Mengembangkan Usaha Mikro Dhuafa
Tidak dapat dipungkiri bahwa pandemi covid-19 telah memberikan dampak penurunan kondisi yang signifikan bagi UMKM, terutama usaha mikro yang dimiliki oleh para mustahik.
Hal ini terlihat dari menurunnya rata-rata pendapatan tahunan usaha mikro sebesar 37 persen sebelum dan sesudah pandemi covid-19 berdasarkan kajian yang dilakukan Pusat Kajian Strategis BAZNAS dalam policy brief-nya edisi 27 Maret 2020. Ini adalah kondisi yang dipotret saat pandemi covid-19 baru berjalan beberapa pekan setelah terjadi outbreak covid-19 yang ditandai dengan pengumuman resmi orang Indonesia pertama yang positif covid-19.
Sementara di sisi lain, Kemenkop dan UKM memprediksikan bahwa jumlah UMKM yang tutup mencapai angka 43 persen. Angka sedikit lebih tinggi dari survey yang dilakukan BAZNAS Microfinance (BMFi) terhadap 2.529 mustahik pelaku usaha mikro dimana ada 37 persen usaha mikro mustahik yang terpaksa tutup karena tidak mampu bertahan di tengah pandemi ini. Sisanya, 63 persen, tetap mampu bertahan, dan bahkan tiga persen diantaranya justru menunjukkan kenaikan omset di masa pandemi ini. Kemampuan beradaptasi dengan kondisi pandemi yang ditandai dengan perubahan perilaku dan gaya hidup masyarakat, dan upaya pemanfaatan kemajuan teknologi melalui berbagai platform IT yang ada sebagai saluran pemasaran produk yang utama, merupakan kunci keberhasilan tiga persen usaha mikro ini dalam meningkatkan omset dan pendapatannya.
Penurunan kondisi perekonomian diperkirakan lebih tajam lagi di triwulan kedua tahun 2020 ini. Sesuai proyeksi Kemenkeu, maka diprediksikan bahwa pertumbuhan ekonomi akan mencapai angka minus tiga persen pada triwulan kedua ini. Angka pengangguran berpotensi meningkat lebih banyak, dimana saat ini saja pengangguran telah naik sebesar 42,52 persen, dari 6,82 juta jiwa pada akhir 2019 menjadi 9,72 juta jiwa pada bulan April 2020.
Jika tidak dilakukan terobosan kebijakan strategis dan inovatif, maka pada triwulan ketiga, pertumbuhan ekonomi berpotensi tetap negatif, yang berarti secara teknis kita memasuki resesi ekonomi. Untuk itu, mendorong beragam stimulus ekonomi, dan pada saat yang sama, melindungi aspek kesehatan dan keselamatan masyarakat, merupakan langkah strategis yang harus dilakukan pemerintah. Memang serba dilematis bagi pemerintah, karena tidak mudah menekan angka kasus positif covid-19 di saat grafiknya masih terus meningkat dan belum menunjukkan tanda-tanda penurunan, sementara pada saat yang sama, memberikan stimulus bagi perekonomian untuk bisa bangkit di akhir tahun ini.
Dengan keluarnya Perpres No 82 Tahun 2020 pemerintah sepertinya lebih memilih pendekatan ekonomi sebagai cara mengatasi krisis kesehatan dan krisis perekonomian. Tentu publik sangat menunggu terobosan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional yang telah mendapatkan mandat untuk melakukan berbagai kebijakan untuk mengatasi multiple crisis ini.
Peran zakat dan wakaf
Dalam menghadapi beban perekonomian yang sangat berat ini, maka memanfaatkan semua potensi domestik yang dimiliki bangsa ini adalah keharusan. Salah satunya adalah potensi zakat dan wakaf, yang mencerminkan semangat berbagi yang hakiki. Ada hal yang sangat menarik, bahwa ternyata semangat berbagi masyarakat di tengah pandemi ini justru mengalami peningkatan. Dalam studi Alvara Research Center yang dipublikasikan belum lama ini, jumlah masyarakat Indonesia yang berdonasi naik dari 4,8 persen menjadi 6,2 persen. Ini menunjukkan bahwa solidaritas dan kepedulian itu masih ada, dan cenderung meningkat dalam kondisi sulit. Karena itu, situasi berat yang kita hadapi saat ini harusnya menyadarkan kita untuk terus memperkuat narasi berbagi yang disampaikan kepada masyarakat yang diejawantahkan dalam bentuk semangat ber-ZISWAF (zakat, infak, sedekah dan wakaf).
Secara ekonomi, optimalisasi zakat dan wakaf ini juga memiliki dampak yang cukup signifikan, termasuk dalam hal penguatan usaha mikro milik kaum dhuafa. Di dunia perzakatan misalnya, BAZNAS dan LAZ memiliki concern yang sangat kuat untuk menyelamatkan usaha mikro mustahik, yang antara lain sebagaimana yang dilakukan BAZNAS Pusat melalui LPEM (Lembaga Pemberdayaan Ekonomi Mustahik) BAZNAS, yang sepanjang semester pertama 2020 ini telah mampu melayani 27,9 ribu pelaku usaha mikro di lima provinsi dan 26 kabupaten/kota di Indonesia.
Demikian pula dengan program layanan keuangan mikro tanpa bunga yang dijalankan oleh Lembaga BMFi (BAZNAS Microfinance), dimana BMFi telah melayani 10,3 ribu nasabah mustahik pelaku usaha mikro dalam kurun waktu enam bulan pertama di tahun ini di sembilan provinsi seluruh Indonesia. Belum lagi ditambah program Zakat Community Development (ZCD) yang menjangkau 38,8 ribu jiwa di 27 provinsi dan 73 kabupaten/kota, serta program pemberdayaan peternak mustahik melalui LPPM (Lembaga Pemberdayaan Peternak Mustahik BAZNAS) yang menjangkau 438 KK peternak di 8 provinsi dan 11 kabupaten/kota. Untuk itu, optimalisasi potensi zakat dan wakaf ini harus terus menerus dikampanyekan secara masif, sehingga mampu memberikan dampak positif terhadap upaya penguatan usaha mikro mustahik sekaligus meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka. Wallaahu a’lam.
Oleh Irfan Syauqi Beik, Ketua Dewan Pakar DPP PUI (Penulis adalah Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi Syariah FEM IPB)
Tulisan ini juga dimuat di Rubrik Iqtishodia Republika, Kamis 23 Juli 2020