
Oleh: Muhammad Rijal Wahid Muharram, M.Pd
Wakil Ketua Bidang Dikdasmen DPP PUI
Bullying di sekolah bukanlah sekadar persoalan anak yang nakal atau perilaku agresif yang muncul tiba-tiba. Di balik setiap kasus perundungan, ada keteraturan sosial yang tidak terlihat—relasi yang timpang, tekanan emosional yang tak terungkap, hingga nilai-nilai kemanusiaan yang belum tumbuh secara merata. Dan Olweus, tokoh terkemuka dalam studi bullying, mengartikan perundungan sebagai perilaku agresif berulang yang melibatkan ketimpangan kekuasaan. Definisi ini sangat dekat dengan kenyataan kita, di mana laporan KPAI beberapa tahun terakhir secara konsisten menempatkan bullying sebagai tiga besar aduan utama di dunia pendidikan.
Dalam lensa teori ekologi Bronfenbrenner, perilaku anak dibentuk oleh lingkup-lingkup yang melingkupinya: keluarga, sekolah, komunitas, hingga ekosistem digital. Ketika seorang anak melukai temannya, ia mungkin sedang mengulang pola komunikasi dan relasi yang ia lihat di rumah, di media sosial, atau di lingkungan terdekatnya. Karena itu, langkah pertama bukan mencari kesalahan, tetapi memahami konteks yang mencetak perilaku tersebut.
Sekolah, dalam hal ini, adalah ruang moral sekaligus ruang sosial. Ketika bullying terjadi, itu bukan sekadar kegagalan individu, tetapi tanda bahwa ada nilai kemanusiaan yang belum diperkuat di dalam ruang belajar kita.
Mencegah Bullying Lewat Budaya yang Sehat
Bullying adalah persoalan global. Namun berbagai negara menunjukkan bahwa perundungan dapat menurun secara signifikan ketika sekolah menata ulang budaya sosialnya.
Finlandia memberi contoh kuat melalui program KiVa, sebuah intervensi antiperundungan berbasis riset dari Universitas Turku. Program ini menekankan pencegahan, empati, penguatan iklim sekolah, dan keterlibatan seluruh komunitas belajar, bukan sekadar pemberian hukuman. Berbagai evaluasi independen—baik di Finlandia maupun dalam uji coba internasional—menunjukkan bahwa penerapan KiVa secara konsisten menurunkan angka bullying dan viktimisasi dalam kisaran puluhan persen, tergantung konteks sekolah dan tingkat kelas. Efektivitas ini memperlihatkan bahwa budaya sekolah yang aman, suportif, dan berorientasi relasi dapat mengatasi perilaku agresif jauh lebih efektif daripada pendekatan hukuman yang semata-mata represif.
Jepang menghadapi ijime dengan memperkuat pendidikan moral (dotoku), menyediakan konselor profesional, dan membangun Fureai Room bagi siswa yang membutuhkan dukungan emosional. Jepang menyadari bahwa tekanan akademik dan budaya homogenitas dapat memicu pengucilan, sehingga upaya pencegahan harus menyentuh pendidikan karakter dan kesehatan emosional.
Korea Selatan menghadapi lonjakan cyberbullying. Survei resmi Korea Selatan menunjukkan bahwa pengalaman cyberbullying di kalangan remaja meningkat secara signifikan (misalnya 41,6% pada 2022) dan pemerintah telah merespon dengan mengintegrasikan literasi digital serta etika daring ke kurikulum. Korea memahami bahwa dunia digital adalah bagian dari ekosistem emosional anak-anak.
Tiga negara ini mengajarkan hal yang sama: bullying berkurang ketika sekolah memulihkan relasi sosial, bukan hanya meningkatkan pengawasan. Ketika empati tumbuh, agresi mereda.
