Muslimat rahimakumullah,
Kisah Nabi Ibrahim AS adalah monumen keimanan yang tak tergoyahkan, sebuah gambaran sempurna dari cinta yang berujung pada pengorbanan tertinggi. Beliau adalah Khalilullah, kekasih Allah, yang diuji dengan berbagai cobaan berat sepanjang hidupnya, namun ujian terberat dan paling monumental adalah perintah Allah untuk mengorbankan putranya, Ismail a.s., yang telah lama dinanti dan dicintai sepenuh hati.
Bayangkanlah, wahai saudaraku, bagaimana beratnya perintah itu. Seorang ayah diperintahkan untuk menyembelih anaknya sendiri. Ini adalah ujian keimanan tertinggi, sebuah titik di mana cinta seorang hamba kepada Allah harus membuktikan dominasinya atas segala bentuk cinta duniawi. Apa yang membuat Nabi Ibrahim mampu melaksanakan perintah ini tanpa ragu? Jawabannya hanya satu: cinta yang tak terbatas kepada Allah SWT. Cinta yang mengalahkan fitrah kemanusiaan, cinta yang menempatkan kehendak Tuhan di atas segalanya. Beliau yakin seyakin-yakinnya bahwa di balik setiap perintah Allah, pasti ada hikmah dan kebaikan yang tiada tara.
Allah SWT mengabadikan kisah ini dalam Surat As-Saffat ayat 102-105:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ (102) فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ (103) وَنَادَيْنَاهُ أَن يَا إِبْرَاهِيمُ (104) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا ۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (105)
(102) Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersamanya, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (103) Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, (untuk melaksanakan perintah Allah). (104) Lalu Kami panggil dia: “Hai Ibrahim,” (105) “Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu”. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (QS. As-Saffat: 102-105)
Ayat-ayat ini menggambarkan dialog yang luar biasa antara seorang ayah dan anak, sebuah manifestasi ketaatan yang sempurna. Nabi Ibrahim a.s. menyampaikan perintah tersebut dengan penuh kearifan, dan Nabi Ismail a.s. menjawab dengan penuh ketaatan dan kesabaran, tanpa sedikitpun keraguan atau penolakan. Ini adalah puncak dari cinta yang dilandasi ketaatan mutlak kepada Allah SWT, baik dari seorang ayah maupun seorang anak.
Hadirin jamaah Idul Adha yang berbahagia,
Jangan lupakan pula peran agung Bunda Hajar, seorang ibu yang hatinya pasti hancur berkeping-keping dihadapkan pada kenyataan pahit ini. Namun, dengan keimanan yang teguh, ia rela melepaskan putranya untuk dikorbankan, semata-mata karena percaya pada kehendak Allah. Ia adalah simbol ketabahan dan tawakal seorang mukminah yang menyerahkan sepenuhnya urusan kepada Allah.
Puncak dari kisah ini, ketika pisau sudah berada di leher Ismail a.s., Allah SWT dengan kasih sayang-Nya yang tak terbatas menggantinya dengan seekor domba yang besar. Ini adalah manifestasi kasih sayang dan keadilan Allah. Ujian itu bukanlah untuk membunuh, melainkan untuk menguji sejauh mana kadar cinta dan pengorbanan hamba-Nya. Allah tidak membutuhkan darah atau daging kurban, tetapi Dia melihat ketakwaan dan keikhlasan hati kita.
Sebagaimana firman-Nya dalam Surat Al-Hajj [22] ayat 37:
لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Ayat ini menegaskan bahwa yang sampai kepada Allah bukanlah wujud fisik kurban, melainkan ketakwaan dan keikhlasan hati kita. Daging kurban itu untuk kita makan, untuk kita bagikan kepada sesama, sebagai bentuk syukur dan kepedulian sosial.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamd!
Saudaraku kaum Muslimin dan Muslimat yang dimuliakan Allah,
Lantas, apa relevansi kisah agung ini bagi kita di zaman modern ini? Apakah makna cinta dan pengorbanan hanya terbatas pada kisah Nabi Ibrahim dan penyembelihan hewan kurban? Tentu tidak!
Pengorbanan adalah bukti nyata dari cinta kita kepada Allah. Ia adalah bentuk ketaatan yang melampaui kenyamanan pribadi. Di era yang serba instan dan materialistis ini, bentuk-bentuk pengorbanan seringkali luput dari pandangan kita. Namun, sejatinya, setiap hari kita dihadapkan pada pilihan untuk berkorban demi Allah.
