Profil KH Ahmad Sanusi Pendiri PUI, dari Hafidz Al-Qur’an Usia 12 Tahun hingga Pejuang Kemerdekaan RI
PROFIL K.H. AHMAD SANUSI
PENDIRI PERSATUAN UMMAT ISLAM (PUI)
Oleh: Dr. KH. Munandi Saleh, M.Si.
(Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PUI)
K.H. Ahmad Sanusi adalah salah seorang ulama pendiri PUI setelah K.H. Abdul Halim. Ia lahir pada malam Jum’at tanggal 12 Muharram 1306 H/18 September 1888 M di Kampung Cantayan Desa Cantayan Kecamatan Cantayan Kabupaten Sukabumi (daerah tersebut dulunya bernama Kampung Cantayan Desa Cantayan Onderdistrik Cikembar, Distrik Cibadak, Afdeeling Sukabumi). Anak ketiga dari delapan bersaudara pasangan K.H. Abdurrohim (Ajengan Cantayan, Pimpinan Pondok Pesantren Cantayan) dengan Ibu Empok.
Sejak kecil ia hidup di lingkungan keluarga yang religius sampai usia remaja. Di lingkungan keluarga inilah ia mendapat pendidikan Agama Islam yang begitu ketat sehingga selain hafidz al-Qur’an di usia 12 tahun juga ia menguasai berbagai disiplin Ilmu Agama Islam, seperti Ilmu Nahwu, Sharaf, Tauhid, Fiqh, Tafsir, Mantiq, dll.
Di sekitar usia 17 tahunan, Ahmad Sanusi mulai melanglang buana untuk menambah pengetahuan dan mencari tabarukan kepada para Ulama ke berbagai pesantren yang ada di wilayah Jawa Barat selama 4,5 tahun, pesantren yang pernah ia kunjungi, di antaranya: 1) Pesatren Selajambe Cisaat Sukabumi, Pimpinan Ajengan Soleh/Ajengan Anwar, 2) Pesantren Sukamantri Cisaat Sukabumi, Pimpinan Ajengan Muhammad Siddiq, 3) Pesantren Sukaraja Sukabumi, Pimpinan Ajengan Sulaeman/Ajengan Hafidz, 4) Pesantren Cilaku Cianjur untuk belajar ilmu Tasawwuf, 5) Pesantren Ciajag Cianjur, 6) Pesantren Gentur Warung Kondang Cianjur, Pimpinan Ajengan Ahmad Satibi/Ajengan Qurtubi, 7) Pesantren Buniasih Cianjur, 8) Pesantren Keresek Blubur Limbangan Garut, 9) Pesantren Sumursari Garut, 10) Pesantren Gudang Tasikmalaya, Pimpinan Ajengan R. Suja’i, 11) Pesantren Babakan Selaawi Baros Sukabumi Pimpinan Ajengan Affandi.
Di pesantren inilah Ahmad Sanusi mengakhiri masa lajangnya setelah bertemu dengan seorang gadis yang bernama Siti Djuwariyah putri dari Ajengan Affandi yang akhirnya ia nikahi.
Beberapa bulan kemudian setelah menikah, sekitar tahun 1910 Ahmad Sanusi beserta istri berangkat ke Mekkah al-Mukarromah untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah. Setelah selesai menunaikan ibadah haji ia beserta istri tidak langsung pulang ke kampung halaman, namun mereka bermukim di Makkah al-Mukarramah selama 5 tahunan untuk memperdalam dan menambah wawasan keilmuan serta pengalaman dengan melakukan kontak baik kepada para ulama tingkat internasional maupun para tokoh pergerakan nasional yang sedang mukim di Makkah al-Mukarramah.
Para ulama dan tokoh pergerakan yang ia kunjungi sewaktu di Makkah alMukarramah baik untuk ditimba ilmunya maupun untuk dijadikan teman diskusi. Dari Kalangan Ulama, diantaranya : 1) Syeikh Saleh Bafadil, 2) Syeikh Maliki, 3) Syeikh Ali Thayyib, 4) Syeikh Said Jawani, 5) Syeikh Zaini Dahlan, 6) Syeikh Haji Muhammad Junaedi, 7) Syeikh Haji Abdullah Jawawi, 8) Syeikh Haji Mukhtar at-Tarid al-Bughuri, 9) Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabouwi, 10) Syeikh Mahfudz Tremas, 11) dan lain-lain.
