DakwahOpini

Inspirasi di Balik Mural Bergambar KH. Abdul Halim

Oleh: Syamsudin Kadir
(Wakil Sekretaris Umum DPW PUI Jawa Barat dan Penekun Kebijakan Publik di Pascasarjana Universitas Majalengka)

PUI.OR.ID – Beberapa waktu terakhir publik diramaikan dengan berbagai aksi para pegiat mural di beberapa tempat seperti di Jakarta, Jawa Timur dan Jawa Barat. Termasuk di beberapa tempat lainnya di luar Jawa. Dalam konteks tertentu mural kerap dinilai sebagai aktivitas kritik secara terbuka atas berbagai fenomena sosial dan kebijakan publik yang dinilai tidak pro rakyat. Dan, kini memang menjadi tren dan punya daya tarik tersendiri bagi masyarakat luas.

Apabila dilihat dari perspektif sejarah, mural telah eksis menjadi media penyebar semangat juang. Apalah lagi pada masa melawan penjajahan, media semacam itu benar-benar punya dampak yang signifikan. Rata-rata tulisan mural di zaman tersebut, yaitu “Boeng Ajoe Boeng” dan “Merdeka atoe Mati”. Mural pun memiliki lakon sejarah panjangnya tersendiri. Tentu saja menjadi kebanggaan tersendiri bagi pembuatnya maupun bagi masyarakat luas yang sukses menemukan pesan di baliknya.

Mural berasal dari kata “murus” yang di dalam bahasa latin berarti dinding. Sedangkan menurut Mikke Susanto selaku penulis buku yang berjudul “Diksi Rupa”, mural dapat diartikan sebagai lukisan besar yang diproduksi untuk mendukung ruang arsitektur. Keberadaan mural sendiri sudah ada sejak 31.500 tahun silam yang terdapat dalam lukisan gua di Lascaux, selatan Prancis. Lalu berkembang ke berbagai negara di dunia, termasuk ke Indonesia.

Mural sendiri merupakan cara menggambar atau melukis di atas media dinding, tembok atau permukaan luas yang bersifat permanen lainnya. Seni mural umumnya dibuat dalam ukuran yang besar dan berada di tempat umum. Sehingga setiap mural bisa dilihat atau disaksikan oleh banyak orang. Walau begitu, ada juga mural di tempat yang jauh dari jangkauan umum. Tentu ini sesuai selera dan panggilan jiwa pegiatnya.

Selain sebagai media penyalur pendapat dan kritik sosial, mural juga bisa dikategori sebagai upaya apresiasi atas sesuatu yang memiliki nilai atau mengenang sesuatu yang memiliki pesan tersendiri. Termasuk untuk mengenang para tokoh yang memiliki peran dan lakon sejarah yang punya dampak atau manfaat luas bagi masyarakat luas, yang mungkin pada era ini perlu dikenang dan diadaptasi kembali. Sehingga kita jangan sampai hanya pandai menyebut nama tapi lupa pada substansi perjuangan para tokoh.

Bila beberapa waktu lalu kita dihebohkan oleh mural kritik pada pemerintah atas berbagai kebijakannya oleh beberapa pegiat mural, kali ini kita dicengangkan oleh aksi jenial komunitas mural asal Majalengka-Jawa Barat yaitu Peka Perupa Majalengka. Kali ini pelukis sukses menjalankan aksi membuat mural di tembok BTN Munjul, Majalengka-Jawa Barat. Kali ini yang dilukis adalah KH. Abdul Halim. Ada dua gambar Kiai Halim, sosok pendiri Ormas Islam Persatuan Ummat Islam (PUI), yang digambar dengan begitu indah pada kesempatan kali ini.

Bagi saya, ini merupakan sebuah aksi yang bukan saja menarik untuk dilihat tapi juga layak diapresiasi. Aksi spontan sekaligus kreatifitas anak muda yang membutuhkan keahlian artistik tinggi ini sangat menarik. Minimal masyarakat atau publik semakin mengenal sosok tokoh yang dihadirkan dan berupaya untuk mengenalnya lebih mendalam lagi. Bukan saja namanya tapi juga ide dan gagasan serta inspirasi dari lakon sejarah yang pernah dilakoni pada masa hidupnya. Sebab bisa jadi kita baru pandai menyebut nama (itupun sekadar nama), tapi enggan mendalami ide, pemikiran dan lakon sejarah sang tokoh.

Sekadar contoh, di era perkembangan teknologi informasi dan komunikasi semacam ini kita masih enggan membaca berbagai tulisan termasuk buku yang membahas tentang para tokoh bangsa termasuk yang berlatar belakang ulama. Dampaknya, kita lebih suka mengutip ungkapan para tokoh selain itu, lalu menepikan ungkapan bijak para ulama. Kita pun masih malas memanfaatkan media massa dan media online termasuk media sosial untuk mempublikasi tulisan yang mengulas tentang para tokoh tersebut. Sebabnya sederhana: kita terpapar virus malas, sehingga kita menjadi malas menulis!

Menyaksikan aksi pegiat mural semacam itu, saya berpandangan bahwa mereka adalah kelompok kreatif yang layak diapresiasi. Apa yang mereka lakukan telah membangun kesadaran kita dalam skala yang lebih luas dan kompleks. Sebab pesan yang terkandung dalam karya seni semacam ini lebih menyentuh dan berdampak bagi masyarakat luas. Faktanya, tak sedikit produk mural yang menggerakkan masyarakat bahkan menyadarkan mereka tentang hak-hak mereka yang bisa jadi selama ini masih tak dihiraukan.

Sebagaimana menulis artikel dan buku, menggambar atau melukis semacam itu butuh konsentrasi, pengorbanan waktu dan tenaga yang tak sedikit. Lakon semacam itu benar-benar sebuah peran dan kontribusi yang ternilai cerdas dan tentu saja mendidik. Kita kadang hanya melihat hasilnya yang aduhai, tapi kerap melupakan bagaimana kelelahan para penggiat saat mencicil dan menghadirkan karya. Memang kita butuh lebih serius berbenah dan mendengar nurani terdalam agar semakin simpati dan empati pada mereka, serta menemukan makna terdalam dari setiap karya tulis, termasuk karya mural yang lagi viral.

Sumber: Kumpulan Ide Pendidikan

Related Articles

Back to top button