Dakwah

Prof Dr KH Endang Soetari: Pentashihan Hadis Menjadi Pilar Utama Validasi Konten Keislaman

Jakarta — Ulama sesepuh PUI dan juga Ketua Lembaga Pentashih Buku dan Konten Ke-Islaman (LPBKI) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof. Dr. KH. Endang Soetari Adiwikarta, M.Si., menegaskan pentingnya standar validasi hadis sebagai dasar dalam memproduksi dan menilai konten-konten keislaman. Hal ini disampaikannya saat membawakan materi “Standar Pentashihan Hadis dalam Konten Keislaman” pada acara Pelatihan Standardisasi Pentashihan Buku dan Konten Keislaman di Aula BRIN, Jakarta, pada Senin (16/6/25).

Prof. Endang Soetari menekankan bahwa dalam konteks kontemporer, penyebaran konten keislaman di berbagai media harus tetap berpijak pada otoritas dan orisinalitas sumber Islam, khususnya hadis. Karena itu, standardisasi pentashihan hadis menjadi sangat penting.

“Hadis adalah sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an. Ia bukan hanya inspirasi, tapi juga dasar tasyri’ (penetapan hukum). Karena itu, penulisan dan penyebaran konten Islam yang merujuk pada hadis harus melalui proses verifikasi ilmiah dan metodologis,” jelas mantan Ketua Dewan Syariah Pusat PUI ini.

Ia menjelaskan Tiga Standar Dasar Pentashihan Hadis, yaitu:

  1. Mengakui kedudukan hadis sebagai sumber ajaran Islam atau dasar tasyri’ kedua setelah Al-Qur’an.
  2. Mengakui otentisitas hadis, dengan mendasarkan pada kaidah esensial hadis sebagai segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi, sahabat, atau tabi’in; sebagaimana tercantum dalam sumber-sumber asli (mashadir ashliyah) yang mu’tabar, dan mencakup unsur rawi (periwayat), sanad (mata rantai periwayatan), dan matan (isi hadis).
  3. Menggunakan metodologi keilmuan hadis, termasuk kaidah pembagian (taqsim), pengesahan (tashhih), dan penerapan (tathbiq).

Prof. Endang menjelaskan lebih lanjut tentang istilah “Haqiqatul Hadits”, atau hakikat hadis dalam ilmu hadis, yang secara istilah adalah:

“Segala yang disandarkan kepada Nabi SAW, para sahabat, tabi’in, atau bahkan kepada Allah (selain dalam bentuk Al-Qur’an), baik berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, sifat, keadaan, niat, akhlak, atau perjalanan hidup; baik sebelum atau sesudah kenabian.”

Jenis-Jenis Hadis dalam Klasifikasi Pentashihan

Mengutip kaidah klasik ilmu musthalah al-hadits, Prof. Endang memaparkan jenis-jenis hadis dalam klasifikasi penerimaan dan penolakan, antara lain:

  1. Hadis Shahih Li Dzatihi (diterima secara sahih)
    → Diriwayatkan oleh periwayat yang adil, sempurna dalam hafalan, sanad-nya bersambung, tidak cacat (‘illah), dan tidak bertentangan (syadz).
  2. Hadis Hasan Li Dzatihi (diterima secara hasan)
    → Diriwayatkan oleh periwayat adil, tetapi hafalannya tidak sempurna, sanad-nya bersambung, tidak cacat dan tidak syadz.
  3. Hadis Dlaif (ditolak)
    → Hadis yang kehilangan satu atau lebih syarat-syarat hadis shahih atau hasan.
  4. Hadis Shahih Li Ghairihi
    → Hadis hasan yang diperkuat oleh sanad lain (mutaba’at) atau oleh matan lain (syawahid).
  5. Hadis Hasan Li Ghairihi
    → Hadis dlaif yang diperkuat oleh sanad atau matan lain, kecuali hadis yang berstatus maudhu’ (palsu), matruk (ditinggalkan), atau munkar (ditolak karena cacat serius).

Selain itu, dalam verifikasi hadis, digunakan juga metode takhriij (pelacakan sumber hadis) dan tasyrih (penjabaran makna dan konteks).

Konten Islam Bukan Sekadar Viral, Tapi Harus Valid

Prof. Endang menekankan bahwa tantangan di era digital bukan sekadar banyaknya konten Islam yang beredar, tetapi bagaimana memastikan konten tersebut valid secara sumber dan metodologi. Ia juga mengingatkan bahwa pentashihan bukan berarti membatasi ekspresi keagamaan, tetapi justru melindungi umat dari penyimpangan yang bersumber dari hadis yang tidak sahih atau dipahami secara serampangan.

“Kita tidak menolak kreativitas dakwah di media sosial. Tapi validitas harus tetap diutamakan. Jangan sampai umat tertipu oleh hadis palsu hanya karena narasinya menarik dan viral,” tegas mantan Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung tersebut.

Acara ini juga dihadiri oleh berbagai tokoh ormas Islam dan kepemudaan, akademisi, penerbit, peneliti dan para pegiat literasi keislaman dari berbagai daerah, dan menjadi langkah penting dalam membangun ekosistem literasi keislaman yang ilmiah, moderat, dan terpercaya.

Related Articles

Back to top button