Hari Santri: Momentum Pengakuan, Dari Pesantren ke Peradaban Bangsa
Tahun ini, peringatan Hari Santri terasa lebih istimewa dengan disetujuinya pembentukan Direktorat Jenderal Pesantren di Kementerian Agama oleh Presiden Prabowo Subianto

Oleh: Ahmad Gabriel
Wakil Ketua Umum PP Pemuda PUI
Saya masih terkenang betul masa-masa ketika nyantri di Pesantren Al-Amien Prenduan—lingkungan pondok yang terik, namun terasa teduh oleh rindangnya pohon kelapa, palem dan mangga, hembusan angin sepoi-sepoi beraroma garam dari selat Madura, serta dinginnya marmer masjid jami’ dan air wudhu saat hendak tahajjud. Hidup di pesantren yang mendidik santri selama 24 jam di bawah bimbingan para Kiai, Nyai, Asatidz dan Mu’allim serta rangkulan teman-teman sepondok benar-benar membentuk pribadi kami sesuai dengan mottonya dan terus kami usahakan setiap hari: “beriman sempurna, berilmu luas dan beramal sejati.”
Pembentukan pribadi itu tidak berhenti di ruang kelas atau pengajian kitab kuning. Ia hadir dalam setiap detik kehidupan: disiplin yang ketat, kemandirian dalam memenuhi kebutuhan diri, pembiasaan berbahasa Arab dan Inggris setiap hari, serta latihan berbagai keterampilan hidup yang menumbuhkan rasa tanggung jawab. Dari sanalah saya memahami bahwa pesantren bukan sekadar tempat menuntut ilmu agama, melainkan ruang hidup yang menanamkan karakter, etos kerja, dan kepekaan sosial.
Karena itu, setiap kali Hari Santri tiba, saya selalu teringat betapa besar peran pesantren dalam mencetak jutaan generasi bangsa yang beriman, berakhlak dan tangguh menghadapi kerasnya tantangan zaman. Tahun ini, peringatan Hari Santri terasa lebih istimewa dengan disetujuinya pembentukan Direktorat Jenderal Pesantren di Kementerian Agama oleh Presiden Prabowo Subianto. Keputusan tersebut bukan hanya hadiah simbolik, tetapi juga bentuk pengakuan negara atas jasa besar pesantren dalam menjaga moralitas, keilmuan, dan jati diri bangsa.
Persatuan Ummat Islam (PUI) bersama para pendirinya, KH Abdul Halim dan KH Ahmad Sanusi—keduanya Pahlawan Nasional—sejak tahun 1917 telah meletakkan dasar penting dalam perjuangan pendidikan Islam di Indonesia. Sejak awal berdirinya, PUI telah menerapkan sistem muta’allimin, mendirikan ratusan pesantren di berbagai daerah dan melahirkan banyak ulama yang terus memberikan pengabdian kepada masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan yang mereka dirikan. Dari pesantren, madrasah, sekolah dan kampus itulah tumbuh generasi yang berjuang di bidang dakwah, pendidikan, sosial, dan kebangsaan—menjadi bukti nyata bahwa pesantren bukan hanya lembaga keagamaan, tetapi pilar penting dalam pembentukan peradaban bangsa.