Pertama, renungkanlah berapa banyak waktu yang kita korbankan untuk beribadah, membaca Al-Qur’an, menuntut ilmu agama, berzikir? Mengorbankan waktu untuk hal-hal yang mendekatkan diri kepada Allah adalah investasi yang tak ternilai harganya. Rasulullah SAW bersabda sebagaimana riwayat al-Hakim dalam al-Mustadrak (4:341):
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ.”
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara: (1) masa mudamu sebelum masa tuamu, (2) masa sehatmu sebelum masa sakitmu, (3) masa kayamu sebelum masa miskinmu, (4) masa luangmu sebelum masa sibukmu, dan (5) masa hidupmu sebelum kematianmu.”
Kedua, renungkanlah berapa banyak harta yang kita korbankan untuk Allah SWT dalam bentuk Zakat, Infak, Sedekah, Wakaf, Hibah, Pinjaman Tanpa Bunga (Qard al-Hasan), dan hari ini pada khususnya, kita kembali korbankan harta kita untuk berkurban. Semua ini adalah bentuk pengorbanan harta yang sangat dicintai Allah. Terasa berat jika kita membandingkan dengan harta yang kita miliki, namun terasa begitu ringan jika kita bandingkan dengan derasnya nikmat yang terus mengalir kepada kita, yang mungkin bernilai milyaran, dalam bentuk kesehatan fisik dan jiwa, kesakinahan keluarga, dan keberkahan hidup.
Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Baqarah [2] ayat 261:
مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Allah SWT tidak melihat besaran harta yang kita keluarkan, namun berapa besar persentase pengorbanan dari apa yang kita keluarkan. Perhatikan pelajaran dari Rasulullah SAW sebagaimana riwayat An-Nasai no. 2527:
سَبَقَ دِرْهَمٌ مِائَةَ أَلْفِ دِرْهَمٍ
Satu dirham bisa bernilai lebih besar dari seratus ribu dirham.
Hal ini karena besarnya pengorbanan seseorang yang mengeluarkan 1 dirham di kala ia hanya memiliki harta 2 dirham, yang berarti ia telah mengorbankan 50% hartanya, 50% kecintaannya pada hartanya. Allah SWT melihat pada pengorbanan jiwanya, bukan pada fisik hartanya.
Pengorbanan harta tidak akan membuat kita miskin, justru mendatangkan keberkahan dan kemuliaan sebagaimana semakin kita rasakan hingga hari ini. Hal ini membuktikan benarnya pesan Rasulullah SAW dalam riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah r.a.:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَا
Sedekah itu tidak akan mengurangi harta.
Ketiga, renungkanlah bahwa pengorbanan terbesar kita hari ini adalah pengorbanan dalam bentuk jihad melawan hawa nafsu. Anda, insya ALlah, adalah orang-orang yang dimudahkan untuk meninggalkan kebiasaan buruk, menjauhi pergaulan yang tidak baik, menahan diri dari godaan syahwat yang haram. Anda, insya ALlah, adalah orang-orang yang dijaga Allah dari meminum khamr, berzina, berjudi, riba, bersumpah palsu dan dosa-dosa besar lainnya. Allahu Akbar.
Bukankah Allah SWT telah berfirman dalam Surat An-Nazi’at ayat 40-41:
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ (40) فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ (41)
(40) Adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, (41) maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya). (QS. An-Nazi’at: 40-41)
Ini adalah janji bagi mereka yang berkorban menahan hawa nafsu demi Allah.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamd!
Hadirin jamaah Idul Adha yang dimuliakan Allah,
Hari ini, di hadapan domba, kambing dan sapi yang akan kita sembelih, marilah kita lakukan perenungan lebih mendalam. Kurban yang kita lakukan adalah simbol, akan hakikat pengorbanan yang lebih besar. Kita belum diminta untuk mengorbankan yang lebih besar dan lebih berat lagi, kita hanya diminta untuk berkorban hewan sembelihan. Sempurnakanlah shalat kita dengan berkurban.
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ , فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.
