DakwahOpini

Deep Learning dalam Membangun Generasi Islah

Penulis: Muhammad Rijal W. Muharram

Akhir-akhir ini, kita sering mendengar istilah “Deep Learning” yang digaungkan kembali oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia, Prof. Dr. Abdul Mu’ti M.Ed.. Pendekatan Deep Learning diproyeksikan akan diterapkan pada Kurikulum Nasional dalam upaya pihaknya untuk peningkatan mutu pendidikan untuk semua. Sehingga, diskursus mengenai pendekatan ini akan begitu hangat selama beberapa tahun ke depan.

Dalam dunia pendidikan modern, pendekatan Deep Learning tidak hanya mengacu pada Akal Imitasi (Artificial Intelligence), tetapi juga pada cara berpikir dan belajar yang lebih mendalam. Deep Learning dalam pendidikan menekankan pada pembelajaran yang tidak sekadar menghafal informasi, tetapi memahami secara mendalam, menghubungkan konsep, dan menerapkannya dalam kehidupan nyata.

Menurut Fullan, Quinn, dan McEachen (2018) dalam Deep Learning: Engage the World Change the World, pembelajaran mendalam menuntut peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam proses berpikir kritis dan reflektif, dengan tujuan membangun pemahaman yang lebih luas dan lebih bermakna terhadap dunia di sekitar mereka. Dalam konteks Islah Tsamaniyah, pendekatan ini menjadi landasan penting dalam menyiapkan generasi yang mampu mengimplementasikan nilai-nilai Islam dalam tatanan sosial, ekonomi, dan budaya secara efektif.

Ada enam elemen utama dalam pembelajaran mendalam yang menjadi kompetensi global (Six Global Competencies for Deep Learning), yang sangat relevan dalam membentuk generasi Islah:

 

  1. Character (Karakter)

Karakter adalah fondasi utama dalam membangun generasi Islah. Perbaikan tidak akan terjadi jika tidak didukung oleh individu yang memiliki integritas, ketahanan mental, dan moral yang kuat. Dalam Islam, karakter unggul ini dikenal dengan istilah akhlak al-karimah (akhlak yang mulia), sebagaimana dijelaskan dalam hadis Rasulullah:

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Al-Baihaqi)

Pembelajaran mendalam dalam membangun karakter berarti membentuk individu yang tidak hanya memiliki pengetahuan tentang nilai-nilai Islam, tetapi juga menjadikannya sebagai prinsip hidup. Karakter yang kuat akan menjadikan seseorang mampu bertahan dalam situasi sulit, bersikap jujur dalam segala keadaan, dan selalu berorientasi pada perbaikan diri.

Dalam konteks Islah Tsamaniyah, karakter yang kokoh akan mendukung perbaikan dalam bidang aqidah, ibadah, dan keluarga. Individu dengan karakter unggul akan menjadi pemimpin yang amanah, ayah yang bertanggung jawab, ibu yang mendidik dengan cinta, serta anggota masyarakat yang jujur dan dapat dipercaya.

 

  1. Citizenship (Kewarganegaraan Global)

Konsep citizenship dalam pembelajaran mendalam mengacu pada pemahaman bahwa setiap individu adalah bagian dari komunitas global. Generasi Islah harus memiliki wawasan luas tentang dunia, memahami dinamika sosial dan politik global, namun tetap berpegang teguh pada prinsip Islam.

Dalam konteks Islah Tsamaniyah, perbaikan ummat membutuhkan individu yang memiliki kesadaran tinggi akan tanggung jawabnya terhadap masyarakat. Mereka harus memahami peran mereka dalam membangun harmoni sosial, mengatasi konflik dengan cara yang bijaksana, dan memperjuangkan keadilan di tingkat lokal maupun global.

Dalam Islam, konsep ini tercermin dalam prinsip ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam), yang mengajarkan bahwa setiap Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, tanpa memandang perbedaan budaya, suku, atau bangsa.

