PP Pemuda PUI: Pentashihan Bukan Hanya Urusan Ulama, Tapi Tanggung Jawab Umat Digital

Jakarta — Dalam Pelatihan Standardisasi Pentashihan Buku dan Konten Keislaman yang diselenggarakan oleh Lembaga Pentashih Buku dan Konten Ke-Islaman (LPBKI) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Wakil Ketua Umum Pengurus Pusat Pemuda Persatuan Ummat Islam (PP Pemuda PUI) Ahmad Gabriel, S.Sos., menyampaikan pandangan kritis sekaligus konstruktif mengenai pentingnya kerja-kerja pentashihan di era digital.
Gabriel menyebut bahwa pentashihan bukan semata proses administratif atau teknis penyuntingan isi buku, tetapi merupakan “kerja peradaban” yang menjaga otoritas keilmuan Islam di tengah derasnya arus konten digital yang bebas nilai.
“Hari ini kita hidup di zaman di mana siapa saja bisa membuat konten keislaman, tetapi tidak semuanya memiliki sanad, adab, dan pertanggungjawaban keilmuan. Tantangan baru dalam berdakwah kepada umat kita saat ini yakni mereka telah menjadi umat digital. Mereka belajar Islam dari TikTok, YouTube, Facebook dan Instagram. Maka pendekatan kita pun harus berubah—dakwah harus ilmiah, tetapi juga relevan, cepat, dan kredibel. Maka peran MUI dalam pentashihan bukan hanya menjaga teks, tapi juga menjaga umat dari konten buruk dan sesat,” ujarnya.
Menurutnya, kerja-kerja pentashihan harus dibuka maknanya menjadi lebih luas dan melibatkan sebanyak mungkin pihak, terutama generasi muda.
“Pentashihan jangan hanya dipahami sebagai urusan elite atau lembaga. Harus ada upaya menjadikannya sebagai gerakan kolektif umat. Anak muda, santri, mahasiswa, kreator konten, semua harus dilibatkan dalam budaya tabayyun dan literasi keislaman yang bertanggung jawab agar nilai-nilai santun ketimuran tetap terjaga bahkan menyelamatkan generasi muda dari konten porno dan memabukkan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Gabriel mendorong agar MUI mulai merancang program pelatihan dan literasi pentashihan yang menyasar generasi muda Muslim. Ia juga mengusulkan adanya workshop dakwah digital untuk para kreator konten keislaman agar mereka memiliki standar keilmuan dan etika dalam menyampaikan dakwah di media sosial.
“Kami di Pemuda PUI siap menjadi mitra LPBKI MUI dalam menyiapkan generasi ‘santri muda digital’—yakni pemuda yang berdakwah di dunia maya dengan basis ilmu, sanad, dan akhlak. Bukan sekadar viral, tapi juga valid dan berintegritas,” tambahnya.
Gabriel menutup dengan ajakan kolaborasi antara LPBKI, ormas Islam, penerbit, akademisi, kreator konten dan komunitas pemuda untuk membentuk ekosistem konten Islam yang berkualitas, bertanggung jawab, dan membina umat, bukan membingungkan.
Pelatihan yang diadakan di Aula BRIN, Jakarta, pada Senin (16/6/25) ini membahas sejumlah materi penting, di antaranya: Kriteria Aliran Sesat MUI, Ekosistem Perbukuan di Era Post-Truth, Standar Penafsiran Al-Qur’an dalam Konten Islam, Wajah Konten Islam di Era Digital, Standar Pentashihan Hadits, hingga Standar Pemahaman Linguistik dan Keadilan Gender dalam Teknologi.
Tampak hadir pula Ketua DPP PUI Bidang Dakwah Ust Rijalul Imam, M.Si., Ketua DPP PUI Bidang Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Dr. Mohan, M.E.I., Ketua DPP Wanita PUI Usth Herliani, M.Ag dan Qonita Ahmadie, S.Ag., M.I.Kom dari PP Shofia Cahaya Bangsa.
Acara Pelatihan Standardisasi Pentashihan Buku dan Konten Keislaman Seri I ini ditutup dengan diskusi interaktif dan post-test bagi semua peserta atas materi yang telah diterima dari berbagai narasumber, yaitu: Dr. KH Marsudi Syuhud, MM, Wakil Ketua Umum MUI; Dr. Aji Sofanuddin (Kepala Pusat Riset Agama dan Kepercayaan BRIN); Prof. Dr. KH Utang Ranuwijaya, MA, Ketua MUI; KH Masduqi Baidhawi Ketua MUI; Dr. KH Arif Fahrudin, M.Ag., Wakil Sekjen MUI; Prof. Dr. H Endang Soetari Ad., M.Si., Ketua LPBKI MUI; Dr. Ahmad Haromaini, M.Ag., Sekretaris LPBKI; dan Prof Wardah Nuroniyah.