Mengurangi bullying bukan hanya soal membuat aturan baru. Ia bermula dari suasana sekolah yang membuat setiap anak merasa aman, didengar, dan dihargai. Riset-riset meta-analisis tentang Social-Emotional Learning (SEL), seperti yang dilakukan Durlak dkk. (2011) dan diperkuat CASEL dalam laporan terbarunya, menunjukkan bahwa program SEL secara konsisten menurunkan berbagai bentuk perilaku bermasalah, termasuk agresi dan perilaku mengganggu di kelas. Sekolah yang menerapkan SEL bukan hanya mengalami peningkatan kompetensi sosial-emosional dan prestasi akademik, tetapi juga menunjukkan penurunan signifikan pada perilaku agresif dan tindakan yang berisiko. Dengan kata lain, ketika anak-anak memahami emosinya, belajar mengelola konflik, dan diajak melihat dampak perbuatannya, perilaku agresi mereda dengan sendirinya. Ini membuktikan bahwa pendidikan emosional adalah fondasi penting untuk mencegah kekerasan.
Restorative Education: Mengembalikan Manusia ke dalam Relasi
Dalam dua dekade terakhir, dunia pendidikan mengenal pendekatan restorative education—sebuah pendekatan pemulihan relasi yang menekankan keamanan korban, tanggung jawab penuh pelaku, serta penyadaran moral melalui dialog. Pendekatan ini bukan bentuk kelembutan yang melemahkan penegakan aturan. Justru sebaliknya, ia menempatkan korban sebagai pusat perhatian. Korban diberi ruang suara, didengarkan, dilindungi, dan dipastikan tidak kembali terluka. Pelaku tidak dimanjakan, tetapi diarahkan untuk memahami dampak perbuatannya dan bertanggung jawab secara konstruktif.
Menariknya, cara ini sangat sejalan dengan teladan pendidikan Rasulullah SAW. Beliau bukan hanya guru kasih sayang, tetapi juga penjaga keadilan. Beliau tidak pernah membiarkan kekerasan berlanjut atau meremehkan rasa sakit orang lain, namun mampu mengubah momen kekerasan menjadi proses perbaikan moral.
Salah satu riwayat yang terkenal adalah kisah selendang Nabi SAW yang ditarik dengan kasar oleh seorang Badui, sebagaimana disampaikan Anas bin Malik ra dan dikutip Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin (juz III, hlm. 75). Tepi selendang Najrani yang kasar membekas di leher beliau. Dalam riwayat muttafaqun ‘alaih, agresi itu jelas terlihat dan tidak ada alasan untuk meremehkannya. Namun hal pertama yang dilakukan Rasulullah SAW adalah menghentikan eskalasi. Beliau menoleh, menenangkan suasana, dan memastikan tidak ada kekerasan susulan. Setelah situasi aman—barulah beliau tersenyum dan memerintahkan Anas memberikan perbekalan kepada Badui tersebut.
Tindakan itu bukan pembelaan terhadap pelaku. Itu adalah perlindungan berlapis terhadap korban, termasuk dirinya sendiri dan para sahabat yang mendampingi. Beliau mengurai ketegangan secara tenang agar tidak terjadi kekerasan balasan yang justru menciptakan korban-korban baru. Pendekatan ini sejalan dengan restorative education: menghentikan kekerasan terlebih dahulu, memulihkan relasi tanpa merendahkan martabat siapa pun, dan memastikan pelaku memahami batas moral.
Pelajaran yang sama muncul dalam kisah pemuda yang meminta izin untuk berzina—riwayat Imam Ahmad—permintaannya ofensif, melukai nilai moral, dan mengganggu ketertiban sosial. Para sahabat marah, bahkan hampir menghardiknya. Namun Rasulullah SAW terlebih dahulu meredakan emosi massa, agar amarah tidak berubah menjadi kekerasan fisik. Inilah perlindungan terhadap pemuda itu sebagai jiwa yang harus diselamatkan, namun juga perlindungan terhadap masyarakat luas agar tidak terjebak pada kekerasan reaktif.
Setelah suasana aman, Rasulullah meminta pemuda itu mendekat dan mengajaknya dalam dialog empatik yang keras secara moral namun lembut dalam penyampaian, “Apakah engkau rela jika itu terjadi pada ibumu?” Dengan mengembalikan pemuda itu pada perspektif korban, Rasulullah mengajarinya bahwa zina bukan sekadar pelanggaran pribadi, tetapi tindakan yang melukai keluarga, merusak kehormatan orang lain, dan menghancurkan martabat sosial. Setelah kesadaran itu tumbuh, barulah beliau mendoakannya agar hatinya disucikan dan kemaluannya terjaga.