 

  1. Collaboration (Kolaborasi)

Perbaikan tidak bisa dilakukan sendirian. Islah Tsamaniyah membutuhkan kerja sama lintas generasi, lintas bidang, dan lintas pemikiran. Konsep kolaborasi dalam Deep Learning menekankan pada kemampuan bekerja sama dalam tim, menyelesaikan masalah secara kolektif, dan membangun jaringan sosial yang produktif.

Dalam Islam, pentingnya kolaborasi tercermin dalam prinsip syura (musyawarah). Allah SWT berfirman:

“… dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka.” (QS. Asy-Syura: 38)

Generasi Islah harus mampu bekerja dalam tim untuk mewujudkan perbaikan dalam bidang ekonomi, masyarakat (sosial), dan pendidikan. Mereka harus memahami bagaimana membangun komunitas bisnis yang berbasis syariah, bagaimana bekerja sama dengan berbagai pihak untuk menyelesaikan permasalahan sosial, serta bagaimana menciptakan sistem pendidikan yang lebih inklusif dan inovatif.

 

  1. Communication (Komunikasi)

Seorang agen Islah harus mampu menyampaikan ide dan nilai-nilai Islam dengan cara yang menarik, persuasif, dan bisa diterima oleh semua kalangan. Dalam konteks pendidikan, komunikasi tidak hanya sebatas berbicara, tetapi juga mencakup kemampuan mendengarkan, menulis, dan menggunakan berbagai media untuk menyampaikan pesan secara efektif.

Dalam Islam, komunikasi yang baik telah diajarkan oleh Rasulullah SAW, yang dikenal sebagai seorang komunikator ulung. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. An-Nahl: 125)

Dalam Islah Tsamaniyah, komunikasi yang efektif dibutuhkan dalam perbaikan ummat, tradisi, dan masyarakat. Seorang da’i harus mampu menyampaikan Islam dengan cara yang lembut dan bijak. Seorang pendidik harus bisa menjelaskan konsep secara menarik. Seorang pemimpin harus mampu menggerakkan masyarakat melalui kata-kata yang menginspirasi.

 

  1. Creativity (Kreativitas)

Kreativitas dalam Deep Learning tidak hanya berarti menciptakan sesuatu yang baru, tetapi juga menemukan cara yang lebih baik dan efektif dalam menyelesaikan permasalahan. Dalam pendidikan berbasis Islah Tsamaniyah, kreativitas menjadi kunci dalam membangun generasi yang tidak hanya memahami ajaran Islam secara tekstual, tetapi juga mampu menerapkannya dalam konteks kehidupan modern. Misalnya, dalam pembelajaran agama, siswa dapat diajak untuk mengeksplorasi nilai-nilai Islam melalui proyek kreatif, seperti membuat vlog edukatif tentang bagaimana prinsip kejujuran dalam Islam dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan metode ini, mereka tidak hanya sekadar menghafal ayat dan hadis, tetapi juga memahami relevansinya dalam kehidupan nyata. Begitu pula dalam bidang sosial, siswa dapat diberikan tantangan untuk merancang kampanye kesadaran mengenai pentingnya menjaga adab dalam komunikasi digital, sesuai dengan ajaran Islam tentang berkata baik (qaulan sadidan). Dengan cara ini, mereka tidak hanya belajar secara pasif, tetapi aktif berpikir dan menciptakan solusi inovatif untuk tantangan sosial di era digital.

Dalam aspek ekonomi Islam, kreativitas dapat diaplikasikan dengan mengajak siswa untuk berpikir kritis dalam merancang model bisnis berbasis syariah yang bermanfaat bagi masyarakat. Misalnya, dalam proyek kewirausahaan, siswa tidak hanya diberikan teori tentang zakat dan sedekah, tetapi juga diminta untuk membuat simulasi bisnis kecil-kecilan yang mengadopsi prinsip berbagi keuntungan dengan kaum dhuafa.