Dari Kalangan Kaum Pergerakan, diantaranya : 1) K.H. Abdul Halim (Tokoh Pendiri PUI Majalengka), 2) Haji Abdul Muluk (Tokoh SI), 3) K.H. Abdul Wahab Hasbullah (Tokoh pendiri NU), 3) K.H. Mas Mansyur (Tokoh Muhammadiyyah), dan lain-lain.
Selain Ilmu Agama yang Ia pelajari dan dalami juga Ia mempelajari dan mendalami pula Ilmu-ilmu
umum seperti Ilmu Fisika, Ilmu Kimia, dan lain-lain. Ia ikut terlibat dengan jaringan ulama (Muslim
terpelajar) di Haramain (Mekkah dan Madinah), Ia melakukan pergumulan pemikiran dengan para
intelektual Arab pada zaman liberal (1798-1939), seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Sayid Rasyid Ridho, dan lain-lain.
Bahkan di tahun 1913, ketika Ahmad Sanusi masih berada di Haramain, Ia menjadi salah seorang anggota Partai Syarekat Islam Indonesia. Fakta-fakta ini menandakan bahwa adanya keterlibatan Ahmad Sanusi dalam Koneksasi jaringan Ulama di Asia Tenggara.
Selama 5 (lima) tahun bermukim di Mekkah Ahmad Sanusi memanfaatkan waktu tersebut dengan
sebaik-baiknya, sehingga menurut tradisi lisan yang berkembang di kalangan para Ulama Sukabumi, bahwa: saking mendalamnya ilmu beliau, maka sebagai wujud penghargaan dan pengakuan ketinggian ilmu beliau dari para Syaikh yang ada di Mekkah, Ia mendapat kesempatan untuk menjadi Imam Shalat di Masjidil Haram.
Bahkan salah seorang Syaikh sampai mengatakan bahwa jika seseorang yang berasal dari Jawi yang hendak memperdalam ilmu keagamaan, ia tidak perlu pergi jauh-jauh ke Mekkah karena di jawa tepatnya di Sukabumi telah ada seorang guru agama yang ilmunya telah mencukupi untuk dijadikan sebagai guru panutan yang pantas di ikuti. (Sulasman, 2007:25).
Sepulang dari Makkah al-Mukarramah pada bulan Juli 1915, Ahmad Sanusi mengabdikan ilmunya
di Pesantren Cantayan sekitar 6 tahunan, selanjutnya ia mendirikan pesantren Genteng yang dipimpin dan dikelola langsung oleh ia sendiri sampai dengan tahun 1927 selama 6 tahunan, lalu ia tinggalkan pesantren tersebut karena ditahan selama 15 bulan di penjara Cianjur dan Sukabumi serta di internir (dibuang) ke Batavia Centrum selama 6 tahunan, maka Ahmad Sanusi menjadi Ajengan tanpa pesantren di Batavia Centrum, namun kegiatan da’wahnya tak terhenti, sehingga ia terkenal dengan julukan Ajengan Batawi.
Lalu ia dipindahkan ke kota Sukabumi dengan status tahanan kota pada tahun 1934. Pada tahun inilah Ahmad Sanusi mendirikan Pesantren Syamsul’Ulum Gunungpuyuh Sukabumi dan ia pimpin langsung selama 16 tahunan, dengan perincian : 5 tahunan ia masih dalam status tahanan kota dan 11 tahunan ia sudah dalam status orang bebas.
Di bulan Agustus 1927 dekat Pesantren Genteng terjadi insiden perusakan dua jaringan kawat telepon yang menghubungkan Sukabumi, Bandung dan Bogor. Peristiwa ini dijadikan sebagai bukti Pemerintah Hindia Belanda untuk menangkap dan menahannya. Dengan alasan itulah ia mendekam di Penjara Cianjur selama 9 bulan sampai bulan Mei 1928, terus dipindahkan ke Penjara Nyomplong Kota Sukabumi selama 6 bulan sampai bulan November 1928.
