
Wanita Persatuan Ummat Islam dan Kebudayaan Nasional : Implementasi Peneguhan Ketahanan Keluarga dalam Bingkai Ishlahuts Tsamaniyah
Dalam rangka Hari Kebudayaan Nasional, 17 Oktober.
Oleh: Rita Juniarty
Ketua Lembaga Ketahanan Keluarga DPP Wanita Persatuan Ummat Islam
Bangsa yang Kuat Berawal dari Keluarga yang Tangguh
Dalam sejarah peradaban Islam dan kebangsaan Indonesia, perempuan selalu menjadi poros yang tak tergantikan dalam membentuk, merawat, dan meneguhkan ketahanan keluarga.
Wanita Persatuan Ummat Islam (Wanita PUI) menempatkan hal ini sebagai arus utama perjuangan sosial-keagamaannya. Dalam konteks kebudayaan nasional, peran tersebut melampaui batas domestik—ia menembus ranah sosial, budaya, ekonomi, dan spiritual bangsa.
Maka, berbicara tentang ketahanan keluarga dalam bingkai Ishlahuts Tsamaniyah berarti membicarakan fondasi kebudayaan nasional yang hidup, dinamis, dan berakar pada nilai-nilai Islam.
Kebudayaan Nasional dan Perempuan dalam Arus Perubahan
Kebudayaan nasional Indonesia bukanlah warisan statis, melainkan hasil dialog panjang antara nilai-nilai luhur bangsa, tradisi keagamaan, dan dinamika zaman. Di dalamnya, perempuan memiliki posisi strategis sebagai penjaga nilai (value keeper) sekaligus penggerak perubahan (agent of change).
Wanita PUI memandang kebudayaan bukan semata produk manusia, melainkan juga arena dakwah—ruang di mana nilai-nilai tauhid, akhlak, dan kemanusiaan harus dihadirkan secara kreatif dan kontekstual.
Di tengah derasnya arus globalisasi digital, muncul berbagai fenomena budaya baru: normalisasi gaya hidup hedonistik, kebiasaan instan, serta erosi adab dalam ruang publik maya. Dalam situasi ini, kebudayaan nasional perlu dikembalikan ke poros moral dan spiritualnya.
Di sinilah Ishlahuts Tsamaniyah—delapan pilar perbaikan kehidupan umat yang menjadi warisan pemikiran besar Persatuan Ummat Islam (PUI)—hadir sebagai panduan konseptual dan praksis. Salah satu poros terpentingnya adalah Ishlahul ‘Ailah (perbaikan keluarga), yang menjadi jantung dari ketahanan bangsa.
Ishlahuts Tsamaniyah sebagai Kerangka Kebudayaan dan Ketahanan Keluarga
Delapan pilar Ishlahuts Tsamaniyah—Islahul ‘Aqidah, ‘Ibadah, Tarbiyah, ‘Ailah, ‘Adah, Iqtishad, Mujtama’, dan Ummah—membangun peradaban Islam yang utuh.
Dalam konteks kebudayaan nasional, kedelapan ishlah ini dapat dimaknai sebagai peta jalan transformasi budaya menuju insan kamil dan bangsa beradab.
Ishlahul ‘Aqidah membangun keteguhan spiritual di tengah budaya materialistik.
Ishlahul ‘Ibadah menanamkan disiplin moral dan spiritual dalam keseharian keluarga.
Ishlahut Tarbiyah memastikan pendidikan berbasis nilai, bukan sekadar keterampilan.
Ishlahul ‘Ailah memperkuat struktur keluarga dan menegakkan relasi yang penuh kasih, adil, dan bertanggung jawab.
Ishlahul ‘Adah meluruskan kebiasaan dan adat agar selaras dengan syariat dan nilai kebangsaan.
Ishlahul Iqtishad membangun kemandirian ekonomi umat dan keluarga.
Ishlahul Mujtama’ memperluas nilai ishlah ke ruang sosial yang lebih luas.
Ishlahul Ummah menyatukan potensi umat dalam arah kebangsaan yang rahmatan lil ‘alamin.
Ishlahul ‘Adah dan Pembaruan Kebudayaan
Ishlahul ‘Adah memiliki arti penting dalam konteks kebudayaan modern. Ia tidak sekadar melestarikan tradisi, tetapi juga memperbaikinya agar relevan dengan nilai Islam dan tantangan masa kini.
Misalnya, dalam era digital, budaya bersosialisasi berpindah ke ruang daring. Maka, perbaikan adat digital menjadi bagian dari Ishlahul ‘Adah: membangun etika bermedia sosial, menolak ujaran kebencian, hoaks, dan budaya pamer yang merusak tatanan moral keluarga.
Contoh lain, perubahan gaya hidup masyarakat perkotaan yang konsumtif mendorong Wanita PUI menghidupkan kembali budaya qana‘ah (sederhana dan bersyukur) serta gotong royong dalam ekonomi keluarga—sebuah bentuk Ishlahul ‘Adah yang sangat relevan di tengah krisis ekonomi dan tekanan inflasi.