Contohnya, mereka bisa mendesain usaha berbasis social entrepreneurship, seperti program “Setiap Produk untuk Kebaikan”, di mana sebagian dari hasil penjualan dialokasikan untuk membantu komunitas yang membutuhkan. Dengan demikian, siswa tidak hanya memahami konsep ekonomi Islam sebagai teori, tetapi juga mampu mengaplikasikannya secara inovatif dalam praktik bisnis yang berorientasi pada kesejahteraan umat. Melalui pendekatan ini, pendidikan berbasis Deep Learning tidak hanya mencetak individu yang cerdas secara akademik, tetapi juga generasi yang berpikir kreatif, inovatif, dan berkontribusi nyata dalam perbaikan masyarakat sesuai dengan semangat Islah Tsamaniyah.

 

  1. Critical Thinking (Berpikir Kritis)

Dunia saat ini dipenuhi dengan informasi yang tidak semuanya benar. Generasi Islah harus mampu memilah mana yang benar, mana yang keliru, dan mana yang bisa menjadi pijakan dalam mengambil keputusan.

Berpikir kritis dalam Islam tidak hanya sebatas mempertanyakan segala sesuatu, tetapi juga mencari kebenaran berdasarkan dalil yang kuat. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:

“Maka tanyakanlah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)

Dalam konteks Islah Tsamaniyah, berpikir kritis sangat penting dalam perbaikan aqidah, ibadah, dan ummat. Umat Islam harus mampu membedakan antara ajaran yang benar dengan yang menyimpang, harus bisa menilai apakah suatu praktik ibadah memiliki dasar syariat atau tidak, serta harus mampu menilai situasi sosial dengan analisis yang objektif.

Salah satu tokoh muslim yang pemikirannya berkaitan erat dengan pemikiran kritis dan karyanya sudah diakui di seluruh dunia, yakni Ibnu Khaldun. Seperti yang dikutip dari Tamara Sonn (2011) dalam bukunya, Islam: A Brief History, Ibnu Khaldun menegur para cendekiawan yang hanya menyampaikan hikmah yang diterima tanpa menelitinya berdasarkan informasi baru, dan mereka yang menulis dengan bias politik, ‘mencoreng reputasi orang lain’ demi ‘kepentingan dan persaingan yang egois, atau dipengaruhi oleh para penjual tirani dan ketidakjujuran.”

Hal ini selaras dengan simpulan dari paper dari Farooq (2017) yang berjudul “Islam and Critical Thinking: The Legacy of Ibn Khaldun”, berpikir kritis merupakan bagian penting dari warisan manusia dan vital bagi pencarian manusia akan kebenaran dan pengetahuan. Sangat disayangkan bahwa meskipun kontribusi perintis Ibnu Khaldun untuk menumbuhkan pemikiran kritis dan kreatif, dunia Muslim pada dasarnya mengabaikan atau melupakannya dan tetap membenamkan kepala mereka dalam pendekatan pemikiran tradisional, berbasis transmisi, dan berorientasi pada teks. Banyak cendekiawan, intelektual, dan ilmuwan Muslim kontemporer berkontribusi pada peremajaan tradisi berpikir kritis dalam tradisi Islam.

——————–

Pada akhirnya, ketika keenam elemen ini diterapkan dalam pendidikan berbasis Islah Tsamaniyah, maka hasilnya adalah generasi yang tidak hanya memahami Islam sebagai ajaran, tetapi juga mampu mengaplikasikannya dalam dunia nyata secara efektif. Generasi ini tidak hanya mampu menyelesaikan masalah mereka sendiri, tetapi juga memberikan solusi bagi masyarakat dan umat secara luas.

Mereka bukan hanya generasi yang tahu tentang Islam, tetapi generasi yang hidup dengan Islam, berpikir dengan Islam, dan berinovasi dengan Islam.

——————–

@rijalmuharram

26 Februari 2025

Related Articles

Back to top button