Persatuan Ummat Islam (PUI) baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-107 pada 21 Desember 2024. Sebuah usia yang lebih dari cukup untuk disebut sepuh, meski dalam tubuhnya masih banyak yang segar bugar, penuh semangat muda. Didirikan secara de jure pada 21 Desember 1917 di Majalengka, Jawa Barat, kedua pendirinya aktif membangun negeri hingga diganjar sebagai pahlawan nasional.
Meskipun jejaknya secara de facto sudah mulai dididirikan sejak 1911, PUI adalah bukti nyata bahwa perjuangan Islam di Nusantara bukanlah “anak kemarin sore.” Namun, seperti banyak senior yang bijaksana, PUI tidak larut dalam nostalgia. Ia berbenah, mencari cara untuk tetap relevan di tengah tantangan zaman yang makin canggih sekaligus membingungkan.
Menjelang Muktamar ke-15 PUI yang akan digelar Februari 2025 nanti, salah satu pengurus seniornya, H. M. Ahmad Rifai, tampil membawa ide baru yang sebenarnya sudah lama mengendap dalam benaknya: pembentukan Notaris Syariah. Ide ini muncul seperti jamur setelah hujan, sangat pas mengingat Pak Rifai sendiri adalah petani jamur ulung di Sukabumi.
“Sudah waktunya kita punya Notaris Syariah,” katanya dengan nada penuh semangat. Dan seperti biasa, saat Pak Rifai berbicara, kami tahu ada kebijaksanaan di balik logat Sunda yang santai itu. Dari rumahnya yang asri di pinggir sungai, dia rajin berkomunikasi dengan rekan-rekannya via WhatsApp serta menonton banyak podcast dari yang ringan hingga yang serius.
Sebelum membahas lebih jauh soal Notaris Syariah, mari kita sedikit berkenalan dengan sosok di balik ide besar ini. Pak Rifai adalah tokoh unik yang sulit dilabeli. Di usia yang sudah di atas 70 tahun, ia masih aktif mengelola berbagai usaha dan komunitas, dari kebun jamur hingga peternakan sapi, kambing, ayam, dan ikan.
Yang lebih menarik, ia juga memelihara anjing penjaga di halaman rumahnya—sebuah pemandangan yang mungkin mengundang alis terangkat di kalangan beberapa rekannya. Dia paham betul, jarang ulama mau memelihara anjing yang liurnya saja haram. Namun, seperti sikap keagamaan warga PUI pada umumnya, dia tidak terjebak pada hal-hal yang sifatnya khilafiyah.
Namun, begitulah Pak Rifai. Pragmatis, sekaligus penuh kejutan. Sosoknya juga sangat cair: aktif di PUI, tapi tak segan ikut diskusi di Paramadina, serta mendalami pemikiran mulai dari Imam al-Ghazali, Ibnu Taymiyyah, Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd, Jamaluddin Afghani, Said Nursi, Hasan al-Banna, Nurcholish Madjid, sampai Helmi Aminuddin.
Dialah penggerak pengajian Ahad pagi ba’da Subuh di Masjid Raudhatul Irfan sejak sepuluh tahun lalu, tempat kami sering duduk bersama membahas isu-isu keislaman dengan serius bersama 500 ulama setempat, namun tak pernah kehilangan sentuhan humor. Dan kini, Pak Rifai kembali dengan ide besar yang ia yakini bisa menjadi hadiah istimewa untuk usia PUI yang sudah satu abad lebih.
Pak Rifai berargumen bahwa masyarakat Islam selama ini menghadapi kendala dalam soal hukum yang sudah diatur undang-undang. Misalnya, hukum pembagian waris yang pasti dialami oleh setiap warga Muslim yang berkeluarga dan berharta. Prosesnya sering kali panjang, berliku, kadang bertele-tele, dan penuh sengketa.
