OpiniTokoh

Partisipasi Ummat Islam Dalam Kenegaraan Di Indonesia

PUI.OR.ID – Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PUI, Dr.K.H. Munandi Shaleh, S.IP., M.Si. menjadi salah satu nara sumber dalam kegiatan Webinar Multaqa Ulama yang diselenggarakan oleh Dewan Syari’ah Pusat PUI pada hari Selasa, 22 Maret 2022. Webinar ini diikuti oleh seluruh Ulama PUI, Majelis Syura PUI, Pimpinan Pusat PUI, dll.

K.H. Munandi Saleh, menyampaikan materi yang bertema “Partisipasi Ummat Dalam Politik, Pemerintahan dan Pembangungan Bangsa”, Ia mengambil judul : Partisipasi Ummat Islam dalam Kenegaraan di Indonesia.

Menurutnya “dalam kajian historis bahwa Ummat Islam telah ada dan berkiprah di Nusantara dari sejak pra kolonial dengan telah berdirinya 74 kesultanan yang tersebar di tataran Nusantara diantaranya : di Jawa-Madura terdapat 12 Kesultanan, di Sumatera terdapat 14 Kesultanan, di Kalimantan terdapat 14 Kesultanan, di Sulawesi terdapat 8 Kesultanan, di Maluku terdapat 9 Kesultanan, di Nusa Tenggara terdapat 4 Kesultanan dan di Papua terdapat 13 Kesultanan/kerajaan, namun setelah datangnya kaum penjajah maka kesultanan-kesultanan tersebut satu persatu ditaklukan bahkan di hancurkan atau dibubarkan oleh kaum penjajah kecuali kesultanan yang mau bekerjasama dengan cara bersedia untuk dimonopoli dalam kegiatan perdagangan serta bersedia mengikuti apa yang diinginkan oleh kaum penjajah.

Oleh karena itu setelah kesultanan di taklukan atau dibubarkan oleh kaum penjajah maka muncullah perlawanan ummat Islam melalui gerakan peperangan yang dikomandoi baik oleh para tokoh Islam maupun oleh Pimpinan dari kesultanan sehingga melahirkan peperangan dengan kaum penjajah diantaranya : Perang Paderi yang dipimpin oleh Imam Bonjol, Perang Dipenogoro yang dipimpin oleh Pangeran di Penogoro, Perang Aceh yang dipimpin oleh Cut Nyak Dien, perang Banjar yang dipimpinan oleh Sultan Banjar, dan lain-lain.” ujarnya.

Ia melanjutkan, semua peperangan tersebut dapat dikalahkan oleh kaum penjajah baik dengan cara tipu muslihat maupun dengan cara devide et Impera.

Karena perlawan yang dilakukan bersifat lokal hampir semuanya dapat dipadamkan, maka di era abad ke-20-an mulailah muncul kesadaran bagi ummat Islam bahwa melakukan perlawanan untuk mengusir kaum penjajah tidak bisa dilakukan secara perorangaan/lokal, namun harus dilakukan secara bersamaan, sehingga hal ini munculkan nilai kesadaran dengan rasa senasib sepenanggungan dalam memperjuangkan kemerdekaaan untuk mengusir kaum penjajah.

Maka pada saat itulah muncul rasa kesadaran secara bersamaan dengan tujuan untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan, ketertindasan, kebodohan, kemiskinan, dan lain-lain, dengan cara mendirikan perkumpulan atau organisasi yang diawali didirikannya perkumpulan Jamiatul Khoir pada tahun 1901 yang disusul kemudian oleh Syarikat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1905 yang namanya berubah menjadi Syarikat Islam (SI) pada tahun 1906, yang kemudian lahir Budi Utomo pada tahun 1908, Persatuan Ummat Islam (PUI) yang bermula dari perkumpulan Hayatul Qulub tahun 1911 yang mendapat pengesan pada Tahun 1917, yang seterusnya Muhammadiyyah Tahun 1912, al-Irsyad al-Islamiyyah Tahun 1914, Mathlaul Anwar (MA) tahun 1916, Sumatera Thawalib Tahun 1920, Persatuan Islam (PERSIS) Tahun 1923, Nahdhatul Ulama (NU) Tahun 1926, Persatuan Tarbiyah Islamiyyah (PERTI) Tahun 1928, Al-Jamiatul al-Wasliyyah Tahun 1930, al-Khairat Tahun 1930, Al-Ittihadiyatul Islamiyyah (AII) Tahun 1931 yang tahun 1944 berubah namanya menjadi Persatuan Oemmat Islam Indonesia (POII) yang selanjutnya pada Tahun 1952 fusi dengan Perikatan Oemmat Islam (POI) menjadi Persatuan Umnat Islam (PUI), dan lain-lain.

Selanjutnya di era kemerdekaan dan pasca kemerdekaan, dari mulai era orde lama (1945-1966), era Orde baru (1966-1998) dan era Reformasi (1998- sekarang), Ummat Islam sangat besar peranannya, walaupun dari waktu ke waktu kekuatan politiknya dalam kenegaraan mengalami pasang surut, bahkan relatif mengalami degradasi. Kekuatan Partai Politik Ummat Islam apabila disatukan dari mulai Pemilu 1955 s.d. 2019, masih tetap jumlahnya berada dibawah 50 %, artinya bahwa Kekuatan Politik Ummat Islam dalam Kenegaraan tidak bisa mendominasi dan menguasai kenegaraan bahkan seolah-olah bahwa kekuatan Politik Ummat Islam seperti Tikus mati di lumbung padi, artinya Kekuatan Partai Politik Ummat Islam dalam kenegaraan tidak berbanding lurus dengan kekuatan jumlah ummat Islam di Indonesia.

Dengan melihat phenomena tersebut, sebagai alternatif pemecahannya : 1) perlu adanya upaya internalisasi ajaran Islam terhadap Ummat yang kurang tersentuh baik oleh Parpol maupun Ormas Islam, 2) perlu di persiapkan kader Islam yang berdakwah ke wilayah politik diluar Islam, 3) perlu menyiapkan kader yang telah dibekali dengan memiliki minimal 3 (tiga) wawasan : 1) Wawasan Keislaman secara kaffah, 2) Wawasan Keindonesian/ Wawasan Kebangsaan dengan ditanamkannya 4 Pilar Kebangsaan, 3) Wawasan keorganisasian (Ke-PUI-an) diantaranya memahami tentang sejarah, doktrin perjuangan, dasar pejuangan, keorganisasian, kepemimpinan, manajemen, masalah-masalah keummatan, dan lain-lain”. Pungkasnya. (Mizani)

Related Articles

Back to top button