Apakah kita sudah benar-benar mencintai Allah dengan segenap hati kita? Apakah kita sudah siap berkorban demi agama-Nya, demi kemaslahatan umat, demi kebaikan di muka bumi ini? Mungkin di antara kita ada yang merasa berat untuk bersedekah meskipun memiliki kelebihan harta. Mungkin ada yang merasa berat untuk berdakwah menyampaikan kebenaran, padahal ilmu sudah dimiliki. Mungkin ada yang merasa berat untuk meninggalkan kebiasaan buruk yang sudah mendarah daging, meskipun tahu itu dosa. Semua ini adalah ujian, wahai saudaraku. Ujian untuk melihat, apakah cinta kita kepada Allah dan akhirat lebih besar daripada kecintaan kita kepada dunia dan hawa nafsu.
Mari kita jadikan momentum Idul Adha ini sebagai momentum untuk meningkatkan kualitas cinta dan pengorbanan kita secara nyata dalam kehidupan sehari-hari:
Korbankan kesombongan kita, ganti dengan kerendahan hati. Ingatlah bahwa semua yang kita miliki, baik harta, jabatan, maupun ilmu, hanyalah titipan dari Allah. Jangan pernah merasa lebih baik dari orang lain. Rasulullah SAW bersabda dalam riwayat Muslim no. 2588 dari Abu Hurairah r.a.:
وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ
Korbankan kedengkian dan iri hati kita, ganti dengan kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama. Berlombalah menjadi yang pertama dalam menebarkan salam, berbuat baik, dan jalin silaturahmi. Renungkan firman-Nya dalam Surat Al-Hujurat ayat 10:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Orang-orang mukmin itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”
Korbankan kemalasan kita, ganti dengan semangat beribadah, menuntut ilmu, dan beramal shaleh. Jadikan setiap detik hidup kita bermakna di sisi Allah. Jangan menunda-nunda kebaikan, karena ajal bisa datang kapan saja. Rasulullah SAW bersabda dalam riwayat Muslim no. 47 dari Abu Hurairah r.a.:
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ
Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah engkau merasa tidak mampu (malas)…”
Korbankan egoisme dan kepentingan pribadi, ganti dengan kepedulian terhadap lingkungan, masyarakat, dan seluruh umat manusia. Jadilah pribadi yang bermanfaat bagi orang lain, karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya. Rasulullah SAW bersabda dalam riwayat Ibn Hibba dari Jabir r.a.:
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.”
Terus perbaharui niat kita agar sentiasa lillah, karena:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal perbuatan kalian.” (HR. Muslim no. 2564 dari Abu Hurairah r.a.)
Semoga di hari yang penuh berkah ini, kita semua mampu meneladani keimanan Nabi Ibrahim, ketaatan Ismail, dan ketabahan Siti Hajar. Semoga setiap ibadah dan pengorbanan yang kita lakukan diterima di sisi Allah SWT. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita, merahmati kedua orang tua kita, memberkahi keluarga kita, bangsa kita, negara kita, dan menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang senantiasa mencintai dan berkorban di jalan-Nya, hingga akhir hayat.
Mari kita tundukkan kepala, menengadahkan tangan, bermunajat kepada Allah SWT.
اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَحْفِظُكَ وَنَسْتَوْدِعُكَ دِينَنَا وَأَنْفُسَنَا وَأَهْلَنَا وَأَوْلاَدَنَا وَأَمْوَالَنَا وَكُلَّ شَيْئٍ أَعْطَيْتَنَا،
Ya Allah, kami memohon perlindungan dan menitipkan kepada-Mu agama kami, diri kami, keluarga kami, anak-anak kami, harta kami, dan segala sesuatu yang Engkau berikan kepada kami.
اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا فِى كَنَفِكَ وَأَمَانِكَ وَجِوَارِكَ وَعِيَاذِكَ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ مَرِيْدٍ، وَجَبَّارٍ عَنِيْدٍ، وَذِى عَيْنٍ وَذِيْ بَغْيٍ، وَمِنْ شَرِّ كُلِّ ذِىْ شَرٍّ، إِنَّكَ عَلىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ.
Ya Allah, tempatkanlah kami dalam lindungan-Mu, keamanan-Mu, perlindungan-Mu, dan naungan-Mu dari segala setan yang durhaka, penguasa yang zalim, orang yang dengki, orang yang aniaya, dan dari kejahatan segala yang berbuat jahat. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
اَللَّهُمَّ جَمِّلْنَا بِالْعَافِيَةِ وَالسَّلاَمَةِ، وَحَقِّقْنَا بِالتَّقْوَى وَاْلإِسْتِقَامَةِ، وَأَعِذْنَا مِنْ مُوْجِبَاتِ النَّدَامَةِ، إِنَّكَ سَمِيْعُ الدُّعَاءِ.