Selanjutnya sejak bulan November 1928 Ahmad Sanusi diasingkan atau dibuang ke Tanah Tinggi Senen Batavia Centrum selama 6 tahunan sampai tahun 1934. Pada bulan Agustus 1934 Ahmad Sanusi dipindahkan ke Kota Sukabumi, dengan status tahanan kota selama 5 tahunan dari bulan Agustus 1934 sampai dengan turunnya Keputusan Gubernur Jenderal Nomor 3 tanggal 20 Februari 1939 yang ditanda tangani oleh A.W.L. Tjarda isinya menyatakan mengakhiri masa tahanan kota Ahmad Sanusi.
Maka semenjak turunnya Keputusan Gubernur Jenderal tersebut Ahmad Sanusi menjadi orang bebas. Hikmahnya 15 bulan di penjara dan 11 tahunan di internir (dibuang) dengan status tahanan kota, maka Ahmad Sanusi menjadi seorang penulis yang produktif. Tidak kurang dari 126 judul kitab yang ia tulis dari berbagai disiplin keilmuan, diantaranya Tafsir al-Qur’an, Ilmu Tauhid, Ilmu Fiqih, Ma’ani, Bayan, dan lain-lain.
Sebagai guru dan orangtua yang baik ia mendidik dengan baik anak-anaknya maupun santri-santrinya menjadi ulama-ulama besar dan berpengaruh tidak hanya di Jawa Barat, akan tetapi berpengaruh pula di tingkat nasional.
Ketika mengajar di Pesantren Cantayan, melahirkan santri angkatan pertama menjadi ulama-ulama besar, diantaranya: Ajengan Nakhrowi (Pendiri Ponpes YASMIDA Cibatu Cisaat Sukabumi), Ajengan Abas Nawawi (Guru di Pesantren Gunungpuyuh), Ajengan Masturo (Pendiri Pondok Pesantren al-Masthuriyyah Cisaat Sukabumi), Ajengan Uci Sanusi (Pendiri Pondok Pesantren Sunanul Huda Cikaroya Cisaat Sukabumi), Ajengan Afandi (Pimpinan Pondok Pesantren Tarbiyatul Falah Sadamukti, Cicurug, Sukabumi), Ajengan M. Fudholi (pendiri Pondok Pesantren alFalah dan Madrasah Jannatul Amal Cikarang, Bekasi), dan lain-lain.
Ketika mengajar di Pesantren Genteng Babakansirna, melahirkan santri angkatan kedua menjadi ulama-ulama besar, diantaranya: Ajengan Abdullah bin Nuh (Pimpinan Pondok Pesantren al-Ghozali dan al-Ihya Bogor), Ajengan Damiri (Yusuf Taujiri Pendiri Pondok Pesantren Cipari Wanaraja Garut), Ajengan Badruddin (Pendiri Pondok Pesantren Kadudampit), dan lain-lain.
Ketika mengajar di Pesantren Gunungpuyuh melahirkan santri angkatan ketiga menjadi ulama-ulama besar, diantaranya : Ajengan Dadun Abdul Qohhar (Pendiri Pesantren ad-Dakwah Cibadak Sukabumi), Ajengan Khoer Apandi (Pendiri Pondok pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya), DR.K.H. E.Z. Muttaqin (pendiri UNISBA Bandung), Ajengan Maksum (Pendiri Pondok Pesantren Bondongan Bogor), Prof. K.H. Ibrahim Husein, LML (Pendiri dan Rektor pertama IIQ serta pernah menjadi Ketua Majelis Fatwa MUI Pusat), Ajengan Rukhyat (Pendiri Pondok Pesantren Cipasung Tasikmalaya), Ajengan Ishak Farid (Pimpinan Pondok Pesantren Cintawana Singaparna Tasikmalaya), Ajengan Irfan Hilmi (Pimpinan Pondok Pesantren Darussalam Kabupaten Ciamis), Ajengan Soleh Iskandar (Tokoh militer), Drs.K.H. Syamsuddin (Mantan Kanwil Depag Provinsi Jawa Barat), dll.
