“Akta Kelahiran” PUI Itu Bernama Gouvernements Besluit 21 Desember 1917 Nomor 43
Penulis:
Ahmad Gabriel
(Sekretaris Lembaga Budaya, Literasi dan Media Baru PUI)
PUI.OR.ID – Pada tahun 2017, Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) menyelenggarakan silaturahim antara ormas-ormas Islam yang dihadiri Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Persatuan Ummat Islam (PUI) saat itu, KH. Nazar Haris. Dalam acara tersebut, pihak Kemenag membagikan buku Direktori Organisasi Kemasyarakatan Islam (Ormas Islam), yang berisikan daftar ormas-ormas Islam di Indonesia dari periode pra-kemerdekaan, periode 1946-1966, periode 1966-1998, periode 1998-sekarang, dengan dilengkapi profil ormas masing-masing.
Pada buku yang diterbitkan oleh Direktorat Penerangan Agama Islam Kemenag tersebut, PUI dimasukkan dalam Bab 2, yaitu “Ormas yang Berdiri Periode 1946-1966”, atau pasca kemerdekaan. Sedangkan Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Syarikat Islam (SI), dan 20 ormas lainnya disebutkan di Bab 1, “Ormas yang Berdiri Sebelum Kemerdekaan”. Pemuda PUI juga termaktub, namun dalam kategori terakhir, yaitu “Periode 1998-sekarang”. Sedangkan Wanita PUI, Himpunan Mahasiswa (HIMA) PUI dan Pemudi PUI kurang beruntung, karena tidak terdaftar dalam buku direktori kemenag itu, padahal Aisyiah dan Muslimat NU, serta Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan lainnya tercantum di sana.
Pada profil PUI yang berada di halaman 63, disebutkan bahwa PUI berdiri pada 5 April 1952 di Bogor. KH. Nazar Haris yang hadir di forum tersebut langsung menyampaikan bahwa terdapat kesalahan dalam pengkategorian dan profil PUI ini. PUI dirintis sejak 17 Juli 1911 oleh KH. Abdul Halim di Majalengka, yang dahulu bernama Jam’iyyah Hajatoel Qoeloeb (JQH). Dan beliau bersama para pendiri PUI lainnya yaitu KH. Ahmad Sanusi dan Mr. Raden Syamsuddin adalah tokoh-tokoh penting dalam barisan pejuang kemerdekaan Indonesia. Maka seharusnya PUI berada di kategori pertama yaitu ormas yang berdiri sebelum kemerdekaan.
Bahkan, PUI adalah salah satu ormas pejuang perebut kemerdekaan dan pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Buktinya adalah, ketiga tokoh yang mewakili PUI tersebut, termasuk sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan dasar-dasar negara bersama Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara dan tokoh-tokoh pejuang lainnya. Mereka tentunya terpilih sebagai anggota BPUPKI karena merupakan tokoh terpandang yang dapat mewakili PUI dan juga masyarakat di wilayahnya.
Alhamdulillah, saat ini ketiga tokoh tersebut telah mendapatkan Penghargaan Bintang Mahaputra Utama dari Pemerintah Indonesia, dan salah satu di antaranya yakni KH. Abdul Halim dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Republik Indonesia pada tahun 2008.
Kemenag akhirnya menerima masukan ini dan meminta kepada ormas-ormas yang akan merevisi profilnya untuk mengirimkan data-data beserta dokumen yang terkait, agar pada penerbitan buku direktori berikutnya, hal tersebut sudah dapat dikoreksi.
Kisah tersebut diceritakan kembali oleh KH. Nazar Haris pada rapat-rapat DPP PUI bersama para jajaran pengurus dan pimpinan lainnya, yang kebetulan saya hadiri. Maka, atas berbagai saran dan masukan, dibentuklah tim perumus Profil & Sejarah PUI yang terdiri dari para ahli sejarah, budaya dan hukum, di antaranya Ust. Ahmadie Thaha, Ust. Dr. Munandi Saleh, Ust. Dr. Asep Mukhtar Mawardi, Dr. Mohammad Iskandar, saya dkk. Tugas tim ini adalah meneliti berbagai sumber sejarah PUI dari berbagai literatur serta dokumen-dokumen negara yang dapat menunjang sejarah konkrit PUI.
