Kabar DaerahOpini

Gen Pahlawan Kader PUI

Penulis: Raizal Arifin

Sekretaris Jenderal PUI

Hari Pahlawan yang jatuh pada bulan November besok harusnya menjadi bulan sakral bagi PUI. Hari Pahlawan jadi pengingat bagi seluruh kader dan warga PUI, bahwa organisasi yang kita cintai ini didirikan oleh dua sosok Pahlawan Nasional: KH Ahmad Sanusi dan KH Abdul Halim. Harusnya PUI bisa terus tumbuh dan membesar seperti kebesaran kedua Pahlawan ini.

Namun mengapa PUI hari ini tidak tampil gagah seperti NU dan Muhammadiyah? Apa yang hilang dari dalam diri kader-kader PUI sehingga performa organisasi PUI tak semenarik dan ber-impact besar seperti kedua saudara kita tadi? Bagaimana caranya kita bisa mencetak Pahlawan-pahlawan baru di lingkungan PUI?

Saat Organisasi PUI didirikan pada 21 Desember 1917, KH Abdul Halim masih berusia 30 tahun, sementara KH Ahmad Sanusi lebih muda dua tahun yakni berusia 28 tahun. Bahkan Jam’iyah Hajatoel Qoeloeb (JHQ) didirikan oleh KH Abdul Halim pada 1911 saat masih berusia 24 tahun. Bisa dibayangkan anak muda yang belum genap berumur 30 tahun, berani dan bisa membangun produk karya berupa organisasi keislaman yang tetap eksis selama 106 tahun. Tentu beliau berdua didukung oleh super team yang hebat sehingga pondasi organisasi PUI terbangun kokoh sejak awal berdirinya.

Keberanian memulai produk karya sejak usia belia inilah yang membuat beliau berdua pantas menjadi tim founder father Indonesia dan disematkan gelar Pahlawan Nasional. Andai saja mereka lebih suka mengikuti passion rebahan dan hidup santuy, maka organisasi PUI tidak pernah terukir dalam sejarah Republik Indonesia. Kita pun mungkin tak saling mengenal dan berhimpun dalam satu ikatan persaudaraan PUI seperti yang kita rasakan saat ini.

Bila pendiri kita adalah pahlawan besar dengan karya monumental, lantas mengapa organisasi kita saat ini seperti kurang bergairah, tidak mampu menciptakan impact besar sehingga bisa lebih sukses atau setidaknya setara dengan NU dan Muhammadiyah. Tanpa bermaksud menyalahkan siapapun, rasanya ada satu hal yang hilang dari dalam diri kita. Yaitu mentalitas dan daya kerja kepahlawanan yang tak lagi tampak dari kader dan warga PUI.

Benar bahwa kader dan warga PUI punya Gen sebagai seorang pahlawan. Namun bila tidak belajar dan berlatih, maka gen ini menjadi gen yang resesif. Kalah tertutupi oleh gen yang lebih dominan, yaitu jiwa manusia biasa saja alias bukan pahlawan. Kalau kita ingin gen pahlawan ini tak lagi resesif dan menonjol menjadi gen dominan, kita harus memperbaiki mindset, mentalitas, skill dan daya kerja kita selayaknya seorang pahlawan.

Setidaknya ada 4 ciri mentalitas pahlawan yang perlu diangkat kembali oleh kader PUI. Pertama, situasi kacau atau tidak ideal adalah peluang untuk tampil menjadi pahlawan. Saat melihat kondisi yang tidak ideal di lingkungan, organisasi, masyarakat, bangsa dan negara, para pahlawan tidak menjadi objek penderita atau hanya berpangku tangan. Mereka berupaya menjadi subyek, menjadi aktor yang berkontribusi melakukan sesuatu untuk memperbaiki keadaan. Tidak ada pahlawan yang lahir dari situasi yang nyaman dan baik-baik saja. Mereka selalu lahir dari situasi tidak ideal, bahkan kacau balau, sehingga mereka bisa tampil memberikan solusi terbaik sesuai kebutuhan masyarakat saat itu.

