HikmahKabar NasionalWanita PUI

Terima Kasih Ayah Hebatku: Pengasuh yang Mendidik, Pendidik yang Mengasuh

Implementasi Pedoman Ketahanan Keluarga Klaster Pendidikan Persatuan Ummat Islam

Oleh: Rita Juniarty
Ketua Lembaga Ketahanan Keluarga DPP Wanita PUI

Dalam rangka Hari Ayah Nasional, 12 November

Setiap keluarga yang kokoh berdiri memiliki sosok penopang, penjaga, dan teladan. Dalam diamnya, ayah adalah mata air ketahanan keluarga. Ia mungkin jarang bicara, namun setiap tindakannya adalah bahasa cinta yang mendidik. Ia hadir bukan hanya sebagai kepala rumah tangga, tetapi sebagai sosok yang menyeimbangkan kasih sayang, ketegasan, dan teladan bagi seluruh anggota keluarga. Kehadiran ayah yang konsisten, sabar, dan penuh tanggung jawab memberikan rasa aman, yang menjadi fondasi bagi anak-anak untuk tumbuh percaya diri, berani bermimpi, dan memahami arti tanggung jawab sejak dini. Setiap momen kebersamaan, walau sederhana, menjadi pelajaran hidup yang melekat kuat dalam ingatan anak.

Hari Ayah Nasional menjadi momen untuk berterima kasih kepada para ayah — pengasuh yang mendidik, pendidik yang mengasuh — yang membangun pondasi keluarga dengan ketulusan, tanggung jawab, dan pengorbanan yang sering tak terlihat. Sosok ayah tidak hanya mencari nafkah, tetapi menjadi pilar spiritual, emosional, dan moral yang menopang seluruh dinamika keluarga. Ia hadir sebagai pengatur arah, penguat semangat, sekaligus teladan moral bagi anak-anak dalam menghadapi tantangan hidup. Setiap pelukan, setiap nasihat, dan setiap doa yang dilafazhkan ayah menjadi benih yang tumbuh dalam hati anak, menumbuhkan keberanian, kemandirian, dan keteguhan iman.

Dalam pandangan Wanita Persatuan Ummat Islam (PUI), ketahanan keluarga terdiri dari enam dimensi: spiritual, legalitas dan keutuhan keluarga, fisik, ekonomi, sosial psikologis, dan sosial budaya. Pada setiap dimensi itu, ayah berperan strategis sebagai pelindung, pendidik nilai, dan penjaga arah keluarga. Ia hadir sebagai sosok yang menegakkan keseimbangan antara kasih sayang, disiplin, dan teladan iman. Peran ini menjadi penting karena anak-anak belajar banyak melalui pengamatan, bukan hanya kata-kata; keteguhan dan kesabaran ayah menjadi pelajaran hidup yang paling efektif. Dengan kehadiran yang nyata dan konsisten, ayah menanamkan nilai-nilai luhur yang membekas sepanjang hayat.

Berikut penjabarannya dalam bingkai Ishlahul tsamaniyah :

Ketahanan Spiritual: Ayah Sebagai Imam dan Penuntun Jalan Keluarga Sakinah

Pernikahan adalah ibadah panjang dan ikatan suci untuk menegakkan visi keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah. Ayah sebagai imam menuntun keluarga memahami makna pernikahan bukan sekedar memiliki keturunan, tetapi membentuk insan kamil—beriman, berilmu, dan beramal. Disini, ayah telah melaksanakan Ishlahul Akidah, Ibadah, dan Tarbiyah. Ia mengajarkan anak tentang tanggung jawab terhadap Allah, membimbing mereka memahami nilai-nilai Al-Qur’an, serta memastikan ibadah keluarga dilakukan dengan penuh kesungguhan.