Ust. Ahmadie adalah wartawan profesional serta pendiri koran Republika, Ust. Munandi adalah pegiat sejarah dan pelestari kitab-kitab KH. Ahmad Sanusi, Ust. Asep adalah ahli sejarah dan pejabat penting di Arsip Nasional RI (ANRI), serta Dr. Iskandar juga sebagai ahli sejarah dan dosen di Universitas Indonesia (UI). Harapannya, dengan leading mereka, tim ini dapat menemukan titik terang sejarah PUI.
Dalam penelusurannya, tim menemukan bahwa ternyata banyak salah kaprah dalam memahami tanggal pendirian PUI. Di Wikipedia (pada 2017 lalu), disebutkan bahwa PUI adalah hasil fusi dari dua ormas Islam yaitu Perikatan Oemmat Islam (POI) pimpinan KH. Abdul Halim yang berkedudukan di Majalengka dan Persatuan Oemmat Islam Indonesia (POII) pimpinan KH. Ahmad Sanusi di Sukabumi, yang fusinya terjadi pada 5 April 1952 di Bogor, Jawa Barat.
Pada website, buku, serta skripsi atau artikel lain, juga ditonjolkan narasi dan tanggal fusi/penggabungan tersebut, yang menyebabkan banyak kalangan mengira hari berdiri PUI adalah pada tanggal fusinya itu, 5 April 1952, karena nama PUI baru ada pada saat itu, sedangkan sebelumnya bukan bernama PUI. Salah kaprah pemahaman ini menyebabkan banyak institusi dan lembaga-lembaga salah paham dengan tanggal lahir PUI tersebut, contohnya Kementerian Agama di atas.
Salah paham ini tentu memberikan beberapa dampak yang negatif bagi PUI. Pertama, karena yang ditonjolkan adalah tahun 1952, tentunya ini menjadikan PUI sebagai ormas yang berdiri pasca kemerdekaan, seperti terdaftar di buku Direktori Ormas Islam Kemenag di atas.
Kedua, karena berdiri setelah kemerdekaan, ini menghapus dan menegasikan peran perjuangan PUI serta tokoh-tokoh pendirinya dalam merebut kemerdekaan Indonesia dari belenggu penjajahan Belanda dan Jepang. Padahal peran sejarah ini adalah nilai yang paling mahal dan sangat berharga bagi PUI.
Ketiga, standing & bargaining position PUI menjadi turun atau di bawah ormas-ormas Islam pra-kemerdekaan lainnya seperti Muhammadiyah yang berdiri pada 1912 dan NU yang berdiri pada 1926. Padahal, PUI setara dengan mereka dan sama posisinya dalam mendirikan negara yang bernama Indonesia ini. Maka, sepatutnya perhatian, penghargaan dan marwah yang diberikan oleh pemerintah kepada mereka juga sama besarnya diberikan kepada PUI.
Tim Profil & Sejarah PUI pun terus bekerja mencari dan mengumpulkan berbagai dokumen serta literatur, mengadakan rapat dan diskusi serta merumuskan poin-poin yang dapat menjadi rujukan dan perbaikan sejarah PUI, khususnya tanggal berdiri PUI. Tim berpendapat, kesalahpahaman di atas terjadi karena keunikan sejarah fusi PUI yang tidak dimiliki ormas mana pun, serta kondisi penjajahan yang “memaksa” PUI berganti-ganti nama. Tim merumuskan, untuk meluruskan kesalahan ini, diperlukan pemahaman sejarah secara menyeluruh mengenai PUI, yang secara singkat dapat dirangkum dari awal berdirinya hingga fusi pada 1952, yaitu:
1. KH. Abdul Halim mendirikan Jam’iyyah Hajatoel Qoeloeb yang berdiri di Majalengka pada 17 Juli 1911. Lalu pada 16 Mei 1916, diubah menjadi Jam’iyah I’anat al-Muta’allimin. Namun, ketika diurus izinnya ke pemerintah Hindia Belanda, atas saran Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, namanya diubah menjadi Persjarikatan Oelama (PO) yang ditetapkan melalui Gouvernements Besluit (Keputusan Pemerintah) No 43 tanggal 21 Desember 1917. Terakhir, organisasi ini berubah nama menjadi Perikatan Oemmat Islam (POI) pada 15 Februari 1943.