Ya Allah, hiasilah kami dengan keselamatan dan kesejahteraan, teguhkanlah kami dalam ketakwaan dan istiqamah, dan lindungilah kami dari hal-hal yang mendatangkan penyesalan. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدِيْنَا وَلِأَوْلاَدِنَا وَمَشَايِخِنَا وَلِإِخْوَانِنَا فِى الدِّيْنِ، وَلِأَصْحَابِنَا وَأَحْبَابِنَا وَلِمَنْ أَحَبَّنَا فِيْكَ، وَلِمَنْ أَحْسَنَ إِلَيْنَا وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْن.
Ya Allah, ampunilah kami, kedua orang tua kami, anak-anak kami, guru-guru kami, saudara-saudara kami seagama, sahabat-sahabat kami, orang-orang yang mencintai kami karena-Mu, orang yang berbuat baik kepada kami, serta kaum mukminin dan mukminat, muslimin dan muslimat, yang masih hidup maupun yang telah wafat. Wahai Tuhan semesta alam.
اَللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَاتَحُوْلُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَاتُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا،
Ya Allah, berikanlah kepada kami rasa takut kepada-Mu yang menghalangi kami dari bermaksiat kepada-Mu, ketaatan yang menyampaikan kami kepada surga-Mu, serta keyakinan yang meringankan musibah dunia.
اَللَّهُمَّ مَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا وَاجْعَلْهُ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ عَاداَنَا، وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِى دِيْنِنَا وَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا،
Ya Allah, nikmatilah kami dengan pendengaran, penglihatan, dan kekuatan selama Engkau menghidupkan kami, dan jadikanlah itu sebagai warisan dari kami. Jadikanlah ia sebagai pembalasan kami atas orang yang memusuhi kami. Jangan jadikan musibah kami dalam agama kami, jangan jadikan dunia sebagai tujuan utama kami, jangan jadikan ia puncak ilmu kami, dan jangan kuasakan atas kami orang yang tidak menyayangi kami.
اَللَّهُمَّ اِنِّا نعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمِ لاَ يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشبَعُ وَمِنْ دُعَاءِ لاَيُسْمَعُ.
Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyuk, nafsu yang tidak pernah puas, dan doa yang tidak didengar.
اللّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِينَ، اللّهُمَّ انْصُرْ إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِينَ الْمُجَاهِدِينَ فِي فِلِسْطِينَ، اللّهُمَّ ثَبِّتْ إِيمَانَهُمْ وَأَنْزِلِ السَّكِينَةَ عَلَى قُلُوبِهِمْ وَوَحِّدْ صُفُوفَهُمْ، اللّهُمَّ أَهْلِكِ الْكُفَّارَ وَالْمُشْرِكِينَ، اللّهُمَّ دَمِّرِ الْيَهُودَ وَإِسْرَائِيلَ وَشَتِّتْ شَمْلَهُمْ وَفَرِّقْ جَمْعَهُمْ، اللّهُمَّ انْصُرْ عَلَى الْمُجَاهِدِينَ أَعْدَاءَنَا وَأَعْدَاءَ الدِّينِ، بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ، وَصَلِّ اللّهُمَّ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ.
Ya Allah, muliakanlah Islam dan kaum Muslimin. Ya Allah, tolonglah kaum Muslimin dan Mujahidin di Palestina. Ya Allah, teguhkanlah iman mereka, turunkanlah ketenteraman di dalam hati mereka, dan satukanlah barisan mereka. Ya Allah, hancurkanlah kaum kafir dan kaum musyrik. Ya Allah, binasakanlah kaum Yahudi dan pasukan Israel, cerai-beraikanlah kesatuan mereka, dan porak-porandakanlah kumpulan mereka. Ya Allah, menangkanlah kaum Mujahidin atas musuh kami dan musuh agama. Dengan rahmat-Mu, wahai Yang Maha Pengasih. Dan sampaikanlah shalawat kepada Nabi kami Muhammad
رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلأخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. وَصَلىَّ اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ. سُبْحَانَكَ رَبِّكَ رَبِّ اْلعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى اْلمُرْسَلِيْنَ وَاْلحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.