Berita TerkiniOpiniWanita PUI

Ishlahuts Tsamaniyah PUI dan Jalan Menuju Indonesia Emas 2045

Dalam Rangka Milad PUI ke 108

Oleh Rita Juniarty.
Ketua Lembaga Ketahanan Keluarga DPP Wanita PUI.

Dari Gerakan Umat Menuju Arsitektur Pembangunan Bangsa

Indonesia tengah menatap satu momentum sejarah: Indonesia Emas 2045, satu abad kemerdekaan yang diproyeksikan menjadi tonggak Indonesia sebagai negara maju, berdaulat, adil, dan berdaya saing global. Namun, pertanyaan mendasarnya bukan sekadar apakah Indonesia mampu tumbuh secara ekonomi, melainkan apakah Indonesia mampu membangun manusia dan peradaban secara utuh.

Di titik inilah, Persatuan Ummat Islam (PUI) dengan Gerakan Ishlah menemukan relevansinya yang paling strategis. Gerakan Ishlah PUI bukan agenda seremonial organisasi, melainkan kerangka perbaikan kehidupan umat yang bersifat sistemik, jangka panjang, dan berakar dari bawah—sebuah pendekatan yang justru sering hilang dalam narasi pembangunan nasional yang terlalu teknokratis dan elitis.

Ishlah sebagai Paradigma Pembangunan

Pembangunan nasional kerap direduksi menjadi angka pertumbuhan, indeks ekonomi, dan statistik makro. Padahal, sejarah menunjukkan bahwa bangsa runtuh bukan karena miskin sumber daya, tetapi karena rapuh secara moral, sosial, dan institusional. Gerakan Ishlah PUI menawarkan paradigma tandingan: pembangunan dimulai dari perbaikan manusia, keluarga, dan komunitas.

Bidang-bidang ishlah—akidah, ibadah, pendidikan, keluarga, adat, ekonomi, masyarakat, dan umat—bukan daftar normatif, tetapi arsitektur peradaban. Jika Indonesia Emas 2045 ingin berkelanjutan, maka fondasinya harus ditanam hari ini melalui gerakan sosial-keagamaan yang konsisten dan terukur.

Ishlah Akidah dan Ibadah: Fondasi Moral Bangsa

Indonesia Emas membutuhkan sumber daya manusia unggul. Namun keunggulan intelektual tanpa fondasi moral justru berpotensi melahirkan krisis: korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan degradasi etika publik. Ishlah akidah dan ibadah PUI menegaskan bahwa iman bukan urusan privat semata, tetapi energi publik.

Manusia yang kokoh akidahnya lebih tahan terhadap krisis nilai, tidak mudah tergoda pragmatisme, dan memiliki orientasi pengabdian. Dalam jangka panjang, inilah modal sosial bangsa yang tidak dapat digantikan oleh investasi fisik apa pun. Indonesia Emas tanpa integritas hanya akan menjadi kemajuan semu.

Ishlah Pendidikan: Menjawab Bonus Demografi atau Menyongsong Bencana?

Bonus demografi 2030–2045 sering diprediksi sebagai peluang emas. Namun tanpa kualitas, ia justru berubah menjadi bonus pengangguran, konflik sosial, dan beban negara. Di sinilah Ishlah pendidikan PUI mengambil peran krusial.

Melalui Pendidikan Terpadu PUI (PTP), pendidikan tidak dipahami semata sebagai transfer pengetahuan, tetapi sebagai pembentukan karakter, etos kerja, dan kesadaran sosial. Integrasi iman, ilmu, dan keterampilan menjadi jawaban atas kebutuhan zaman: generasi yang adaptif terhadap teknologi namun tidak tercerabut dari nilai.

Jika negara berbicara tentang human capital, PUI berbicara tentang human dignity—manusia yang bukan hanya produktif, tetapi juga bermakna bagi masyarakatnya.

Ishlah Keluarga dan Adat: Pilar yang Sering Diabaikan

Banyak kebijakan nasional gagal karena mengabaikan keluarga sebagai fondasi sosial. Padahal, krisis pengasuhan, disorientasi nilai, dan rapuhnya keteladanan berakar dari melemahnya institusi keluarga. Ishlah keluarga dan adat PUI hadir sebagai kritik atas pembangunan yang terlalu negara-sentris.

PUI menempatkan keluarga sebagai pusat ishlah: tempat nilai ditanam, etika dibiasakan, dan tanggung jawab sosial dibentuk. Adat diposisikan bukan sebagai beban masa lalu, tetapi sebagai kearifan yang perlu diselaraskan dengan tantangan zaman. Tanpa keluarga yang kuat, Indonesia Emas hanya akan berdiri di atas fondasi rapuh.

Ishlah Ekonomi: Keadilan sebagai Ukuran Kemajuan

Indonesia Emas menargetkan keluar dari middle income trap. Namun pertumbuhan ekonomi tanpa keadilan hanya melahirkan ketimpangan baru. Ishlah ekonomi PUI menegaskan bahwa ekonomi bukan sekadar soal laba, tetapi soal keberpihakan.

Melalui penguatan koperasi, UMKM, literasi keuangan syariah, dan etika bisnis, PUI mendorong ekonomi berbasis komunitas. Pendekatan ini mungkin tidak spektakuler secara statistik, tetapi berkelanjutan secara sosial. Indonesia Emas tidak boleh menjadi milik segelintir, melainkan hasil kerja kolektif umat dan bangsa.

Ishlah Masyarakat dan Umat: Ketahanan Sosial di Tengah Polarisasi

Di tengah polarisasi ideologis, konflik identitas, dan ketegangan global, ketahanan sosial menjadi aset strategis nasional. Ishlah masyarakat dan umat PUI berkontribusi menjaga kohesi sosial melalui dakwah kebangsaan, dialog keummatan, dan penguatan komunitas.

Islam wasathiyah yang diperjuangkan PUI bukan sekadar jargon moderasi, tetapi praktik hidup bermasyarakat yang menjunjung keadilan, persatuan, dan tanggung jawab kebangsaan. Indonesia Emas tidak akan tercapai tanpa stabilitas sosial yang berakar pada nilai agama.

Intisab Kader: Dari Nilai ke Aksi Nyata

Jika Gerakan Ishlah adalah peta jalan, maka intisab kader adalah kendaraan penggeraknya. Kader PUI yang berintisab kuat tidak berhenti pada loyalitas struktural, tetapi menjelma menjadi agen perubahan di ruang-ruang nyata: sekolah, masjid, pesantren, keluarga, dan komunitas ekonomi.

Mereka menjembatani visi besar Indonesia Emas dengan realitas akar rumput. Di sinilah kekuatan PUI: bekerja senyap, konsisten, dan berjangka panjang, sesuatu yang sering tidak sabar dilakukan oleh kebijakan negara yang berganti-ganti rezim.

Ishlah sebagai Investasi Peradaban

Indonesia Emas 2045 tidak akan lahir dari kebijakan instan atau proyek mercusuar semata. Ia membutuhkan investasi peradaban—pembinaan manusia, penguatan keluarga, dan pemberdayaan umat secara konsisten. Gerakan Ishlah PUI telah menempuh jalan itu jauh sebelum istilah Indonesia Emas digaungkan.

Dengan menjaga intisab kader dan menghidupkan Gerakan Ishlah secara kontekstual, PUI tidak sekadar menjadi saksi sejarah 2045, tetapi arsitek sunyi yang ikut membangunnya.

Indonesia Emas bukan tujuan akhir, melainkan amanah sejarah. Dan ishlah—yang dimulai dari diri, keluarga, dan umat—adalah jalannya.

Related Articles

Back to top button