OpiniPendidikan

Mengokohkan Fondasi Gerakan Pendidikan PUI

Ditulis Oleh : H. Raizal Arifin, SS.
Sekjen DPP PUI

Di Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun 2023 ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Riset Teknologi (Kemendikbud Ristek) memilih tema Bergerak Bersama Semarakkan Merdeka Belajar sebagai narasi yang ingin digaungkan. Merdeka Belajar digadang-gadang oleh Mas Nadiem menjadi tipping point bagi para Siswa dan Mahasiswa sebagai produk sistem pendidikan Nasional untuk bisa lebih kompetitif di era digital. Sesuatu yang harus dikaji dan diuji agar tidak malah membuat generasi muda kita terjebak hanya menjadi “budak” koorporasi.

Salah satu ide dasar gerakan Merdeka Belajar adalah meningkatkan kualitas siswa dengan cara belajar mandiri berbasis potensi yang dimiliki siswa, guru dan lingkungan pendukung yang ada. Mas Nadiem tidak ingin para Siswa/Mahasiswa dihomogenisasi dengan satu standar tertentu, tapi ingin Siswa/Mahasiswa berkembang sesuai kebutuhan, tantangan dan potensi organik mereka.

Bila kita gali pengalaman hidup Mas Nadiem di dunia StartUp yang membesarkan namanya, kita bisa menemukan bahwa jalan sukses perusahaan StartUp itu beragam. Bahkan ide sereceh apapun bisa menjadi sesuatu yang besar bila digali dan dikembangkan dengan baik. Gojek yang awalnya hanya fasilitator tukang ojek mampu berkembang menjadi industri makanan bahkan industri keuangan besar. Facebook awalnya hanya menghubungkan mahasiswa seangkatan Mark Zuckerberg, kini menjadi kerajaan bisnis global yang luar biasa.

Secara sederhana kita bisa melihat bahwa ada banyak potensi “hal receh” yang dimiliki oleh siswa, guru dan lingkungan sekitar mereka. Bila ingin “hal receh” berubah menjadi sesuatu yang besar, maka sistem pendidikan harus mampu membuat civitas pendidikan memiliki kesadaran, kemampuan, skill dan hasrat untuk menumbuhkan dan membesarkannya. Merdeka Belajar membuka ruang untuk mengeksplorasi hal tersebut. Tantangan terbesarnya adalah seberapa mampu guru, siswa dan sekolah di daerah-daerah mampu memanfaatkan ruang tersebut.

Bila kita menggali sejarah pendidikan PUI (Persatuan Ummat Islam) yang digagas KH Abdul Halim sejak 1911, kita bisa menemukan benang merah yang sama dengan gagasan Merdeka Belajar. Melalui risalahnya yang berjudul Afatul Ijtimaiyah wa Ilajuha dalam Kongres Persyarikatan Oelama IX pada tahun 1931, KH Abdul Halim menyampaikan konsep gagasan pendidikan yang sangat brilian. Dalam risalahnya tersebut beliau menjelaskan bahwa anak didik di masa depan harus dapat hidup mandiri dan tidak boleh terus bergantung kepada orang lain. Setiap anak didik harus diberi bekal keterampilan yang cukup, sesuai dengan kecenderungan dan bakatnya masing-masing.

Pendidikan PUI harus dibangun atas dasar obsesi membantu setiap siswa menemukan kecemerlangan dan kesuksesan diri mereka, sesuai potensi yang mereka miliki. Bukan semata mengejar keterpenuhan kurikulum, nilai ujian atau gelar semata. Itu semua akan tidak punya arti apa-apa bila tidak bisa mengantarkan anak didik kita mencapai kesuksesan. Bukan hanya kesuksesan di masa depan (setelah lulus) yang itu sesuatu yang bukan lagi domain sekolah, tapi kesuksesan-kesuksesan ‘kecil’ yang harusnya sudah bersemai saat usia sekolah yang akan terakumulasi menjadi kesuksesan besar saat lulus nanti.

Apakah sekolah dan pesantren PUI sudah menjadikan obsesi membantu anak didik sukses sejak dini dengan mengembangkan potensi mereka? Bila belum, maka saatnya kita kembali duduk bersama mendiskusikan bagaimana kesesuaian pendidikan kita dengan gagasan dasar KH Abdul Halim dan KH Ahmad Sanusi. Agar sekolah, guru dan siswa PUI bisa memanfaatkan ruang Merdeka Belajar untuk mencetak banyak siswa meraih kesuksesan mereka. Toh bila banyak anak-anak PUI yang sukses, menjadi tokoh ekspert di bidang mereka akan membuat PUI juga ikut menjadi besar. Akan membuat warga PUI menjadi lebih maju dan sejahtera. Wallahu’alam bishawab.

Related Articles

Back to top button