Ayah menjadi teladan dalam shalat, membaca Al-Qur’an, dan istiqamah dalam kebaikan. Ia mengingatkan anak-anak untuk selalu berdoa sebelum memulai aktivitas, membimbing mereka memahami arti sedekah, sabar, dan bersyukur. Ia mendorong anak membaca hadis singkat setiap hari, memberi contoh bahwa belajar ilmu agama bukan beban, tetapi bekal. Ia menekankan pentingnya shalat berjamaah, menjaga wudhu, dan membaca doa harian, sehingga anak-anak melihat iman sebagai bagian alami dari kehidupan. Rumah menjadi madrasah kecil yang menumbuhkan iman, ketakwaan, dan akhlak mulia. Dengan bimbingannya, anak belajar menata hati, menjaga hubungan dengan Allah, dan menumbuhkan rasa syukur yang mendalam atas nikmat kehidupan.

Landasan Legalitas dan Keutuhan Keluarga: Ayah Sebagai Penjaga Tatanan dan Harmoni

Ayah memastikan seluruh urusan keluarga tertib dan sah secara hukum — dari pernikahan hingga administrasi keluarga. Namun, perannya lebih dari sekadar administratif. Ia menjaga harmoni rumah tangga melalui kepemimpinan yang adil dan penuh empati, menjadi mitra bagi ibu dalam pengasuhan dan pendidikan anak.

Ia menyediakan quality time bersama keluarga, bermusyawarah, atau sekadar berbincang santai setelah salat Isya. Ia memahami bahwa kehangatan emosional sama pentingnya dengan ketertiban administratif. Ayah merencanakan masa depan keluarga dengan matang – jarak kelahiran anak, pendidikan Islami, pengelolaan keuangan yang sehat, serta rencana pengasuhan dan pembinaan karakter anak. Ia menekankan pentingnya musyawarah dalam pengambilan keputusan, baik dalam hal kecil seperti pembagian tugas rumah tangga, maupun keputusan besar seperti pendidikan dan pilihan hidup anak. Ketika anak menghadapi masalah, ayah mendengarkan dengan sabar, memberi arahan sehingga anak belajar menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Inilah bentuk Ishlahul ‘Ailah, perbaikan tatanan keluarga agar kokoh dan berdaya, sekaligus membangun ikatan keluarga yang hangat dan harmonis.

Ketahanan Fisik: Ayah Sebagai Penjaga Kesehatan, Kebersihan, dan Kesucian

Ayah bertanggung jawab atas kesehatan jasmani dan mental keluarga. Ia memastikan rumah bersih, udara segar, air jernih, dan makanan sehat. Ia menanamkan budaya nazhafah (kebersihan) dan thaharah (kesucian lahir-batin): suci dari najis dan hadas serta suci dari syirik, iri, dengki, dan dosa lainnya.

Kesadaran ekologis juga menjadi bagian dari tanggung jawab ayah. Ia menanamkan gaya hidup zero waste, mendaur ulang, menanam pohon, dan menjaga lingkungan rumah agar sehat. Ayah mendidik anak mencuci tangan, menjaga kebersihan diri, dan menghormati alam. Ia memberi contoh bahwa olahraga, tidur cukup, dan konsumsi makanan bergizi adalah penting untuk kesehatan diri. Dari tangannya tumbuh keluarga yang sehat dan lingkungan yang penuh berkah. Praktik ini adalah wujud Ishlahul ‘Adah — memperbaiki kebiasaan hidup agar selaras dengan nilai Islam dan keberlanjutan, serta menanamkan kesadaran ekologis pada generasi muda.

Ketahanan Ekonomi: Ayah Sebagai Penopang Kemandirian dan Penjaga Keberkahan

Ayah mencari rezeki halal dengan niat ibadah, menolak jalan haram, dan menanamkan nilai qana’ah (merasa cukup). Ia mengajarkan anak menghargai pekerjaan, menghormati hasil jerih payah, dan mengelola uang dengan bijak.

Dalam semangat Ishlahul Iqtishad, ayah menata ketahanan ekonomi keluarga:

  1. Tempat tinggal aman dan layak huni.
  2. Sumber penghasilan halal yang mencukupi kebutuhan pokok.
  3. Pembiayaan pendidikan anak agar tumbuh menjadi generasi berilmu.
  4. Jaminan keuangan syariah, termasuk BPJS, asuransi syariah, dan tabungan keluarga.
  5. Ketahanan pangan, menanam bahan pangan sederhana di rumah, hidup hemat, dan menanamkan konsep keberkahan rezeki.