Dalam dunia pendidikan anak, Ishlahul ‘Adah juga menuntun keluarga agar tidak menyerahkan seluruh pembinaan moral pada sekolah. Budaya mendidik dengan kasih sayang, memberi keteladanan, dan menjaga adab pergaulan menjadi tradisi keluarga yang mesti dihidupkan kembali.
Ketahanan Keluarga sebagai Inti Kebudayaan Bangsa
Ketahanan keluarga merupakan indikator utama kekuatan bangsa. Dalam pandangan Islam, keluarga bukan sekadar institusi sosial, melainkan madrasah pertama tempat nilai iman, akhlak, dan kebangsaan ditanamkan.
Melalui keluarga yang kuat, lahir generasi yang cerdas spiritual, tangguh fisik, mandiri ekonomi, sehat psikologis, dan berakar sosial-budaya.
- Ketahanan Spiritual
Keluarga berketahanan spiritual dibangun atas iman dan ibadah yang hidup. Perempuan sebagai pendidik utama menanamkan tauhid, dzikir, dan doa sebagai budaya keluarga. Ini implementasi Ishlahul ‘Aqidah dan ‘Ibadah—menjadikan spiritualitas bagian dari gaya hidup modern, misalnya dengan family digital detox setiap malam Jumat bahkan setiap malam bila memungkinkan, untuk membaca Al-Qur’an bersama. - Ketahanan Fisik
Keluarga sehat adalah budaya hidup Islami. Melalui Senam Mahabbah dan kampanye pola hidup sehat yang dikembangkan Wanita PUI, aspek Ishlahul ‘Adah dan ‘Ailah diwujudkan dalam kebiasaan positif: olahraga rutin, konsumsi makanan halal-thayyib, dan menjaga kebersihan lingkungan rumah. - Ketahanan Ekonomi
Dalam kerangka Ishlahul Iqtishad, Wanita PUI menumbuhkan budaya ekonomi produktif. Melalui program UMKM syariah keluarga, pelatihan digital marketing halal, dan gerakan menabung, perempuan menjadi motor ekonomi rumah tangga tanpa meninggalkan nilai kesederhanaan dan etika bisnis Islami. - Ketahanan Sosial-Psikologis
Di tengah meningkatnya tekanan sosial dan konflik rumah tangga, Ishlahul ‘Ailah dan ‘Adah hadir untuk memperbaiki budaya komunikasi yang sehat dan beradab. Tradisi musyawarah keluarga, saling memaafkan, serta kebiasaan berbicara dengan lemah lembut menjadi terapi sosial yang membangun keharmonisan psikologis keluarga modern. - Ketahanan Sosial-Budaya
Ishlahul ‘Adah menuntut pelurusan budaya hidup. Dalam konteks kini, hal ini mencakup pembiasaan adab digital bagi anak-anak, menghidupkan kembali budaya literasi Al-Qur’an di rumah, serta menumbuhkan rasa cinta terhadap bahasa dan budaya Indonesia sebagai ekspresi iman dan nasionalisme.
Wanita PUI sebagai Pelaku Ishlah Kebudayaan
Sebagai gerakan perempuan Islam, Wanita PUI tidak hanya menjaga tradisi, tetapi juga menjadi pelaku tajdid (pembaruan). Tajdid ini tampak dalam upaya membangun keluarga yang adaptif terhadap perubahan, namun tetap berpegang pada prinsip moral dan spiritual.
Dengan pendekatan Ishlahul ‘Adah, Wanita PUI mengembalikan kebiasaan keluarga Muslim pada nilai adab dan akhlak. Dalam budaya digital, keluarga diajak menghidupkan etika berteknologi—menjadikan gawai sebagai sarana ilmu, bukan candu; menjadikan media sosial sebagai ruang dakwah, bukan ajang pamer.
Inilah bentuk baru kebudayaan Islami yang kontekstual dan membangun.
Keluarga Berketahanan sebagai Jantung Kebudayaan
Dalam pandangan Wanita PUI, perempuan adalah jantung kebudayaan bangsa—penyambung nilai antar generasi, penjaga moralitas, sekaligus motor peradaban.
Melalui Ishlahuts Tsamaniyah, terutama Ishlahul ‘Ailah dan Isjlahul ‘Adah, Wanita PUI menegaskan bahwa membangun bangsa dimulai dari perbaikan keluarga dan kebiasaan. Dari rumah yang berakidah kokoh, beribadah khusyuk, beradat mulia, dan berbudaya luhur, akan lahir peradaban nasional yang tangguh dan berkeadaban.
Inilah wajah kebudayaan nasional dalam pandangan Wanita PUI—kebudayaan yang hidup, religius, berakar, dan berdaya tahan menghadapi zaman.