Opini

PUI, Kembalilah ke Pengkaderan Sistem Muallimin/Muallimat

Oleh KH. Ahmadie Thaha

Anggota Majelis Syura PUI

PUI.OR.ID – Saat membersamai Ketua Umum DPP PUI Ust Dede Nurhasan Zaidi hadir ke acara UKM di Majalengka hingga Pandeglang, pekan lalu, selama dalam perjalanan di dalam mobil atau dalam diskusi-diskusi di kafe, saya menekankan perlunya kita kembali menghidupkan sistem muallimin/muallimin yang sudah diwariskan KH Abdul Hakim dkk di Majalengka.

Pengalaman selama ini membuktikan, kita tak cukup mengkader melalui Taklim Intisab yang sifatnya instan. Kita memerlukan sistem pengkaderan berbasis pendidikan berkelanjutan ala pesantren dengan kembali ke sistem muallimin/muallimat yg dulu dikembangkan KH Abdul Halim.

Sistem muallimin merupakan legacy PUI yg kini malah dikembangkan oleh Pondok Modern Gontor, Ponpes Al-Amien Prenduan. Bahkan, sistem pendidikan muallimin, bersama sistem pendidikan salafaiyah, sudah dipaterikan dan disahkan secara legal menjadi salah satu sistem pendidikan nasional di dalam Undang-Undang Pesantren dan peraturan-peraturan pendukungnya yang lain. Sistem ini dikenal sebagai sistem pendidikan muadalah muallimin dan muadalah salafiyah, yang kurikulumnya secara utuh dan murni dapat dibuat dan dikembangkan oleh masing-masing pesantren. Begitu pula, setiap pesantren boleh mengeluarkan ijazah masing-masing.

Dengan sistem muallimin dan salafiyah, seperti ditetapkan dalam UU Pesantren, kini pesantren mendapat pengakuan formal seutuhnya dari pemerintah. Ijazahnya diakui di semua sekolah dan lembaga, dan lulusannya dapat diterima secara sah di perguruan-perguruan tinggi negeri dan swasta dalam dan luar negeri. Namun, bersama dengan itu, pesantren diberi kemandirian utuh untuk mengembangkan diri, dalam hal kurikulum, metode pengajaran hingga pendanaan, tanpa harus kehilangan kemandirian dan jatidiri.

Namun, sayangnya, PUI justru meninggalkan sistem muallimin yang pernah menjadi legacy-nya. Inilah yang membuat PUI kehilangan jatidiri. Dahulu, dengan sistem mualliminnya, sekolah PUI yang berasromo (pesantren) banyak melahirkan kader-kader terbaiknya, yang lalu menyebar kembali ke kampung masing-masing sebagai juru dakwah, dan banyak mendirikan majelis taklim, sekolah serta madrasah di daerah mereka.

Coba tanya ke para kader sepuh PUI di daerah-daerah itu tentang pengalaman pendidikan masa lalu mereka. Pasti mereka akan bercerita panjang lebar bagaimana mereka dulu dididik di lembaga muallimin/muallimat PUI di Majalengka. Pengkaderan PUI di muallmin/muallimat begitu berkesan kuat pada pembentukan jatidiri dan kejuangan mereka.

Namun, ketika sekolahsekolah dan madrasah-madrasah PUI terpaksa oleh kondisi harus berubah mengikuti arus perubahan yang dipaksanakan oleh pemerintah, dengan mengubah sekolah/madrasah mereka menjadi MTs dan MA, dan terpaksa harus meninggalkan sistem pendidikan muallimin/muallimat, maka tanpa disadari PUI secara perlahan telah meninggalkan sistem pengkaderan keguruannya atau kemualliminannya yang terbaik, yang dulu disusun dan ditata dengan susah payah oleh KH Abdul Halim dkk.

Berdasar pengalaman selama bertahun-tahun belakangan ini, di mana kita kurang mampu menciptakan kader-kader yg tangguh dan loyal, rasanya tak cukup kita hanya mengandalkan pengkaderan dengan pola Taklim Intisab. Kita harus kembali ke pengkaderan melalui lembaga-lembaga pendidikan berbasis sistem muallimin/muallimat yang dulu diwariskan oleh KH Abdul Halim. (Cak AT, Gadog 21/02/2022)

Related Articles

Back to top button