Rezeki bagi ayah bukan soal jumlah, tapi keberkahan. Ia adalah penjaga keseimbangan ekonomi, bukan sekadar pencari nafkah. Anak belajar bahwa kerja keras disertai niat baik mendatangkan keberkahan dan keberhasilan yang bermanfaat bagi banyak orang.

Ketahanan Sosial Psikologis: Ayah Sebagai Penuntun Emosi dan Komunikasi Beradab

Ketenangan keluarga lahir dari pemimpin yang mampu mengelola diri. Ayah menjadi teladan dalam pengendalian emosi: sabar saat marah, tenang dalam tekanan, dan bijak dalam konflik. Ia menghadirkan dialog hati dengan anak-anak — mendengarkan, memahami, dan membimbing tanpa menghakimi.

Dalam komunikasi penuh kasih itu, anak belajar kesadaran diri (self-awareness), pengendalian diri (self-regulation), dan empati. Saat ayah memeluk anak yang berbuat salah, ia menanamkan konsep taubat dan rahmat Allah. Saat memuji anak yang berusaha, ia menanamkan growth mindset Islami. Ia juga mencontohkan cara menghadapi kegagalan dengan sabar dan optimis, sehingga anak belajar resilien, percaya diri, dan tidak mudah menyerah. Ayah menekankan komunikasi terbuka, sehingga anak-anak merasa aman menyampaikan masalah atau keinginan tanpa takut dihakimi. Ia mengajarkan bahwa kesalahan adalah proses belajar, dan kegagalan adalah batu loncatan menuju kesuksesan.

Ketahanan Sosial Budaya: Ayah Sebagai Teladan Kepedulian dan Adab Digital

Ayah menumbuhkan kepedulian sosial dari rumah. Ia mengajarkan anak menyapa tetangga, menghormati lansia, berbagi dengan yang membutuhkan, dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial. Kepedulian adalah ruh peradaban Islam, dan rumah adalah madrasah pertamanya. Inilah Ishlahul Mujtama’ — perbaikan masyarakat.

Ayah juga menjadi teladan dalam kehidupan digital. Di era serba daring, ia menuntun anak beradab dalam bermedia: menggunakan teknologi untuk ilmu dan amal saleh, menghindari hoaks dan ujaran kebencian. Ia menanamkan prinsip: “Gunakan jempolmu untuk kebaikan.” Dengan nilai tasamuh (toleransi), tawazun (keseimbangan), dan ta’adul (keadilan), ayah mengajarkan cara hidup beradab di tengah dunia yang cepat berubah. Inilah Ishlahul Ummah, membangun generasi peduli, beretika, dan berpijak pada nilai Islam rahmatan lil ‘alamin.

Penutup: Terima Kasih, Ayah Hebatku

Dalam setiap dimensi ketahanan keluarga, ayah adalah penggerak kebaikan. Ia bukan sekadar kepala rumah tangga, tetapi pemimpin spiritual, penata kehidupan, pengasuh, dan pendidik sejati. Anak-anak melihat ayah bukan hanya sebagai figur disiplin, tetapi juga sebagai sahabat, tempat curhat, dan sumber inspirasi.

Terima kasih Ayah, karena dari kesungguhanmu lahir keteguhan, dari tanggung jawabmu lahir keberkahan, dari cintamulah peradaban Islam tumbuh dalam kekuatan keluarga, dan dari teladanmu lahir generasi yang beriman, berakhlak mulia, serta siap menebar manfaat bagi masyarakat. Kehadiranmu, meski sering dalam diam, menjadi cahaya yang menuntun langkah setiap anggota keluarga menuju keberkahan dan kebahagiaan sejati. Terima kasih atas kesabaranmu, keteladananmu, dan doa-doamu yang senantiasa mengalir, menuntun keluarga ke jalan yang diridhai Allah. Setiap kata dan tindakanmu menjadi warisan abadi bagi anak-anak, mengajarkan mereka tentang cinta, tanggung jawab, dan keteguhan iman yang akan mereka bawa sepanjang hidup.

Related Articles

Back to top button