Pendidikan

Serial Jajan Surga: Wakafpreneur Pendidikan

Serial No. 1

Penulis : Ust. S Faisal Parouq

Sekretaris Badan Wakaf dan Aset Persatuan Ummat Islam (BAWA PUI), Pengurus MUI Pusat

Sudah menjadi tradisi di Indonesia, bahwa seorang pemuka agama atau pemuka masyarakat akan mendirikan Lembaga Pendidikan sebagai legacy yang ditinggalkannya. Bisa kita lihat dengan keberadaan sekolah mulai tingkatan dasar hingga perguruan tinggi di Indonesia yang telah tersebar merata di seluruh wilayah, walaupun harus diakui konsentrasi terbesar ada di pulau Jawa. Dan telah menjadi pengetahuan umum di masyarakat bahwa parameter Lembaga Pendidikan yang dijadikan acuan selama ini adalah yang dikelola oleh Ormas Muhammadiyah.

Meskipun demikian, kita tidak boleh juga menyepelekan keberadaan Lembaga Pendidikan yang didirikan oleh Ormas Islam lainnya, seperti Daruul Ulum dan Santi Asromo di Majalengka yang didirikan oleh KH. Abdul Halim dari Ormas Persatuan Ummat Islam (PUI), ataupun pondok pesantren Gunung Puyuh di Sukabumi yang dibangun oleh KH. Ahmad Sanusi yang juga pendiri PUI.

Jika ditarik benang merahnya, ada satu kesamaan dari semua Lembaga Pendidikan yang telah ada sebelum berdirinya Indonesia, yaitu dibangun di atas lahan wakaf dari pendiri ormas itu sendiri ataupun dari jamaah yang ada di ormas tersebut. Jika mengacu pada data Badan Wakaf Indonesia, saat ini ada lebih dari 414 ribu hektar lahan wakaf yang ada di Indonesia dengan didominasi paling luas adalah dalam bentuk Lembaga Pendidikan.

Hal ini juga sejalan dengan Sejarah para tokoh di masa lampau, yang menjadikan pondok pesantren ataupun Lembaga Pendidikan sebagai sarana untuk mengajar nilai agama, meningkatkan kemampuan ataupun keterampilan, dan pembentukan karakter dari bangsa ini. Melalui Lembaga Pendidikan ini, telah lahir tokoh-tokoh pergerakan yang menjadi pilar utama pendiri Negara Indonesia dan juga tokoh penerus yang turut serta dalam Pembangunan bangsa.

Wakaf itu sendiri memiliki terminologi yang unik, yaitu menahan. Artinya menahan dari pokok harta yang diwakafkan dan menyalurkan hasil yang diproduksi oleh harta wakaf. Dalam implementasi untuk Lembaga Pendidikan adalah mempertahankan keberadaan Lembaga Pendidikannya dan menyalurkan hasil pemikiran dan sumber daya manusia yang dididik di sekolah tersebut.

Harta benda wakaf akan dikelola oleh Nazhir yang ditunjuk oleh wakif (pemberi harta wakaf). Nazhir dari harta wakaf bisa perorangan ataupun lembaga / badan hukum, dan memiliki kewajiban menjaga keabadian dari harta wakaf yang dikelolanya.

Sedangkan untuk Wakafpreneur merupakan gerakan modernisasi nazhir wakaf guna mewujudkan harta wakaf yang produktif agar harta wakaf dapat memberikan nilai tambah ataupun menciptakan nilai baru bagi harta wakafnya dan juga mauquf ‘alaih (penerima manfaat wakaf). Preneur berasal dari kata entrepreneur, dan preneur memiliki arti sebagai entitas yang mampu berkreasi dan berinovasi dalam pengembangan ide-ide yang dimilikinya guna mencapai kesuksesan.

Menurut Imam Nur Azis dalam tulisannya di Republika Online, pengembangan / inovasi produktivitas harta wakaf harus memperhatikan 5 hal atau lebih dikenal dengan 5C: Campaign, Create, Convert, Competent, dan Comply. Kunci sukses dari wakafprenuer ada pada nazhir, dimana nazhir dituntut untuk bisa kreatif dan inovatif dalam mengelola harta wakaf yang diamanahkan kepadanya.

Lembaga Pendidikan yang sejak awal berdirinya memiliki hubungan erat dengan wakaf, perlu menata ulang tata kelolanya sehingga mampu menjadi lembaga yang wakafpreneur. Dan untuk mencapai Lembaga Pendidikan yang sukses tentunya memerlukan tim yang memiliki ide-ide inovatif dalam mengelola sekolah, sehingga sangat disarankan untuk nazhir dari sekolah adalah nazhir lembaga yang terdiri dari beberapa personil yang memiliki keahlian bervariasi dan juga terjaga keberadaan lembaganya maupun regenerasi personilnya hingga kapanpun.

