Merealisasikan Bank Syariah Sebagai Nazhir Wakaf Uang
Penulis: KH. Dr. Irfan Syauqi Beik
Ketua Dewan Pakar Pusat PUI, Ekonom Syariah FEM IPB University
Akhirnya RUU P2SK yang diketuk palu pada sidang paripurna DPR pertengahan Desember 2022 lalu, yang kemudian diundangkan menjadi UU No 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, mengakomodasi aspirasi untuk menjadikan bank syariah sebagai nazhir wakaf uang. Kita berharap agar aturan turunan dari UU ini terkait nazhir wakaf uang, apakah dalam bentuk PP, POJK maupun aturan turunan lainnya, dapat segera direalisasikan pada pertengahan tahun ini, sehingga akan memberi warna baru pada pengelolaan wakaf nasional, dan pada pembangunan perekonomian syariah nasional secara umum.
Paling tidak, ada tiga dampak positif dari diberlakukannya ketentuan bank syariah sebagai nazhir wakaf uang ini. Pertama, keberadaan bank syariah sebagai nazhir wakaf uang akan membuka ruang lebih besar untuk optimalisasi aset-aset wakaf yang masih banyak menganggur saat ini akibat ketiadaan sumber pendanaan. Ini adalah hal yang sangat fundamental karena nilai ekonomis dari aset wakaf ini masih banyak yang belum termanfaatkan dengan baik. Karena itu, seluruh nazhir yang ada, diharapkan dapat menyiapkan proyek atau program pengembangan aset wakaf yang dikelolanya, dan menawarkan kerjasama dengan bank syariah sehingga aset wakafnya akan menjadi produktif.
Dengan kata lain, keberadaan aturan bank syariah sebagai nazhir wakaf uang ini harus dapat dimanfaatkan oleh institusi nazhir eksisiting, untuk menawarkan beragam program ekonomi produktif dari aset wakaf. Misalnya, bagaimana mendayagunakan lahan wakaf yang ada untuk mengembangkan properti syariah sebagaimana yang dilakukan oleh Masjid Bencoolen Singapura yang memanfaatkan lahan wakaf untuk membangun komplek bisnis komersial dan apartemen yang terintegrasi dengan masjid. Atau mengembangkan lahan wakaf untuk memperkuat produksi pertanian sebagai upaya memperkuat ketahanan pangan nasional.
Jadi, dalam perspektif nazhir eksisiting, keberadaan bank syariah sebagai nazhir wakaf uang jangan dipandang sebagai pesaing, melainkan justru sebagai peluang untuk melakukan upaya akselerasi optimalisasi aset wakaf. Karena itu, kolaborasi menjadi kata kunci yang perlu mendapatkan perhatian kita semua. Penulis berharap agar para nazhir eksisting dapat memfokuskan diri pada program wakaf produktif apa yang akan dikembangkannya, dan menjadikan bank syariah sebagai partner utamanya.
Kedua, keberadaan bank syariah sebagai nazhir wakaf uang juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk memperbesar akses pembiayaan bagi UMKM. Ini sangat penting agar UMKM ini bisa terus berkembang dan menjadi salah satu pilar penting dalam menopang perekonomian nasional. UMKM yang kuat dan berdaya akan meningkatkan daya tahan dan daya saing perekonomian nasional. Dalam hal ini, penulis berharap agar OJK dapat menetapkan proporsi minimal wakaf uang yang disalurkan dalam bentuk pembiayaan bagi UMKM.
Diantara bisnis UMKM yang perlu mendapat perhatian adalah UMKM yang bergerak di industri halal, seperti industri makanan dan minuman halal, maupun yang bergerak di bidang pariwisata halal. Ini sangat penting agar posisi Indonesia sebagai produsen utama industri halal bisa terus ditingkatkan. Dalam Annual OIC Halal Economy Report 2022 dijelaskan bahwa 78 persen suplai makanan halal berasal dari negara bukan Islam. Dari 10 produsen makanan halal terbesar di dunia, hanya Indonesia dan Turki yang berasal dari negara anggota OKI, sementara delapan negara sisanya adalah negara muslim minoritas.
India dan Brazil tercatat sebagai produsen makanan halal terbesar pertama dan kedua di dunia, dengan pangsa pasar 9 persen dan 8 persen. Demikian pula dengan sektor halal lainnya, seperti farmasi dan obat-obatan halal yang 95 persen suplainya berasal dari negara muslim minoritas dan industri kosmetika halal yang 87 persen kebutuhannya disuplai juga dari negara muslim minoritas. Ini tentu tantangan sekaligus peluang bagi Indonesia untuk melakukan penetrasi pada industri halal global.
Selanjutnya dampak ketiga, adalah dari sisi makro, yaitu terkait dengan penurunan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Dengan ketentuan bahwa nazhir wakaf hanya boleh mengambil 10 persen sebagai keuntungan untuk dirinya, maka ada petensi dana yang sangat besar untuk dapat digunakan dalam beragam program pengentasan kemiskinan dan kesenjangan.
