Menjaga Agar Semuanya Baik
Ditulis Oleh:
Irfan Syauqi Beik
(Ekonom Syariah IPB dan Ketua Dewan Pakar Pusat PUI)
AKHIR-akhir ini publik disuguhkan dengan diskursus yang sangat menarik terkait dengan rencana Muhammadiyah untuk menarik dana dari bank hasil merger, BSI (Bank Syariah Indonesia), dan mendirikan bank syariah yang baru. Hal ini didasarkan pada kekhawatiran bahwa semakin besar size atau ukuran bank syariah yang ada, maka akan semakin meninggalkan UMKM yang notabene mayoritas umat Islam. Jika UMKM ditinggalkan, maka akan semakin memperbesar ruang ketidakadilan dan kesenjangan antara kelompok the have dengan kelompok the have not.
Namun demikian, diskursus yang berkembang ini perlu dikelola dengan baik, terutama dari sisi komunikasi, agar tidak menimbulkan persepsi publik yang keliru sehingga berpotensi menimbulkan hal yang bersifat kontra produktif. Ini dikarenakan semua pihak yang terlibat pada diskursus publik ini pada dasarnya memiliki niat dan cita-cita yang sangat baik dan mulia, yang didasarkan pada semangat pembelaan terhadap kondisi ekonomi umat.
Di satu sisi, munculnya kekhawatiran di atas mencerminkan concern yang kuat terhadap pentingnya untuk menjaga keberpihakan pada UMKM. Tidak mungkin kesejahteraan yang hakiki akan diraih ketika UMKM tidak mendapatkan keadilan akses terhadap sumber keuangan. Sementara di sisi lain, proses merger ini juga memiliki cita-cita yang sangat mulia, yaitu untuk melahirkan bank syariah yang lebih kuat, efisien, berdaya saing global, dan pada saat yang sama memiliki keberpihakan pada pengembangan ekonomi umat. Ujungnya diharapkan menjadi katalisator pertumbuhan industri perbankan syariah nasional, sehingga pangsa pasar bank syariah bisa meningkat dan kebermanfaatannya untuk masyarakat semakin terasa.
Disinilah pentingnya menjembatani komunikasi yang ada agar pesan utama dari diskursus ini dapat ditangkap publik dengan baik. Jika tidak dikelola dengan baik proses komunikasinya, penulis khawatir akan memunculkan persepsi publik yang keliru terhadap BSI, yang ujungnya berpotensi menimbulkan resiko sistemik ketika penarikan dana tersebut justru memengaruhi psikologis publik untuk melakukan hal yang serupa, yaitu menarik dananya dari BSI. Tentu kita tidak menginginkan hal ini terjadi karena dapat memundurkan industri perbankan syariah nasional beberapa tahun ke belakang.
Namun demikian, hal tersebut bukan berarti menghalangi hak seseorang atau satu lembaga untuk mendirikan bank umum syariah (BUS). Siapapun berhak mendirikan dan memiliki BUS selama memenuhi persyaratan yang ditetapkan undang-undang dan ketentuan peraturan yang berlaku. Penulis tentu sangat mendukung jika ada ormas Islam yang ingin mendirikan BUS sendiri. Ini akan semakin memperkaya khazanah industri perbankan syariah nasional, dan akan semakin mengokohkan kontribusi luar biasa ormas Islam terhadap kemajuan ekonomi umat.
Yang paling penting bagi penulis, bingkai yang harus dijaga adalah semangat ukhuwah dan saling mendukung antara satu dengan yang lain. Meski bank syariah satu dengan yang lainnya pada akhirnya saling berkompetisi, namun kompetisinya adalah dalam rangka ber-fastabiqul khairat. Artinya, kompetisi ini bukan hanya pada tataran layanan teknis perbankan syariah, baik funding, financing, maupun layanan teknologinya, namun juga pada kompetisi dalam mentransformasi nilai-nilai syariah dalam perekonomian bangsa. Nilai-nilai yang didasarkan pada ajaran Islam yang mulia.
Adapun terkait pembelaan terhadap UMKM, tentu beban ini tidak bisa dipikul sendirian oleh bank syariah. Ia memerlukan kolaborasi antar pihak, baik kalangan industri keuangan syariah sendiri, pemerintah, lembaga legislatif, perguruan tinggi, dan pemangku kepentingan strategis lainnya termasuk masyarakat umum. Juga yang tidak kalah penting adalah keterlibatan lembaga zakat dan wakaf, agar kolaborasi ini berjalan dengan baik dan efektif. Dalam konteks ini, studi CIBEST IPB (2016) telah mengklasifikasikan jenis usaha masyarakat ke dalam tiga kategori, yaitu zakatable, microbankable, dan bankable.
Pada kategori zakatable, ini adalah potret usaha yang bersifat ultra mikro dan mikro yang berada pada dasar kemiskinan, sehingga diperlukan pemberdayaan melalui dana zakat, infak, sedekah, dan wakaf. Perbankan syariah belum perlu masuk ke segmen ini dengan melakukan pembiayaan syariah komersial, kecuali menyalurkan ZISWAF dan CSR-nya melalui institusi amil dan nazir. Lembaga amil dan nazirlah yang bertanggung jawab melakukan pembinaan dan peningkatan kapasitas usaha kategori ini agar bisa naik kelas menjadi microbankable.
Di segmen microbankable, tentu institusi keuangan syariah yang dapat melayani, selain lembaga keuangan sosial syariah (ZISWAF), adalah koperasi syariah/BMT dan perbankan syariah, baik BPRS, UUS, maupun BUS. Juga tidak menutup kemungkinan munculnya skema pembiayaan yang melibatkan LKS non bank lainnya seperti multifinance syariah dan fintek syariah. Diharapkan melalui proses pendampingan dan penguatan kapasitas yang tepat, kelompok usaha yang microbankable ini dapat naik kelas menjadi kelompok usaha yang bankable. Kalau sudah pada level ini, tentu keberadaan perbankan syariah, baik BUS, UUS, maupun BPRS, menjadi sangat penting dan mereka bisa mengakselerasi usaha masyarakat untuk semakin besar.
Sebagai penutup, penulis mengajak pada semua elemen umat untuk terus memperjuangkan upaya mengarusutamakan ekonomi syariah, dan pada saat yang sama, menghadirkan keadilan dan pemerataan ekonomi. Bagaimanapun juga, tidak mungkin ekonomi akan sesuai syariah kalau tidak ada keadilan di dalamnya. Wallaahu a’lam. (**)