Menghidupkan Kembali Esensi Pendidikan Islam di Era yang Serba Viral

Oleh: Ahmad Gabriel (Waketum PP Pemuda PUI, Vice President OIC Youth Indonesia, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Darunnajah)

Kalau kita jujur, banyak orang masih memandang pendidikan seperti mengisi tas sekolah: selama penuh dengan buku, catatan dan bekal jajan dari rumah, dianggap sudah cukup. Padahal, kalau pendidikan Islam hanya sibuk memenuhi “kotak pengetahuan,” kita bisa menghasilkan generasi yang sangat rajin mencatat, tapi bingung mengambil keputusan ketika hidup menuntut kebijaksanaan. Mirip orang punya lemari penuh baju formal, tapi tetap tidak tahu mau pakai apa saat undangan pernikahan datang mendadak.

Para ulama sejak Imam Al-Ghazali hingga Syed Naquib al-Attas mengingatkan bahwa pendidikan Islam bertujuan membentuk manusia seutuhnya—beriman kuat, berakhlak mulia, dan berilmu yang bermanfaat. Urutannya bukan kebetulan: harus mendidik iman dahulu, akhlak lalu ilmu. Dalam pandangan mereka, ilmu tidak pernah berdiri sendiri; ia harus berjalan bersama iman dan akhlak sebagai fondasi moral. Pendidikan Islam melihat manusia sebagai entitas yang kompleks—akal, ruh, dan jasad—yang perlu dirawat bersamaan seperti tiga roda kendaraan. Begitu salah satu dibiarkan kempes, perjalanan pun pasti tersendat.

Masalahnya, sebagian praktik pendidikan Islam hari ini justru terbalik arahnya. Banyak lembaga sangat fokus pada aspek kognitif dan administratif—kurikulum, target hafalan, ranking akademik—sementara pembinaan karakter dan spiritual berada di belakang antrean. Tidak sedikit sekolah yang berlabel “Islam” namun pendekatannya lebih mirip pelatihan teknis jangka pendek daripada pembentukan pribadi jangka panjang. Akibatnya, lahirlah generasi yang cerdas di kelas tetapi rapuh dalam memilih jalan hidup. Mereka tahu definisi “akhlak,” tetapi gagap saat harus mempraktikkan integritas di ruang digital yang penuh godaan klik cepat dan komentar spontan.

Di sinilah pendidikan Islam perlu kembali pada landasan wahyu, bukan nostalgia. Al-Qur’an dan Hadis bukan sekadar materi ajar yang dibacakan, tetapi menjadi sistem nilai yang membimbing cara berpikir, cara belajar, hingga cara memandang diri. Ketika Allah memerintahkan “iqra’”, itu bukan hanya soal membaca teks, tetapi membaca dunia—fenomena sosial, problem masyarakat, bahkan membaca diri sendiri. Pendidikan Islam klasik pernah melahirkan dokter, ahli falak, ekonom, dan ulama sekaligus karena landasannya kuat. Mereka menyadari, seperti kata Ibn Khaldun, bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia melalui ilmu yang menumbuhkan adab, bukan sekadar menambah hafalan.

Namun zaman hari ini membawa tantangan baru. Generasi muda lebih banyak belajar dari gawai dibanding guru, lebih cepat percaya yang viral daripada yang valid. Orientasi ini membuat pendidikan Islam yang tidak memiliki strategi relevan mudah tertinggal. Sebuah madrasah bisa membuat program hafalan dan disiplin, tetapi kalah oleh satu thread media sosial yang penuh narasi instan. Karena itu, diperlukan solusi yang berangkat dari realitas sosial, bukan hanya idealisme di papan tulis.

Pertama, pendidikan Islam harus menyeimbangkan kembali antara kognitif dan karakter. Pembelajaran tidak cukup memindahkan informasi; ia harus melatih kebiasaan—integritas, kejujuran, empati, dan kesadaran moral. Pendekatan ini sejalan dengan gagasan Al-Attas tentang ta’dib, yaitu proses penanaman adab hingga manusia mengetahui tempatnya dalam tatanan ciptaan. Ketika adab kuat, ilmu berjalan pada relnya.

Kedua, teknologi harus menjadi alat, bukan ancaman. Mengintegrasikan literasi digital, kecakapan abad 21, dan metode pembelajaran interaktif bukan berarti meninggalkan tradisi, tetapi justru memperkuat kapasitas peserta didik. Tak sedikit lembaga yang memilih melarang gadget, namun lupa bahwa anak-anak hari ini belajar, bermain, dan bahkan membangun identitas diri melalui layar. Larangannya ada, tetapi keterampilan mendampingi mereka di dunia digital belum disiapkan.

Ketiga, guru harus diberi ruang untuk berkembang. Tidak ada kurikulum sebaik apa pun yang bisa berjalan tanpa guru yang berwawasan, beradab, dan punya kompetensi. Guru adalah “sinyal Wi-Fi” pendidikan; kalau sinyalnya lemah, semua perangkat jadi lambat bekerja.

Dari berbagai kunjungan ke pesantren dan sekolah, saya melihat perbedaan mencolok antara lembaga yang kuat landasannya dengan yang sekadar berlabel Islami. Lembaga yang kuat prinsipnya justru lebih modern dalam pendekatan—menggabungkan tafsir dengan coding, hadis dengan literasi digital, fiqh dengan problem solving. Mereka memahami bahwa pendidikan Islam bukan tentang membatasi dunia murid, tetapi memandu mereka menavigasi dunia dengan cahaya nilai-nilai Ilahi.

Pada akhirnya, pendidikan Islam adalah proses panjang untuk membentuk manusia yang mampu hidup di dunia tanpa kehilangan arah menuju akhirat. Ia bukan teori yang dibiarkan menguning di lemari, bukan pula slogan yang diulang tanpa makna. Ia adalah cahaya yang harus dihidupkan melalui praktik nyata, kebijakan yang visioner, dan guru yang penuh keteladanan. Dan seperti sifat cahaya, ia akan terus menerangi sejauh mana kita mau menjaganya tetap menyala.

Exit mobile version