Rasulullah sama sekali tidak menoleransi zina. Beliau menghentikannya, mengoreksinya, dan membersihkan akar dorongan itu. Namun beliau juga memastikan bahwa proses penegakan nilai tidak berubah menjadi penghakiman brutal yang justru menjauhkan manusia dari kebenaran.
Dari dua kisah ini, jelas bahwa pendekatan restoratif bukan dalam pandangan keberpihakan terhadap pelaku dan pengabaian terhadap luka korban. Justru hal ini untuk mendorong: menghentikan kekerasan seketika, mencegah korban baru, mengamankan suasana agar tidak timbul kekerasan balasan, mengoreksi pelaku secara tegas, dan memulihkan kesadaran moral agar perubahan bersifat permanen.
Dalam dunia pendidikan masa kini, nilai-nilai ini relevan. Hukuman tetap ada dan tetap diperlukan dalam banyak kasus—terutama bila keselamatan korban terancam. Namun ketika ruang dialog aman tercipta, dan setelah korban terlindungi sepenuhnya, restorative education dapat menjadi jalan untuk memastikan bahwa pelaku tidak mengulangi perbuatannya dan tidak menciptakan korban baru.
Pada akhirnya, pendekatan Nabi SAW menunjukkan bahwa pendidikan yang baik tidak sekadar menghentikan perilaku buruk hari ini, tetapi mengubah karakter agar tidak melukai siapa pun di masa depan. Pendidikan yang adil adalah pendidikan yang memulihkan korban, menuntut tanggung jawab pelaku, dan menjaga martabat manusia secara utuh.
Dimulai dari Keterbukaan
Dalam semangat itu, ada sejumlah langkah realistis yang dapat diterapkan sekolah. Pencegahan perundungan selalu berawal dari keterbukaan. Sekolah perlu menyediakan ruang dialog yang sehat antara siswa, guru, dan orang tua agar setiap pihak memiliki pemahaman yang sama tentang dinamika yang sedang dialami anak-anak. Dialog yang jujur dan teratur membantu guru menangkap gejala yang tidak terlihat di permukaan, membantu orang tua memahami situasi sosial di sekolah, dan membuat siswa merasa didengar. Ruang komunikasi seperti ini menjadi pondasi penting untuk memetakan persoalan secara komprehensif, bukan berdasarkan asumsi atau sudut pandang sepihak.
Di atas fondasi dialog inilah pembelajaran karakter berbasis empati harus diperkuat. Tata tertib memang diperlukan, tetapi tidak cukup untuk membangun perilaku yang berkelanjutan bila tidak disertai pembiasaan sosial-emosional. Empati, kemampuan melihat dari perspektif orang lain, dan keterampilan mengelola emosi perlu diajarkan secara eksplisit sejak dini. Ketika konflik muncul, pendekatan pemulihan—restorative practice—dapat diterapkan untuk memastikan pelaku bertanggung jawab, korban didengarkan, dan relasi yang retak dipulihkan secara bermartabat. Pendekatan ini tidak menghapus disiplin, melainkan menempatkan disiplin dalam kerangka kemanusiaan yang lebih utuh.
Dalam kehidupan digital, integrasi literasi daring juga menjadi kebutuhan mendesak agar anak-anak tidak tanpa sadar menjadi agresor atau korban di ruang maya. Literasi digital membantu mereka mengenali risiko, mengendalikan impuls, dan membangun jejak digital yang sehat. Pada saat yang sama, sekolah perlu menumbuhkan atmosfer yang aman secara emosional—ruang di mana anak merasa dihargai, diterima, dan bebas dari ketakutan untuk menjadi dirinya sendiri. Ketika keamanan emosional terjaga, potensi konflik dapat diantisipasi lebih awal, dan setiap anak memiliki peluang tumbuh sebagai pribadi yang kuat, peduli, dan berkarakter.
Ketika sekolah memperbaiki budaya relasi dan memperkuat nilai empati, kita sedang menyiapkan generasi yang bukan hanya cerdas secara akademik, tetapi juga beradab secara sosial. Generasi yang tidak hanya kritis, tetapi mampu mengendalikan diri. Pada akhirnya, di sinilah inti pendidikan menemukan maknanya: memanusiakan manusia, serta memulihkan apa yang retak di dalam diri dan dalam relasi sosial anak-anak kita.