Pentingnya Pemuda PUI Belajar ke Nasyiatul ‘Aisyiyah Muhammadiyah
Oleh: DR. RTB. Mas. Kana Kurniawan, M.A.Hk.
(Ketua Umum PP Pemuda PUI)
PUI.OR.ID – Sebagai organisasi otonom dari induknya Persatuan Ummat Islam (PUI), Pemuda PUI tidak salahnya memiliki impian besar membangun organisasi yang lebih maju dan mandiri. Tapi bukan jadi “saingan†dengan PUI sebagai induknya. Melainkan Pemuda PUI punya kemajuan sendiri sebagai bentuk dari otonom—yang tampil mandiri, maju dan keren. Sangat bisa. Contoh Nasyiatul ‘Aisyiyah (NA), badan otonom Muhammadiyah. Punya sekolah dari TK hingga perguruan tinggi dengan tetap “ke-muhammadiyahan-nya†melekat.
NA adalah representasi organisasi otonom yang paling berhasil menjadi organisasi maju. Ketika saya wawancara dengan Ketua Umum Nasyiatual Aisyiyah, Siti Noordjannah Djohantini di Yogyakarta (31 Mei 2018), ada kalimat kunci yang menggerakkan, NA begitu progresif: memberdayakan perempuan. Gerakan pemikiran gender di NA, tidak sekedar ruang pemikiran hampa. Tapi NA memberikan aksi nyata, “implementasi†gender—bukan sekedar kata, tetapi berkarya.
Perempuan yang dianggap nomor dua, didiskriminasi atau dirampas haknya di ruang publik, NA menegakkan sehormat-hormatnya. Dalam catatan, setidaknya, NA memiliki 5.865 sekolah, Sekolah Bidang setara Perguruan Tinggi (Diploma) serta Sekolah Tinggi Kesehatan ‘Aisyiyah Yogyakarta yang sekarang Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta. Ini yang dimaksudkan perempuan berdaya, maju dan setara. Memajukan perempuan melalui pendidikan, ekonomi dan sosial. Bukan sekedar jargon manis atau wacana yang terlalu tinggi.
Dari Basis Pengkaderan, Pemuda PUI Maju
 Sebagai Badan Otonom PUI, Pemuda PUI bisa dibilang setara dalam hirarki keorganisasian. Walau tentu saja banyak kurangnya dari kemajuan NA, tapi dari segi kesempatan dan peluang tidak mustahil. Kita masih ingat sejarah pendirian NA dari ide Somodirdjo membentuk Standart School Muhammadiyah yang kemudian berubah menjadi Siswa Praja (SP) pada tahun 1919.
Somodirdjo berpandangan, masa depan Muhammadiyah harus ditopang oleh spiritualitas, intelektual dan akhlak penggeraknya. Itulah sebabnya SP harus menjadi gerakan massif ke ranting-ranting. Tidak salah jika membaca uraian Mancur Olson dalam “The Logic of Collective Actionâ€, pentingnya tindakan kolektif dari sebuah gerakan demi kepentingan, kelembagaan, sumber daya, kesempatan maupun strategi. Yang menjadi syarat kemajuan maupun pembangunan organisasi yang tentu saja Pemuda PUI bisa lakukan.
Untuk diketahui, PUI sebagai organisasi besar berbasis di Jawa Barat memilki banyak sekolah setingkat MTs/SMP, SMA/SMK/MA, Pondok Pesantren (boarding school) dan perguruan tinggi. Gelombang alumninya tentu saja berlimpah. Bonus demografi kader PUI tiap tahun tentunya terus ada. Belum lagi sebarannya di kampus-kampus lain, seperti: UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, UIN Bandung, UI, ITB, Unpad, IPB dan lainnnya serta tidak menutup kemungkinan banyak anak biologis tokoh PUI yang mendapat pendidikan di kampus terbaik luar negeri.
Di antara poin-poin penting sebagai proyeksi masa depan Pemuda PUI: pertama, basis pengkaderan Pemuda PUI harus terintegrasi di antara lembaga-lembaga pendidikan (sekolah) setingkat SMA dan Perguruan Tinggi PUI. Training Intisab (TI) harus jadi pola terstruktur di tiap tingkatan pelajar serta alumni (mahasiswa semester 3 atau 4). Peran pengkaderan, baik Pemuda PUI atau Himpunan Mahasiswa PUI harus dibuka selebar-lebarnya di kampus-kampus. Bila diperlukan, rektor menerbitkan peraturan wajibnya mahasiswa mengikuti Training Intisab (plus ada unit khusus);
Kedua, Â paradigma lama Pemuda PUI harus dirubah ke paradigma berkemajuan. Pola-pola lama yang tidak relevan harus dihilangkan. Sekolah atau kampus PUI harus diikat dengan jiwa ke-PUI-annya. Sehingga tidak ditemukan lagi calon ketua atau pengurus ranting, cabang, daerah wilayah hingga pusat yang tidak hapal Intisab dan Ishlah Tsamaniyah. Pengurus harus sudah mendaras buku-buku bacaan wajib kader PUI. Bukan kader instan yang tidak paham ke mana arah PUI ke depan. Dan karenanya, Program Terpadu Pendidikan (PTP) PUI harus disambut baik oleh semua lembaga pendidikan PUI;
Ketiga, Pemuda PUI (tiap daerah) harus punya lumbung pengkaderan. Mencari kader peserta Training Intisab tidak lagi konvensional mencari dari luar, melainkan dari sekolah, kampus dan pondok pesantren PUI yang sudah jelas kuantitas serta kualitasnya. PD Pemuda PUI setempat memiliki laboratorium pengkaderan. Ambil contoh, di salah satu daerah terdapat satu atau dua SMA PUI lalu dikelola pengkaderannya, ditraining, diberdayakan serta dibekali skill-nya. Bagi yang berprestasi diberi atau dicarikan beasiswa hingga S-1 sampai S-3 dengan sistem kontrak keaktifan di tiap level kepengurusan. Contoh lain menggelar pelatihan Test of English as a Foreign Language (TOEFL), Test of Arabic as a Foreign Language (TOAFL) atau International English Language Testing System (IELTS) yang melibatkan para mahasiswa penerima beasiswa dari LPDP, BAZNAS, Fulbright, Corporate Social Responsibility (CSR), Yayasan Orbit Hasri Ainun Habibie, Nuffic Neso (NEC), Chevening, Australia Awards, BAPPENAS, dan LIPI.
Keempat, hilangkan budaya pengkaderan ceremonial nir-substansi. Pengkaderan di Pemuda PUI bukan sekedar dimaksudkan “menyiapkan†kader tiap muktamar, musda, muswil, muscab dan musyawarah ranting. Pada point ketiga, jika berjalan dalam tiap tahun, dalam jangka 5-10 tahun ke depan, kader-kader unggulan PUI akan berlimpah dengan spesifikasi keilmuan yang beragam. Yang selama ini alumni-alumni sekolah PUI belum terkoneksi atau berjejaring sesuai visi. Dan sepertinya belum ada saluran keprofesian, misal forum guru, dosen, tenaga kesehatan, birokrat, penyelenggara pemilu, hukum dan lain sebagainya. Di luar yang itu nampaknya sudah mulai bergeliat pengusaha dan ulama PUI.
Saya kira empat hal ini bisa menjadi dasar masa depan Pemuda PUI akan tumbuh dan berkembang menjadi organisasi kepemudaan Islam yang selaras dengan tuntunan zaman. Menjadi organisasi berbasis kader unggul, maju dan berakhlak mulia akan terwujud di semua level sebagaimana harapan di paragraf pertama tulisan ini.