Dalam memperjuangkan pemikiran dan gagasannya untuk kepentingan Agama, Bangsa dan Negara ia aktif dalam berbagai lembaga dan kegiatan baik sebagai pendiri dan pelaku maupun sebagai pelaksana, diantaranya : menjadi anggota BPUPKI (Dokuritsu Junbi Cosakai), Pengurus Jawa Hokokai (Kebangkitan Jawa), Pengurus Masyumi (Majelis Syuro’ Muslimin Indonesia), anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), anggota Dewan Penasehat Daerah Bogor (Giin Bogor Shu Sangi Kai), Wakil Residen Bogor (Fuku Syucokan), bahkan di wilayah Keresidenan Bogor (Bogor Syu), Ahmad Sanusi membidani lahirnya : Tentara PETA (Pembela Tanah Air), BKR (Badan Keamanan Rakyat), KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah), juga ia menjadi Ketua Umum Pengurus Besar AII (POII atau PUII), Instruktur pada Pelatihan Ulama yang diselenggarakan oleh pemerintah militer Jepang serta menjadi Pendiri Pondok Pesantren Genteng, Pondok Pesantren Gunung puyuh, Organisasi anderbouw AII, seperti BII, Zaenabiyyah, IMI, pendiri GUPPI (Gabungan Usaha-usaha Perbaikan Pendidikan Islam), dan lain-lain.
Pada hari Ahad malam senin tanggal 15 Syawal 1369 H bertepatan dengan tanggal 31 Juli 1950 M
sekitar pukul 21.00 WIB, ia dalam usia 63 tahun berdasarkan hitungan kalender Hijriyyah atau 61 tahun, 10 bulan dan 22 hari menurut hitungan kalender Masehi, dipanggil dengan tenang oleh sang pencipta untuk kembali keharibaannya di Pesantren Gunung puyuh dan dikebumikan di kompleks pemakaman keluarga di sebelah utara dari pesantren Gunung puyuh Sukabumi.
Untuk mengenang jasa-jasanya Pemerintah Kota Sukabumi mengabadikan namanya menjadi nama salah satu jalan di Kota Sukabumi, yang menghubungkan antara jalan Cigunung sampai dengan Degung, yaitu Jalan K.H.A. Sanusi, juga namanya diabadikan pula menjadi nama Terminal Type-A yaitu Terminal Type A K.H. Ahmad Sanusi di Jalan Jalur Lingkar Selatan yang berada di Kota Sukabumi, kemudian oleh Ketua Umum YASPI Pontren Syamsul ’Ulum Gunungpuyuh Sukabumi namanya diabadikan menjadi nama Gedung Audotarium K.H. Ahmad Sanusi di Pondok Pesantren Syamsul’Ulum Gunung puyuh Sukabumi, selanjutnya oleh Yayasan Museum K.H. Ahmad Sanusi, namanya diabadikan menjadi nama Museum di Sukabumi, yaitu Museum K.H. Ahmad Sanusi.
Kemudian namanya bersama rekannya K.H. Abdul Halim menjadi sebuah nama Peguruan Tinggi di Bandung dengan nama UHS (Universitas Halim Sanusi) dan karyanya dalam bidang tafsir al-Qur’an yang populer diwilayah Jawa Barat, Banten dan Jakarta yakni Raudlatul Irfan oleh Ustadz Aher (Dr.K.H. Ahmad Heriyawan, Lc., M.Si) Gubernur Jawa Barat saat itu dijadikan nama Masjid Raya Provinsi Jawa Barat yang berlokasi di jalan jalur lingkar selatan Cibolang Sukabumi.
Sedangkan oleh Pejuang 1945 ia dikukuhkan menjadi Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia, kemudian oleh Presiden Republik Indonesia (H.M. Suharto) ia dianugerahi Bintang Maha Putra Utama pada tanggal 12 Agustus 1996 di Jakarta dan Bintang Maha Putra Adipradana dari Presiden SBY pada tahun 2006.
(Tulisan ini termuat dalam buku: Pendiri, Tokoh Fusi dan Tokoh PUI oleh Dr. KH. Munandi Saleh)