DPP PUI Gelar Webinar Respon Penyimpangan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)
PUI.OR.ID, JAKARTA – Dewan Pengurus Pusat Persatuan Ummat Islam (DPP PUI) menyelenggarakan Webinar Respon Penyimpangan RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) dengan tema “Menyelamatkan Generasi Muda dari Perzinahan dan LGBT dengan Memberikan Dukungan kepada Anggota DPR RI agar RUU TPKS Tidak Menyimpang dari Pancasila dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia†pada Rabu (10/2021) pukul 15.30 WIB, yang diikuti 240 peserta secara daring.
Wakil Ketua Umum DPP PUI, Dr. KH. Wido Supraha, dalam sambutannya menyampaikan bahwa PUI hadir untuk mempersatukan seluruh potensi ummat Islam jauh sebelum negara Indonesia ada, dan bersama-sama ormas lain memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
“Ketika ada upaya-upaya untuk memasukkan paham-paham sekularis dengan menyokong LGBT dan Feminisme, maka PUI tidak akan tinggal diam dan akan melakukan segala upaya untuk melawannya, termasuk paham-paham menyesatkan yang terdapat di dalam RUU TPKS dan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021,” tegasnya.
Anggota Komisi VIII DPR-RI, KH. Buchori Yusuf, Lc., MA, yang berlaku sebagai pemateri dalam webinar ini menyampaikan bahwa RUU TPKS ini memiliki banyak permasalahan, apalagi di dalam perumusan konsiderannya. Ia melanjutkan, beberapa ketentuan tindak pidana yang terdapat dalam RUU TPKS sebenarnya sudah ada di UU lain seperti KUHP, UU PKDRT, UU Perlindungan Anak, dan UU Perlindungan Saksi dan Korban.
“Maka sudah seharusnya ketentuan mengenai tindak pidana kekerasan seksual ini cukup diatur melalui KUHP,” lanjutnya.
Pada pendalaman materi selanjutnya, Dr. KH. Wido Supraha memaparkan bahwa RUU TPKS ini merupakan metamorfosis dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang sudah ditolak beberapa waktu lalu. Tetapi anehnya, materi muatan yang terdapat dalam RUU PKS itu malah diambil dan dijadikan materi dalam Permendukburistek No. 30 Tahun 2021.
Ia juga mengutarakan, sangat banyak persoalan di dalam Permendukburistek No. 30 Tahun 2021 tersebut, mulai dari penyimpangan secara konstitusi, terdapatnya relasi kuasa dan reladi gender, memberikan ruang bagi LGBT, serta membuka ruang bagi seks bebas di lingkungan Pendidikan tinggi.
“Hal ini kalau dibiarkan akan memberikan dampak yang sangat buruk bagi masa depan bangsa dan negara Indonesia,” ucapnya.
Ia melanjutkan, adapun secara narasi judul RUU TPKS ini seharusnya bukan kekerasan seksual, melainkan kejahatan seksual, sebagaimana juga terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan lainnya.
- Baca juga: Umat Islam Mulai Bergerak Menolak Permen Tentang Kekerasan Seksual
- Baca juga: Berpotensi Legalkan Perzinahan, MOI Tolak Permendikbud tentang Kekerasan Seksual di Kampus
Dewan Pakar LPPDSDM, Dr. Maman Nurzaman dalam sesi berikutnya memaparkan terkait petunjuk teknis yang harus dilakukan dalam menyikapi RUU TPKS ini. Juknis tersebut dimulai dari melontarkan isu-isu yang perlu diperjuangkan dalam pembahasan RUU TPKS. Selanjutnya, isu-isu tersebut ditegaskan ke dalam pernyataan bersama dan disebarkan melalui media sosial, dialog terbuka, dan ekstra parlementer.
Pada sesi akhir, Ketua Komisi Penelitian MUI Pusat, Prof. Firdaus Syam, Ph.D, memberikan apresiasi kepada DPP PUI yang telah menyelenggarakan kegiatan ini dan berpesan agar selanjutnya harus ada langkah-langkah yang lebih massif dan lebih kongkrit.
Sebagai penutup, Dr. KH. Wido Supraha menyampaikan bahwa PUI Bersama ormas dan elemen masyarakat lainnya harus berusaha menggalang persatuan untuk menolak segala sesuatu yang berpotensi merusak bangsa Indonesia. (Pewarta: Adeb Davega Prasna, Editor: Gabriel)