2. KH. Ahmad Sanusi mendirikan Al-Ittihadijatoel Islamijjah (AII) pada 21 November 1931 di Batavia Centrum dan selanjutnya berpusat di Sukabumi. Kemudian, namanya diubah menjadi Persatuan Oemmat Islam Indonesia (POII) pada 1 Februari 1944.
3. Dengan tujuan menggalang persatuan di kalangan bangsa Indonesia dan untuk mengurangi pertentangan di antara umat Islam saat itu serta memberikan contoh pemersatu umat, kedua perhimpunan tersebut (POI & POII) selanjutnya mengadakan fusi di Bogor pada Sabtu, 09 Rajab 1371 Hijriyah bertepatan dengan 5 April 1952 dan menjadi Persatuan Ummat Islam.
Karena PUI adalah hasil fusi dua ormas besar dengan tokohnya yang sama besar pengaruhnya secara nasional, maka PUI bukanlah JHQ/POI semata atau AII/POII semata. PUI adalah keduanya dan keduanya adalah PUI, dengan segala sejarah, tokoh, aset serta atribut yang melekat padanya.
Gambaran sederhananya kira-kira begini: Ada dua orang kiai di sebuah desa yang ingin mengajarkan pengetahuan Islam. Kiai pertama membangun masjid dan mengajar para santri di dalamnya. Kiai kedua membangun sekolah dan mengajar para siswa di dalamnya. Suatu hari, kedua tokoh tersebut bersepekat menggabungkan masjid dan sekolah mereka agar lebih efektif menyiarkan Islam kepada masyarakat. Namanya kemudian berubah menjadi pesantren. Pesantren ini berisikan masjid dan sekolah, beserta guru, pengurus, santri dan siswa gabungan keduanya. Begitulah pandangan singkat sejarah pesantren tersebut. Jika ditanya kapan tanggal berdirinya pesantren, orang harus memahami kisah dan sejarah pesantren tersebut seutuhnya. Karena pesantren itu ya masjidnya, ya sekolahnya, halaman dan kebunnya, dengan segala sejarah juga atribut gabungan keduanya.
Kembali ke hari-hari penting di atas, banyak yang mengusulkan tanggal berdirinya JHQ atau AII menjadi tanggal berdirinya PUI, karena mereka adalah cikal bakal PUI. Namun pendapat ini kurang dikuatkan dengan bukti pengesahan hukum atau legalitas yang ada. Bukti otentik yang cukup kuat diperoleh oleh tim adalah Gouvernements Besluit (Keputusan Pemerintah) No 43 tanggal 21 Desember 1917 yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia. Besluit yang aslinya tertulis dalam bahasa Belanda itu setelah diterjemahkan berbunyi:
Keputusan Pemerintah 21 Desember 1917 No 43
diubah dengan: Keputusan Pemerintah 19 Januari 1924 No. 35
lalu diubah lagi dengan: Keputusan Pemerintah 18 Agustus 1937 No 43
STATUTA
“PERSJARIKATAN OELAMA”
Nama, tempat kedudukan dan jangka waktu
Pasal 1
Perkumpulan dengan nama Persjarikatan Oelama, berkantor pusat di Madjalengka, dan berdiri untuk jangka waktu 29 (dua puluh sembilan) tahun terhitung sejak perkumpulan tersebut diakui sebagai badan hukum, yaitu pada tanggal 21 Desember 1917.
Maksud dan tujuan
Pasal 2
Sesuai dengan pertimbangan dan prinsip yang ditetapkan, perkumpulan bertujuan untuk:
a. Berdakwah dan menyebarluaskan pengetahuan Islam tentang agama dan pendidikan di dalamnya.
b. Mempromosikan kesejahteraan materiil berdasar Islam.
c. Memelihara ikatan erat di antara para anggota untuk membangkitkan semangat mereka saling membantu.