Pembentukan Ditjen Pesantren merupakan langkah penting dalam memperkuat kedudukan lembaga ini di sistem pendidikan nasional. Selama ini, pesantren sering berada di posisi pinggiran dalam kebijakan negara, meskipun kontribusinya sangat besar. Dengan adanya direktorat jenderal khusus, pesantren diharapkan memperoleh perhatian yang lebih proporsional dalam pendanaan, pembinaan, serta pengembangan sumber daya manusia. Negara akhirnya memberikan ruang kelembagaan yang setara dengan kontribusi pesantren yang begitu besar bagi kehidupan bangsa.
Namun, pengakuan ini tidak boleh berhenti pada tataran struktural semata. Tantangan berikutnya adalah bagaimana kebijakan tersebut dapat menghadirkan perubahan nyata di lapangan. Peningkatan kapasitas guru, kiai, ustadz, dan manajemen pesantren harus menjadi prioritas utama. Begitu pula dengan pendataan yang lebih akurat, agar program dan bantuan benar-benar menjangkau pesantren kecil di pelosok, bukan hanya lembaga yang sudah mapan. Transparansi, keadilan, dan akuntabilitas harus menjadi roh dalam implementasi kebijakan ini.
Keberagaman pesantren di Indonesia juga merupakan kekuatan yang perlu dirangkul, bukan diseragamkan. Ada pesantren yang tradisional, ada yang modern, ada pula yang berfokus pada dakwah atau pemberdayaan masyarakat. Kebijakan Ditjen Pesantren harus mampu menghargai dan menyesuaikan diri dengan keragaman model tersebut. Pesantren tumbuh bersama masyarakat, menjadi bagian dari denyut sosial dan ekonomi bangsa. Karena itu, santri harus dipersiapkan menghadapi tantangan baru seperti digitalisasi, kewirausahaan, dan globalisasi—tanpa kehilangan akar tradisi keilmuannya.
Kita berharap pembentukan Ditjen Pesantren dapat menjadi jembatan transformasi bagi dunia pesantren di Indonesia. Santri perlu didorong menjadi agen perubahan yang aktif di tengah masyarakat. Pesantren dapat berkembang menjadi pusat pemberdayaan ekonomi umat, ruang inovasi sosial, dan tempat lahirnya pemimpin-pemimpin masa depan yang berintegritas. Kolaborasi lintas sektor—antara pemerintah, organisasi masyarakat, lembaga pendidikan, dan dunia usaha—perlu diperluas agar pesantren benar-benar menjadi kekuatan pembangunan nasional.

Setiap kebijakan juga perlu dilengkapi dengan mekanisme pengawasan dan evaluasi yang terbuka, agar manfaatnya dirasakan secara merata. Pesantren harus tetap menjadi benteng moral bangsa, yang menanamkan nilai-nilai moderasi, toleransi, serta cinta tanah air di tengah arus perubahan global.
Hari Santri tahun ini bukan sekadar peringatan, tetapi penegasan bahwa santri dan pesantren adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan bangsa Indonesia. Dengan disetujuinya pembentukan Ditjen Pesantren, harapan besar kini hadir—agar pengakuan birokrasi ini benar-benar mewujud dalam langkah nyata memperkuat pesantren di seluruh pelosok negeri.
Sebagai bagian dari generasi muda PUI, kami di Pengurus Pusat (PP) Pemuda PUI menyambut langkah ini dengan semangat kolaboratif. Sejak awal dibentuk sebagai sayap organisasi PUI yang fokus mewadahi remaja dan kepemudaan, Pemuda PUI berkomitmen untuk berkontribusi melalui gerakan pemberdayaan, pendidikan, serta penguatan nilai-nilai kebangsaan di kalangan santri, siswa, dan pemuda. Bagi kami, sinergi dengan pemerintah bukan soal kedudukan atau kepentingan, melainkan tentang pengabdian—bahwa setiap langkah harus diarahkan pada kemaslahatan umat dan kemajuan bangsa.
Sebab pada akhirnya, santri bukan hanya pewaris ilmu, tetapi juga pelanjut perjuangan dan pembangun peradaban. Dari pesantrenlah lahir generasi yang berpikir jernih, berakhlak luhur, dan berjiwa pengabdi. Mereka adalah cahaya yang menerangi bangsa di tengah gelapnya zaman. Hari Santri adalah saat untuk meneguhkan kembali keyakinan itu: bahwa santri bukan sekadar bagian dari sejarah Indonesia, melainkan penulis bab-bab baru peradaban bangsa yang lebih beradab, berilmu, dan bermartabat.
Jakarta, 22 Oktober 2025



