DPP PUI Dukung Literasi Keislaman Ilmiah, Soroti Bias Gender dan Orientalisme Akademik

Jakarta — Ketua Dewan Pengurus Pusat Persatuan Ummat Islam (DPP PUI), Rijalul Imam, S.Hum., M.Si., menyambut positif pelaksanaan Pelatihan Standardisasi Pentashihan Buku dan Konten Keislaman yang digelar oleh Lembaga Pentashih Buku dan Konten Keislaman (LPBKI) Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Aula BRIN, Jakarta, pada Senin (16/5/25).
Ia menilai kegiatan tersebut sebagai langkah strategis dalam membangun ekosistem literasi keislaman yang valid secara ilmiah dan kokoh dalam landasan Al-Qur’an, Sunnah, serta kearifan lokal khas Indonesia.
“Acara ini bagus karena menjadikan literasi keislaman memiliki validasi ilmiah yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah, dan nilai-nilai lokal Indonesia yang wasathiyah,” ungkap Rijalul Imam yang juga alumnus Kajian Ketahanan Nasional Universitas Indonesia.
Menurutnya, penting bagi para penulis, konten kreator, dan akademisi keislaman di Indonesia untuk tetap menjaga kemurnian sumber-sumber Islam agar tidak terjebak dalam arus pemikiran ekstrem. Ia menekankan agar umat mewaspadai dua kutub ekstrim: kontaminasi liberalisme Barat dan pendekatan takfiri yang mudah mengafirkan.
“PUI sebagai ormas Islam yang berkarakter wasathiyah sejalan dengan spirit Islam yang indah dan mudah. Karena itu, komunikasi literasi Islam harus membawa wajah Islam yang rahmatan lil ‘alamin di ruang publik, termasuk media sosial,” jelasnya.
Namun demikian, Rijalul Imam juga menyampaikan catatan kritis terhadap salah satu sesi dalam pelatihan tersebut yang membahas isu gender. Ia menilai pendekatan yang disampaikan cenderung terlalu bias terhadap perspektif feminis Barat.
“Perempuan di Indonesia sudah sangat dimuliakan. Ada yang menjadi Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, dan pemimpin daerah. Jadi tidak perlu mengkritik teks wahyu yang sifatnya given. Justru kita sudah memaknai peran perempuan dalam fitrahnya tanpa diskriminasi,” tegasnya.
Selain itu, ia menyoroti maraknya penelitian mahasiswa Indonesia yang kuliah di Barat yang menjadikan ormas-ormas Islam Indonesia sebagai objek kajian dengan pendekatan yang kurang objektif. Ia menyebut praktik semacam itu sebagai bentuk perpanjangan tangan orientalisme.
“Seharusnya mereka belajar ke Barat bukan untuk melaporkan ormas-ormas Islam Indonesia kepada pemangku kepentingan asing, tetapi menyerap ilmu dan strategi kemajuan Barat untuk kemudian dibawa pulang membangun Indonesia. Itu yang saya sebut sebagai Oxidentalisme—belajar ke Barat untuk membangun Timur,” pungkasnya.
DPP PUI berharap kegiatan seperti ini terus digelar secara berkala dan membuka ruang kolaborasi antara MUI, ormas Islam, akademisi, dan generasi muda dalam memperkuat narasi keislaman yang moderat, cerdas, dan berdaya saing global.
Pelatihan ini membahas sejumlah materi penting, di antaranya: Kriteria Aliran Sesat MUI, Ekosistem Perbukuan di Era Post-Truth, Standar Penafsiran Al-Qur’an dalam Konten Islam, Wajah Konten Islam di Era Digital, Standar Pentashihan Hadits, hingga Standar Pemahaman Linguistik dan Keadilan Gender dalam Teknologi.
Tampak hadir pula Ketua DPP PUI Bidang Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Dr. Mohan, M.E.I., Ketua DPP Wanita PUI Usth Herliani, M.Ag, Wakil Ketua Umum PP Pemuda PUI Ahmad Gabriel, S.Sos., dan Qonita Ahmadie, S.Ag., M.I.Kom dari PP Shofia Cahaya Bangsa.
Acara Pelatihan Standardisasi Pentashihan Buku dan Konten Keislaman Seri I ini ditutup dengan diskusi interaktif dan post-test bagi semua peserta atas materi yang telah diterima dari berbagai narasumber, yaitu: Dr. KH Marsudi Syuhud, MM, Wakil Ketua Umum MUI; Dr. Aji Sofanuddin (Kepala Pusat Riset Agama dan Kepercayaan BRIN); Prof. Dr. KH Utang Ranuwijaya, MA, Ketua MUI; KH Masduqi Baidhawi Ketua MUI; Dr. KH Arif Fahrudin, M.Ag., Wakil Sekjen MUI; Prof. Dr. H Endang Soetari Ad., M.Si., Ketua LPBKI MUI; Dr. Ahmad Haromaini, M.Ag., Sekretaris LPBKI; dan Prof Wardah Nuroniyah.