Misalnya, bank syariah dapat mengumpulkan wakaf uang senilai Rp 1 triliun. Jika bank syariah dapat memperoleh 30 persen profit dari penyaluran dana wakaf Rp 1 triliun tersebut, maka bank syariah akan menghasilkan Rp 300 miliar. Dari keuntungan tersebut, Rp 30 miliar menjadi hak nazhir dari bank syariah, dan sisanya dapat digunakan untuk dua hal lain, yaitu pengembangan bisnis bank syariah, katakan 30 persen, dan penyaluran untuk mauquf alaih (penerima manfaat wakaf) sebesar 60 persen.
Pada contoh di atas, dana pengembangan yang dapat digunakan bank syariah adalah Rp 90 miliar, dan yang dapat disalurkan pada mauquf alaih adalah sebesar Rp 180 miliar. Artinya, ada dana sebesar Rp 180 miliar yang dapat digunakan untuk berbagai program pengentasan kemiskinan, seperti beasiswa pendidikan, bantuan pangan, bantuan usaha produktif bagai nasabah mikro dan ultra mikro, dan lain-lain. Ini juga akan menciptakan skema aliran dana yang dapat mereduksi secara signifikan kesenjangan antar kelompok. Ini baru Rp 1 triliun, bagaimana kalau pengumpulan wakaf uangnya bisa mencapai angka Rp 100 triliun, maka dengan asumsi yang sama, kita akan memiliki dana sebesar Rp 18 triliun yang dapat disalurkan pada penerima manfaat. Dalam konsep wakaf, penerima manfaat wakaf ini bisa siapapun, dengan latar belakang agama apapun. Bahkan, penerima manfaat ini bisa untuk hewan, tanaman atau bahkan untuk membeli persenjataan untuk memperkuat pertahanan negara. Pendeknya, pemanfataan dana hasil wakaf ini bisa sangat fleksibel, selama tujuannya adalah untuk kebaikan dan kemaslahatan bagi masyarakat, bangsa dan negara.
Dengan ketiga dampak di atas, maka penulis berharap agar aturan turunan UU No 4/2023 ini dapat segera disusun dengan baik. Untuk itu, penulis berharap agar penyusunan aturan turunan ini, apakah dalam bentuk PP, POJK, maupun aturan lainnya, dapat berjalan dengan lancar dan efektif, maka ada tiga hal yang perlu mendapat perhatian.
Pertama, penulis berharap agar ego struktural antar otoritas dapat diminimalisir dengan baik. Jangan sampai ego struktural menghalangi niat baik untuk mengembangkan sektor perwakafan di Indonesia. Baik Kementerian Agama, BWI, maupun OJK, diharapkan dapat bekerjasama dengan baik sehingga implementasi aturan bank syariah sebagai nazhir wakaf uang dapat berjalan secara efektif. Kemenag, BWI dan OJK diharapkan dapat berbagi peran, baik pada sisi perizinan, pengaturan maupun pengawasan. Misalnya, Kemenag dapat menjalankan fungsi pengawasan dan audit syariah, sesuai dengan kompetensinya, dan OJK melakukan fungsi pengawasan pengelolaan dana dan pelaporannya. Sementara BWI dapat melakukan upaya penguatan kompetensi nazhir yang ada, agar memiliki kesiapan dalam mengembangkan beragam program wakaf, khususnya wakaf produktif, serta melakukan pengukuran kinerja melalui implementasi Indeks Wakaf Nasional (IWN) dan alat ukur lainnya.
Kedua, penulis juga berharap agar integrasi data perwakafan melalui proses transformasi digital dapat terus dikembangkan. Aturan turunan yang ada diharapkan dapat memfasilitasi dan mendorong adanya proses integrasi data perwakafan nasional sehingga kita bisa memiliki kualitas data perwakafan yang valid dan dapat dipercaya. Kredibilitas data ini menjadi sangat penting sebagai pondasi untuk membangun transparansi dan akuntabilitas yang akan mengundang kepercayaan publik.
Ketiga, dari sisi perpajakan. Penulis berharap agar para wakif (pemberi wakaf), dapat diberikan stimulus perpajakan yang minimal sama dengan stimulus yang diberikan pada muzakki yang menyalurkan zakatnya pada BAZNAS dan LAZ resmi, yaitu wakaf uang yang dibayarkan pada BWI dan institusi nazhir wakaf uang resmi, dapat menjadi pengurang pendapatan kena pajak. Ini diharapkan dapat semakin memotivasi individu maupun badan usaha untuk berwakaf uang.
Jika ketiga hal di atas dapat direalisasikan dengan baik, penulis optimis bahwa sektor perwakafan ini akan berkembang menjadi sektor yang akan menjadi salah satu penopang utama perekonomian nasional. Perekonomian akan semakin produktif, dan kemiskinan dan kesenjangan juga dapat direduksi. Semoga. Wallaahu a’lam.
(Tulisan ini telah terbit di Republika)