Guru: Agen Pembangunan Peradaban dan Mitra Strategis Keluarga dalam Membangun Generasi Berketahanan
Refleksi Hari Guru dalam Perspektif Ishlahul Tsamaniyah dan Ketahanan Keluarga.

Oleh Rita Juniarty
Ketua Lembaga Ketahanan Keluarga DPP Wanita PUI
Setiap tahun, tanggal 25 November kembali mengingatkan kita pada satu profesi yang memegang peranan menentukan dalam sejarah peradaban: guru. Guru adalah sosok yang mengubah ruang kelas kecil menjadi gerbang masa depan. Guru menuturkan ilmu, menata karakter, dan menghubungkan anak dengan nilai-nilai kehidupan. Namun di tengah derasnya arus perubahan sosial, guru hari ini menghadapi tantangan yang tidak hanya bersifat akademik, tetapi juga psikologis, moral, bahkan kultural. Karena itu, pendidikan tidak mungkin berdiri sendiri. Di belakang proses belajar yang kuat, harus berdiri keluarga yang berketahanan—sebuah keluarga yang memiliki fondasi kokoh dalam seluruh dimensi kehidupan.
Dalam perspektif Ishlahul Tsamaniyah—delapan perbaikan kehidupan umat—pendidikan tidak hanya diukur dari nilai rapor, tetapi dari sejauh mana seorang anak tumbuh dalam akidah (Ishlahul Akidah), ibadah (Ishlahul Ibadah), pendidikan (Ishlahul Tarbiyah), keluarga (‘Ailah), budaya (Ishlahul ‘Adah), ekonomi (Ishlahul Iqtisod) masyarakat (Ishlahul Mujatama’), hingga umat (Ishlahul Ummah) yang saling bertaut. Karena itu, guru dan keluarga bukan dua entitas terpisah; keduanya adalah mitra strategis dalam membangun generasi.
Sejalan dengan itu, enam dimensi ketahanan keluarga—ketahanan spiritual, landasan legalitas dan keutuhan keluarga, fisik, ekonomi, sosial-psikologis, dan sosial-budaya—memberi kita sudut pandang bahwa keberhasilan guru sangat dipengaruhi oleh kekuatan keluarga. Guru menguatkan dari sekolah, keluarga menguatkan dari rumah. Keduanya adalah dua sisi dari satu amanah besar: membentuk anak sebagai manusia seutuhnya.
Guru: Agen Pembangunan Peradaban dan Penata Generasi
Pada Peluncuran Bulan Guru Nasional 2025, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul M’uti, sekali lagi menegaskan peran guru bukan sekadar agen pembelajaran, tetapi juga agen pembangunan peradaban. https://puslapdik.kemendikdasmen.go.id/bulan-guru-nasional-2025-abdul-muti-peran-guru-sebagai-agen-pembangunan-peradaban/
Dalam Ishlahul Tsamaniyah, pendidikan (ishlah al-tarbiyah) adalah aspek strategis yang menghubungkan seluruh perbaikan kehidupan umat. Guru adalah aktor kunci di dalamnya. Mereka tidak hanya menyampaikan pengetahuan, tetapi mentransmisikan nilai akidah, ibadah, akhlak, budaya, dan kecerdasan sosial.
Ketika seorang guru mengajarkan disiplin, ia sedang menanamkan nilai ibadah. Ketika guru mengajarkan empati, ia sedang memperbaiki aspek kemasyarakatan. Ketika guru memperkenalkan literasi digital sehat, ia sebenarnya menjaga adat dan budaya.
Dengan kata lain, guru adalah agen pembangunan peradaban, yakni sosok yang menggerakkan nilai, pengetahuan, dan karakter yang menjadi bahan baku peradaban. Tanpa guru, cetak biru peradaban tidak menemukan pelaksana.
Tetapi guru tidak dapat menjalankan peran ini tanpa keluarga yang kokoh. Di sinilah enam dimensi ketahanan keluarga bergaung secara nyata dalam pendidikan.
Enam Dimensi Ketahanan Keluarga dan Gaungnya dalam Pendidikan Anak
1. Ketahanan Spiritual: Menyatukan Nilai Rumah dan Sekolah
Anak yang dibesarkan dalam keluarga dengan ketahanan spiritual yang baik—doa, teladan ibadah, adab, dan akhlak—datang ke sekolah dengan kesiapan moral. Guru melanjutkan apa yang sudah ditanamkan orang tua. Ketika nilai rumah dan sekolah bersambung, pendidikan menjadi utuh.
2. Ketahanan Landasan Legalitas & Keutuhan Keluarga: Stabilitas Emosional Anak
Keluarga yang utuh secara legal maupun relasi menghadirkan stabilitas psikologis bagi anak. Konflik rumah tangga, kekerasan verbal, atau perpisahan tanpa pengelolaan yang baik sering terlihat dampaknya di sekolah. Guru bekerja lebih ringan ketika keluarga hadir sebagai ruang aman.
3. Ketahanan Fisik: Kesehatan sebagai Syarat Belajar
Pola makan sehat, tidur cukup, kebersihan, dan rutinitas harian adalah tugas keluarga. Guru melihat banyak anak yang ke sekolah tanpa sarapan, kurang tidur, atau kelelahan digital. Ketahanan fisik keluarga menentukan kualitas konsentrasi anak di kelas.
4. Ketahanan Ekonomi: Prioritas yang Menentukan Arah Pendidikan
Ketahanan ekonomi bukan hanya besar pendapatan, tetapi kemampuan keluarga memprioritaskan pendidikan. Anak yang memiliki fasilitas dasar—buku, gizi, transportasi, waktu belajar—datang ke sekolah dengan kesiapan optimal. Guru mengajar dan mendidik di sekolah, sementara keluarga memastikan kebutuhan dasar terpenuhi.
5. Ketahanan Sosial-Psikologis: Kolaborasi Orang Tua dan Guru
Guru tidak bisa bekerja sendiri. Ketika orang tua terlibat, hadir dalam komunikasi, dan mendampingi proses belajar, anak berkembang jauh lebih baik. Kolaborasi ini menciptakan ekosistem pendidikan yang sehat. Di sinilah perbaikan keluarga (ishlah ‘Ailah) bertemu dengan perbaikan pendidikan (ishlahul tarbiyah).
6. Ketahanan Sosial-Budaya: Menjaga Identitas di Tengah Arus Digital
Guru berjuang menjaga adab, sopan santun, dan nilai budaya di kelas. Namun nilai itu akan rapuh jika tidak diperkuat di rumah. Ketahanan budaya keluarga—cara berbahasa, kebiasaan membaca, adab kepada orang tua dan guru—membentuk akar identitas yang kuat.
Penutup: Guru Menggerakkan, Keluarga Mengokohkan
Hari Guru bukan sekadar peringatan, tetapi pengingat bahwa masa depan bangsa ditentukan oleh dua institusi utama: keluarga sebagai pusat pembentukan peradaban, dan guru sebagai agen pembangunan peradaban.
Keduanya saling melengkapi, saling menguatkan, dan saling menggaungkan nilai-nilai kebaikan bagi generasi penerus.
Pada akhirnya, guru bukan sekadar pengajar, tetapi penggerak yang menuntun arah peradaban—mengokohkan akhlak, mempertajam nalar, dan memuliakan masa depan bangsa bersama keluarga yang berketahanan.



