103 Tahun PUI, Ahmad Heryawan Sampaikan Sejarah Singkat Berdirinya PUI
BANDUNG – Hari ini (21/12), Persatuan Ummat Islam (PUI) berusia 103 tahun. Di usia yang lebih dari satu abad ini, PUI pun telah banyak mencatat sejarahnya dalam berbagai momen. Termasuk dalam kehadirannya di tanah air sebelum Kemerdekaan Indonesia.
Seperti disampaikan Ketua Majelis Syuro PUI, Dr. K.H. Ahmad Heryawan, Lc., M.Si, disela memberi sambutan dalam acara Milad ke-103 PUI yang digelar secara offline di Pusdai Jawa Barat. Dalam kesempatan ini, Ahmad Heryawan menceritakan sejarah singkat berdirinya PUI, termasuk kepada peserta acara Milad ke-103 PUI yang ikut secara online.
Menurutnya, sejarah telah mencatat, bahwa kelahiran organisasi PUI ditandai dengan disahkannya perhimpunan Persjarikatan ‘Oelama, pimpinan KH. Abdul Halim, oleh Pemerintah Hindia Belanda berdasarkan Gouvernment Besluit Nomor 43 Tahun 1917, tertanggal 21 Desember 1917 M / 6 Rabi’ul Awal 1336 H.
Dalam Sidang Majelis Syuro, tanggal tersebut disepakati serta ditetapkan sebagai hari lahir PUI dan kemudian dicantumkan dalam Anggaran Dasar PUI Pasal 1 Ayat 2 yang disahkan pada tanggal 28 Desember 2019 M/ 1 Jumadil ula 1441 H.
PUI, terlahir dari kepedulian terhadap nasib bangsa, oleh tiga tokohnya yakni K.H. Abdul Halim, K.H. Ahmad Sanusi, dan Mr. R. Syamsuddin. Ketiganya berjuang melepaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan, ketertindasan, kebodohan, kemiskinan dan politik perpecahan. Dan ketiganya juga, tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia serta memiliki peranan penting dalam menyusun narasi besar lahirnya NKRI sebagai anggota BPUPKI.
“Alhamdulillah, ketiga tokoh pendiri PUI tersebut telah mendapatkan Penghargaan Bintang Mahaputra Utama dari Pemerintah. Dan salahsatu diantaranya yakni KH. Abdul Halim pada Tahun 2006 dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Republik Indonesia,†katanya.
Secara faktual, lanjut Ahmad Heryawan, PUI yang saat ini eksis berdiri, merupakan fusi dari dua perhimpunan besar yang didirikan oleh tokoh-tokoh tersebut. Yakni , Persjarikatan ‘Oelama yang berubah nama menjadi Perikatan Oemmat Islam (POI) pimpinan KH. Abdul Halim yang berkedudukan di Majalengka dan Al-Ittihadijatoel Islamijjah (AII) yang berubah nama menjadi Persatuan Oemmat Islam Indonesia (POII) pimpinan KH. Ahmad Sanusi di Sukabumi, pada tanggal 5 April 1952, dengan satu tujuan. Yakni, menggalang persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia serta untuk mengurangi pertentangan dan perpecahan diantara Ummat Islam,†tutur Aher -sapaan akrab- Ahmad Heryawan.
Tak hanya itu, disebutkan juga cikal bakal Perikatan Oemmat Islam (POI). Bermula dari didirikannya Jam’iyyah Hajatoel Qoeloeb oleh KH. Abdul Halim di Majalengka pada Senin, tanggal 17 Juli 1911 M/ 20 Rajab 1329 H sebagai perkumpulan. Tujuannya, kata dia, mewadahi kegiatan taklim agama Islam yang sudah berlangsung sebelumnya dengan nama Madjlisoel ‘Ilmi, serta program pendidikan melalui madrasah I’anat al-Muta’allimin dan kegiatan sosial ekonomi melalui koperasi dan usaha pertanian.
Jam’iyah Hajatoel Qoeloeb melalui rapat pengurus pada Selasa 16 Mei 1916 M/13 Rajab 1334 H, diubah menjadi Jam’iyah I’anat al-Muta’allimin. Namun, ketika diurus izinnya ke pemerintah Hindia Belanda, atas saran Haji Oemar Said Tjokroaminoto, namanya diubah menjadi Persjarikatan Oelama (PO) yang kemudian mendapat pengesahan pada tanggal 21 Desember 1917. Pada tahun tanggal 15 Februari 1943 M / 10 Safar 1362 H perhimpunan ini berubah nama menjadi Perikatan Oemmat Islam (POI).
“Sedangkan Persatuan Oemmat Islam Indonesia (POII) diawali dengan didirikannya Al-Ittihadijatoel Islamijjah (AII) pada hari Sabtu, 21 November 1931 M/11 Rajab 1350 H di Batavia Centrum (Jakarta dari tahun 1931-1934) oleh KH. Ahmad Sanusi dan selanjutnya berpusat di Sukabumi (1934-1952). Kemudian, namanya diubah menjadi Persatuan Oemmat Islam Indonesia (POII) pada Selasa 01 Februari 1944 M/ 06 Shafar 1363 H,†jelasnya.
Perhimpunan ini, lanjut Aher, dibentuk asal mulanya untuk menjawab kegundahan hati dan pemikiran para alim ulama Priangan Barat, yang mendapat serangan pemikiran secara bertubi-tubi dan membabi buta dari kelompok puritan Majelis Ahli Sunnah Cimalame (MASC) Garut, yang disinyalir merupakan salahsatu bagian strategi Pemerintah Kolonial Belanda dalam memecah belah ummat Islam dari dalam dengan politik devide et empira.
“Kini, 103 tahun sudah goresan perjalanan panjang PUI telah tertoreh dalam upayanya berkontribusi serta berkiprah melaksanakan misi Ishlah Tsamaniyah dan menghadirkan nilai-nilai dakwah Islam Wasathiyah di tengah ummat bukan hanya Indonesia namun juga Dunia. (nhz/**)