Kedua, Pahlawan selalu bertujuan menciptakan impact. Mereka selalu bertanya bisa berkontribusi apa, bukan mendapatkan apa. Ucapannya bukan terima kasih, tapi kasih dahulu baru terima. Impact bukan sekedar berbuat, tapi terukur apa manfaat yang dirasakan bahkan perbaikan apa yang dirasakan masyarakat dari action kita. Demi masyarakat, kembali kepada masyarakat. Kesuksesan apapun selalu tercipta setelah impact besar dibuat. Bila pendiri PUI tidak merasakan perih getir perjuangan dan pengorbanan demi kemerdekaan, nama mereka tidak akan dikenang harum sebagai Pahlawan.

Ketiga, pahlawan bukanlah orang yang selalu sukses dalam setiap karya atau usahanya. Mereka manusia biasa yang berani melakukan sesuatu. Meskipun gagal, mereka terus mencoba melakukan lagi dengan versi yang lebih baik. Terus menerus demikian. Bahkan mereka belajar lebih keras dari yang lain untuk bisa berbuat yang lebih baik. Berdirinya organisasi PUI atau menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bukanlah aksi sukses pada kesempatan pertama. Sudah ada sekian banyak usaha dan ikhtiar sebelumnya yang memberikan pelajaran dan portofolio sehingga momentum pendirian PUI dan BPUPKI membuat nama mereka terukir oleh sejarah.

Keempat, pahlawan selalu siap bekerja dalam senyap, bahkan namanya baru eksis saat mereka tiada. Saat berjuang, mereka tidak peduli pada cibiran, cemoohan, kejamnya netizen, dan suara-suara miring yang tentu membuat mental kepahlawanan terganggu. Selalu saja ada godaan untuk menjadi manusia kebayakan yang santuy dan pasrah. Menjadi pahlawan itu berat, karena harus tebal kuping untuk berikhtiar maksimal membuat sesuatu yang punya kebermanfaatan (impact) sebesar mungkin untuk masyarakat.

Bila saja keempat mentalitas ini kembali ditanamkan di sekolah, pesantren, program kaderisasi, kampus dan berbagai acara juga rapat-rapat organisasi PUI, maka ada harapan untuk Gen Pahalwan dalam kader dan warga PUI kembali muncul ke permukaan. Terutama di kalangan pelajar dan mahasiswa PUI, empat mentalitas ini harus dibangun, ditempa, dan juga dilatih secara aktif sehingga tersemai pahlawan-pahlawan baru dari lingkungan PUI.

Bila menggunakan pendekatan dari Muammad Faisal penulis buku Generasi Kembali Ke Akar, dia mengatakan kalau ada kesamaan antara generasi pendiri bangsa seperti Soekarno, Hatta, Soedirman dkk dengan generasi Z hari ini. Soekarno dkk lahir awal tahun 1990an, gen Z lahir awal tahun 2000an. Soekarno dkk lahir dalam kemelimpahan pendidikan/informasi sebab politik etis dan maraknya buku-buku pergerakan, gen Z juga mengalami kemelimpahan informasi karena kemajuan teknologi digital.

Soekarno dkk mengalami masa pandemi, juga gen Z kita. Pola ini ini memberi pesan pada kita untuk menyiapkan Gen Z yang kini masih SMP, SMA dan kuliah untuk memiliki mentalitas pahlawan, dan kita harus melatih mereka agar terbiasa menjadi pahlawan-pahlawan kecil untuk lingkungan mereka. Dari pahlawan lokal, suatu saat mereka akan tampil menjadi pahlawan besar.

Seperti suasana menjelang 1945, ada banyak gejolak besar terjadi menjelang tahun 2045 yang kita harapkan menjadi era kejayaan. Situasinya tidak ideal, mungkin juga kacau balau. Tapi bukan situasi yang menentukan nasib kita, tapi seberapa besar jiwa, mental dan kerja kepahlawanan dari generasi Z PUI-lah yang bisa membawa kebesaran PUI dan kejayaan bangsa, apapun suasana yang terjadi. Buat Gen Pahlawan pada Gen Z PUI menjadi dominan, agar kita bisa mewarisi PUI yang tetap hidup seribu tahun lagi. Wallahu’alam.

Related Articles

Back to top button