Fatwa waris yang dikeluarkan Pengadilan Agama memang sah, tapi prosedur berperkara di pengadilan bukanlah sesuatu yang sederhana. Sementara itu, di sisi lain, dalam urusan jual beli tanah, umat begitu mudah melakukannya melalui notaris dan PPAT. Jadi, mengapa tidak ada lembaga khusus yang melayani kebutuhan hukum masyarakat Islam dengan lebih praktis?
Begitulah, Notaris Syariah hadir dalam bayangan Pak Rifai sebagai solusi atas semua ini. Ia membayangkan sebuah lembaga yang tidak hanya bisa membuat Akta Fatwa Waris, tapi juga membantu memastikan pembagian warisan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Dan, seperti biasa, Pak Rifai tidak berhenti di ide. Ia sudah menyusun daftar manfaat dari lembaga ini.
Pertama, kepastian hukum: Akta yang dikeluarkan Notaris Syariah akan memiliki kekuatan hukum yang sama dengan akta notaris lainnya, memberikan kepastian bagi semua pihak. Kedua, kesesuaian dengan syariah: Lembaga ini memastikan setiap dokumen yang dibuat sesuai dengan prinsip Islam, menjaga keberkahan di setiap transaksi.
Keberadaan Notaris Syariah juga memunculkan efisiensi dan kemudahan: Prosesnya lebih sederhana daripada berperkara di pengadilan. Yang terakhir, peluang lapangan kerja: Membuka peluang bagi lulusan perguruan tinggi Islam untuk berkarier di bidang ini. Ribuan alumni prodi syariah atau hukum Islam selama ini sering kehilangan tempat berkarier, kecuali sebagai guru atau dosen fiqih.
Namun, ide besar ini tentu tidak tanpa tantangan. Pengesahan lembaga seperti ini membutuhkan kerja sama antara ormas Islam, pemerintah, dan DPR. Perlu undang-undang khusus, pelatihan, dan pengawasan yang ketat. Dan jangan lupa, akan ada pihak-pihak yang skeptis—mulai dari mereka yang takut birokrasi baru, hingga mereka yang khawatir soal “syariah” dalam tanda kutip.
Ketika Pak Rifai pertama kali menyampaikan ide ini kepada kami, kami tertawa. Bukan menertawakan gagasannya, tapi membayangkan bagaimana ia akan memperjuangkan ini dengan semangat khasnya di sisa usia sepuhnya. “Ah, nanti juga ada yang bilang saya cuma mau cari kerjaan baru buat lulusan pesantren,” katanya sambil terkekeh. Tapi di balik canda itu, ada keyakinan yang tidak main-main.
“Ini bukan cuma soal warisan,” katanya. “Ini soal kita membangun sistem yang menghargai nilai-nilai kita sendiri.”
Pak Rifai mungkin bukan akademisi penuh teori, tapi ia adalah pemikir praktis yang tahu betul apa yang dibutuhkan masyarakatnya. Dan jika PUI berani mengambil langkah ini, ia percaya itu akan menjadi sumbangsih besar bagi umat Islam di Indonesia.
Sebagai ormas yang lahir dari perjuangan ulama di tanah Sunda, PUI punya sejarah panjang sebagai pelopor, seperti kedua pendirinya yang, di forum BPUPKI, berhasil meyakinkan perlunya negara menganut sistem républik dan negara kesatuan. Kini, di usia yang ke-107, ia kembali dihadapkan pada tantangan untuk terus relevan.
Apakah ide Notaris Syariah ini akan menjadi bagian dari rekomendasi Muktamar ke-15? Waktu yang akan menjawab.
Namun, satu hal yang pasti: selama masih ada tokoh seperti Pak Rifai di dalamnya, PUI akan terus menjadi rumah bagi ide-ide besar, bahkan yang paling menggelitik sekalipun. Jadi, mari kita tunggu bagaimana langkah selanjutnya.
Dan mungkin, jika suatu saat Anda mendengar nama “Notaris Syariah,” ingatlah bahwa semuanya dimulai dari sebuah pengajian Ahad pagi di Sukabumi, dan seorang bapak tua dengan kebun jamur, sapi, ayam, lele, dan anjing penjaga.
Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 24/12/2024