LBH PUI Kecam Tuntutan Ringan Kajari Kabupaten Bandung dalam Kasus Kekerasan Seksual terhadap Enam Anak

Bandung — Lembaga Bantuan Hukum Persatuan Ummat Islam (LBH PUI) menyampaikan keprihatinan mendalam sekaligus kecaman keras atas tuntutan pidana yang dinilai terlalu ringan terhadap terdakwa kasus kekerasan seksual terhadap anak yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Kabupaten Bandung pada 10 Desember 2025 di Pengadilan Negeri Bale Bandung.
Ketua LBH PUI Etza Imelda menilai tuntutan pidana 18 tahun penjara dan denda Rp1 miliar, dengan subsidair kurungan 4 bulan apabila denda tidak dibayar, dalam Perkara Nomor 1045/Pid.Sus/2025/PN.Blb terhadap terdakwa RR, tidak sebanding dengan beratnya kejahatan yang dilakukan. Dalam perkara ini, korban merupakan enam orang anak.
“Tuntutan tersebut sangat melukai rasa keadilan publik dan mencederai hak-hak korban anak. Ini adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang dampaknya merusak fisik, psikis, sosial, dan masa depan korban secara permanen,” tegas Etza.
LBH PUI menyoroti bahwa tuntutan tersebut tidak mencerminkan pemberatan pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 81 ayat (3) disebutkan bahwa apabila tindak pidana dilakukan oleh pendidik, pidana ditambah sepertiga. Sementara ayat (5) menegaskan bahwa apabila korban lebih dari satu orang, pelaku dapat dijatuhi pidana mati, penjara seumur hidup, atau penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun, disertai pidana tambahan seperti pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia, dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
“Jaksa seharusnya menjadikan prinsip the best interest of the child sebagai pijakan utama. Tuntutan ringan seperti ini justru melemahkan upaya nasional dalam pemberantasan kejahatan seksual terhadap anak,” ujar Etza.
Menurut LBH PUI, tuntutan tersebut tidak hanya mengabaikan penderitaan korban dan keluarganya, tetapi juga berpotensi menciptakan preseden berbahaya dalam penegakan hukum, seolah kejahatan seksual terhadap anak dapat dinegosiasikan. Hal ini dinilai semakin ironis karena Kajari Bale Bandung adalah seorang ibu, yang seharusnya memiliki empati lebih terhadap penderitaan korban dan orang tua.
LBH PUI menegaskan beberapa sikap:
- Tuntutan ringan tidak mencerminkan rasa keadilan bagi korban dan keluarga.
- Jaksa wajib mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak sesuai amanat UU Perlindungan Anak.
- Kejahatan seksual terhadap anak harus dituntut secara proporsional dengan memperhatikan unsur pemberatan.
- Kejaksaan Tinggi Jawa Barat didesak segera mengevaluasi kinerja Kajari Kabupaten Bandung.
- LBH PUI membuka pendampingan hukum gratis bagi keluarga korban dan masyarakat dalam kasus serupa.
“Tuntutan ringan terhadap pelaku kekerasan seksual anak adalah bentuk kegagalan moral dan profesional aparat penegak hukum. Negara tidak boleh abai. Anak-anak tidak boleh menjadi korban dua kali—pertama oleh pelaku, kedua oleh lemahnya tuntutan hukum,” tegas Etza.
LBH PUI mengajak seluruh elemen masyarakat untuk mengawal proses hukum hingga putusan akhir, memastikan pelaku memperoleh hukuman yang setimpal dan memberikan efek jera maksimal demi melindungi masa depan anak-anak Indonesia.