Dengan demikian, program kreativitas dan inovasi wakaf dari sekolah akan dapat dikembangkan lebih jauh lagi, hingga dapat menambah jumlah dan jenis Lembaga Pendidikan.

Wakafpreneur pendidikan merupakan gerakan pemberdayaan harta wakaf bidang pendidikan yang dapat mendorong peningkatan mutu pendidikan melalui tata kelola yang berkualitas, transparan, dan terpercaya. Diharapkan dengan penerapan wakafpreneur pendidikan, sekolah mampu berkembang secara kualitas ataupun kuantitas dengan harta wakaf yang dimilikinya.

Harta wakaf bidang pendidikan bukan hanya berupa harta tidak bergerak (lahan dan bangunan), tetapi juga dapat berupa harta bergerak (dapat berupa uang, emas, saham, sukuk, obligasi, deposito, kendaraan, dan lain sebagainya). Di sini terlihat bahwa sangat diperlukan personil yang mengerti perihal tentang keuangan, investasi dan analisa risikonya.

Oleh karenanya lembaga yang diamanahkan sebagai nazhir harus meningkatkan keahlian dari personil di bidang keuangan, agar mampu mengembangkan harta wakaf Pendidikan dengan tetap menjaga maqasyid syariah dari harta wakaf itu sendiri, yaitu keabadian harta benda wakaf.

Wakafpreneur pendidikan memiliki 2 jenis manfaat yang dapat dirasakan oleh mauquf alaih, yaitu:

  1. Manfaat tangible 
  2. Manfaat intangible

Manfaat tangible dari wakafpreneur pendidikan dapat berupa penambahan jumlah kelas, peningkatan fasilitas / sarana pendidikan, gaji guru dan staf sesuai UMR, peningkatan kompetensi guru, peningkatan kualitas peserta didik dan parameter terukur lainnya. Sedangkan manfaat intangible yang dapat dirasakan bisa berbentuk kenyamanan kegiatan belajar mengajar, lingkungan yang bersih dan sehat, ketertiban, keamanan, dan lain sebagainya.

Adapun langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam penerapan wakafpreneur pendidikan dengan mengikuti pola 5C dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, kampanye atau promosi yang dapat menjangkau bukan hanya kalangan orang tua tetapi juga hingga anak atau peserta didik. Diharapkan partisipasi juga dapat melibatkan peserta didik, sehingga dapat menumbuhkan kesadaran sejak usia dini. Edukasi mengenai wakaf harus disosialisasi secara rutin dan juga memanfaatkan berbagai jenis sarana / media, baik itu pamplet, brosur, media sosial, papan informasi, dan lain sebagainya.

Kedua, yaitu create yang bertujuan untuk menciptakan ekosistem wakaf yang saling mendukung di antara wakif, nazhir, mauquf alaih, dan harta wakafnya. Interaksi antar 4 elemen wakaf ini, akan menghasilkan solusi dalam pengelolaan harta wakaf sesuai dengan harapan melalui program unggulan pengembangan wakaf. Perlu diingat bahwa dalam wakafpreneur pendidikan, baik itu peserta didik, orang tua wali, guru, ataupun staf sekolah dapat menjadi wakif yang potensial. Sehingga dapat terkumpul harta wakaf dalam berbagai bentuk / jenis.

Ketiga, strategi convert / konversi. Dalam langkah ini perlu adanya pemberdayaan harta wakaf yang saat ini belum bisa diproduktifkan menjadi wakaf produktif. Pada langkah ini diperlukan nazhir yang kompeten dan memiliki insting bisnis yang mumpuni, agar terhindar dari penurunan nilai aset wakaf yang ada di lembaga pendidikan. Perlu kehati-hatian yang ekstra dalam memanfaatkan harta wakaf agar lebih produktif. Contoh dari langkah konversi adalah penempatan wakaf uang dalam obligasi / sukuk / saham. Analisa risiko dari investasi tersebut harus dibuat dengan seksama.

Keempat, kompetensi dari nazhir perlu ditingkatkan melalui berbagai jenis pelatihan, agar nazhir dapat melakukan fungsi manajemen wakaf, termasuk di dalamnya monitoring / pengawasan, coaching / pendampingan, dan pelaporan kinerja. Nazhir juga perlu mengetahui prinsip-prinsip syariah dari wakaf, branding / pemasaran, keuangan dan akuntansi wakaf.

Kelima, kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku perlu diketahui oleh nazhir, sehingga apapun yang dilakukan dalam keempat langkah sebelumnya akan sesuai dengan koridor dan terhindar dari penyimpangan.

Dengan penerapan prinsip wakafpreneur pendidikan ini diharapkan akan mewujudkan mutu pendidikan yang lebih baik baik dari segi kualitas ataupun kuantitas untuk generasi yang akan datang.

In uriidu illal ishlah mastatho’tu, faidza azamta fatawakal ‘alallah.

Related Articles

Back to top button