Oleh KH Ahmadie Thaha
Pesantren Tadabbur al-Qur’an
Segala puji bagi Allah Swt. Kita bersyukur diberi kesempatan hidup oleh Allah sehingga kita sanggup dan mampu menjalankan ibadah puasa bersama jutaan umat Islam di seluruh dunia yang hari ini juga memulai puasa. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad Saw dan keluarga beliau.
Puasa, yang dikenal sebagai “Shawm” dalam bahasa Arab, merupakan salah satu dari lima rukun Islam, di samping mengucapkan dua kalimah Syahadah, Shalat, Zakat, dan Haji. Kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan telah digariskan dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 183. Ayat ini penting karena menandai awal pembahasan tentang kewajiban puasa Ramadhan. Bunyinya:
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa” (2:183).
Ayat tersebut dimulai dengan kalimat “Ya ayyuha al-ladzina amanu” yang diterjemahkan menjadi “Hai orang-orang yang beriman.” Inilah seruan kepada orang-orang beriman dalam Islam, yang menunjukkan bahwa apa yang berikut ini ditujukan secara khusus kepada mereka yang telah menerima Islam.
Selanjutnya ayat tersebut menyatakan, “Kutiba ‘alaykum al-shiyam,” yang diterjemahkan menjadi “Diwajibkan atas kalian berpuasa.” Menarik di sini memperhatikan penggunaan kata kerja pasif “kutiba,” yang memiliki arti sangat penting dalam ayat ini.
Kalimat pasif tersebut menyiratkan bahwa perintah untuk berpuasa berasal dari otoritas yang lebih tinggi, dalam hal ini, Allah Swt. Orang-orang beriman diberitahu bahwa puasa bukan sekadar anjuran atau seruan; itu merupakan kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah. Penggunaan kalimat pasif dalam konteks ini menekankan pentingnya perintah tersebut.
Di sini Allah tidak secara langsung menampakkan bahwa perintah puasa berasal dari-Nya. Kata “Kutiba” atau “Diwajibkan” seolah menyembunyikan subyek yang mewajibkan perintah puasa, yakni Allah sendiri. Padahal, dalam sebuah hadist qudsi, Allah dengan tegas berfirman: “Puasa itu untuk-Ku, dan Akulah yang akan memeberikan pahala untuknya.”
Bahkan, kata “kutiba” ditulis dua kali dalam ayat di atas. Ini dimaksud untuk menekankan betapa pentingnya puasa, sebuah perintah yang tidak hanya diwajibkan bagi kaum muslimin sekarang ini, tapi juga telah diwajibkan bagi kaum-kaum beriman yang hidup di masa-masa lampau sebelum datangnya Islam. Perintah yang sama berasal dari Tuhan yang sama, Allah Yang Mahaesa. Perintah puasa merupakan kesinambangunan perintah berbagai agama di sepanjang masa.
Lebih lanjut, penggunaan kata “kutiba” menunjukkan bahwa kewajiban berpuasa telah tertulis dan tercatat, menunjukkan bahwa itu bukan perintah baru atau sembarangan. Sebaliknya, itu bagian dari rencana dan tujuan yang lebih besar yang telah ditetapkan oleh Allah. Hal ini sesuai dengan keyakinan Islam bahwa al-Qur’an adalah firman Allah, berisi hidayah dan petunjuk yang dibutuhkan umat manusia untuk menjalani kehidupan yang benar dan lurus.
Ayat tersebut selanjutnya menjelaskan tujuan puasa selama Ramadhan. Ia menyatakan, “La’alla kum tattaqun,” yang diterjemahkan menjadi “Agar kamu bertakwa.” Ini menyiratkan bahwa puasa bukanlah tujuan itu sendiri; sebaliknya, itu sarana untuk mencapai tujuan. Dengan menahan diri dari makan, minum, dan kesenangan fisik lainnya di siang hari, orang-orang beriman diingatkan akan ketergantungan mereka kepada Allah dan kebutuhan mereka akan makanan rohani.
Puasa selama Ramadhan juga merupakan cara bagi orang beriman untuk menunjukkan pengabdian dan komitmen mereka kepada Allah. Inilah tindakan ibadah yang dilakukan semata-mata demi memperoleh ridha Allah dan mencari pahala-Nya. Inilah sebabnya mengapa bulan Ramadhan dianggap sebagai waktu yang sangat suci dan diberkati dalam kalender Islam.
Kesimpulannya, perintah berpuasa selama bulan Ramadhan merupakan aspek penting dari praktik Islam dan berakar pada al-Qur’an. Penggunaan kata kerja pasif “kutiba” dalam surat al-Baqarah ayat 183 menekankan pentingnya perintah ini dan mengingatkan orang beriman bahwa itu berasal dari otoritas yang lebih tinggi. Puasa di bulan Ramadan bukan sekadar tindakan fisik menahan diri dari makanan dan minuman; itu merupakan sarana mencari makanan spiritual serta menunjukkan pengabdian dan komitmen kita kepada Allah Swt.