Dengan adanya dokumen Gouvernements Besluit (GB) yang ditemukan di koleksi arsip kantor ANRI ini, Persjarikatan Oelama yang didirikan oleh KH. Abdul Halim pada saat itu menjadi sah secara hukum dan dapat menjalankan kegiatan-kegiatan pendidikan, sosial dan ekonomi di dalamnya. GB ini menjadi tanda bukti yang berisi pernyataan pengesahan dari pemerintah Belanda yang berkuasa saat itu, karena tanpa tanda bukti ini, kegiatan-kegiatan perkumpulan tidak akan diperbolehkan oleh penguasa. Ini tentunya akan menghambat penyebaran pengetahuan, dakwah serta syiar Islam oleh tokoh-tokoh PUI pada masa lalu. Sama seperti akta kelahiran seseorang yang mendefinisikan tanggal lahirnya orang tersebut, “akta kelahiran” PUI ini juga menjadi bukti kuat tanggal lahir PUI di masa lalu.
Contoh “akta kelahiran” ini bisa kita lihat juga pada Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang awalnya bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) melalui Maklumat Pemerintah pada 5 Oktober 1945. TKR pun diubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat, lalu diubah lagi menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) dan akhirnya diresmikan menjadi TNI pada 3 Juni 1947. Namun, tanggal berdirinya tetap 5 Oktober 1945 sesuai maklumat resmi yang pernah dikeluarkan pemerintah dan sampai sekarang dirayakan setiap tahunnya.
Atas temuan dokumen GB ini, tim pun membuat rumusan tanggal berdiri PUI sesuai tanggal pengesahan yang tertera di dalamnya, yaitu 21 Desember 1917. Tim juga membuat rumusan sejarah PUI untuk diajukan ke DPP, Pimpinan Pusat dan Majelis Syura PUI.
Setelah melewati berbagai proses rapat dan persidangan, tanggal tersebut kemudian disepakati dalam Sidang Majelis Syuro dan ditetapkan sebagai Hari Lahir PUI (21 Desember 1917) yang disahkan pada tanggal 28 Desember 2019 M/ 1 Jumadil ula 1441 H. Ketetapan hasil musyawarah sidang ini kemudian dicantumkan dalam Anggaran Dasar PUI Pasal 1 Ayat 2 yang berbunyi:
Persjarikatan ‘Oelama mendapat pengesahan dari Pemerintah Belanda berdasarkan Gouvernments Besluit Nomor 43 Tahun 1917 tertanggal 21 Desember 1917 M / 6 Rabi’ul Awwal 1336 H, dan ditetapkan sebagai hari lahir PUI.
Akhirnya, pada Hari Milad PUI yang dirayakan pada 21 Desember 2020 ini, kita semua sepantasnya mengucap syukur yang mendalam kepada Allah Swt, atas karunia usia PUI yang telah mencapai 103 tahun, lebih tua 28 tahun dari usia negara kita Indonesia yang berumur 75 tahun.
Seabad lebih perjuangan PUI mensyiarkan Islam dan nilai-nilainya yang dirintis oleh para pendiri dan pengembang. Maka sudah selayaknya kita renungkan bersama warisan ajaran mereka, yaitu Intisab PUI dan Islah al-Tsamaniyah, serta asas dan tujuan organisasi ini, sudah seberapa jauh kita telah mencapainya? Renungan ini wajib diiringi dengan doa dan harapan kepada Allah Swt, agar Ia meridhoi dan merahmati amal-amal kebaikan kita semua di Persatuan Ummat Islam (PUI).
Selamat Milad PUI ke-103 tahun.
Semoga PUI semakin maju dan berkembang dalam “Berdakwah untuk Mencerdaskan menuju Masyarakat Adil dan Beradab.”
Allah tujuan pengabdian kami.
Ikhlas dasar pengabdian kami.
Islah jalan pengabdian kami.
Cinta lambang pengabdian kami. (Intisab PUI)