Penulis: Raizal Arifin
Sekjend DPP PUI
Persatuan Ummat Islam (PUI) pantas berbangga karena tetap eksis dan menjadi ormas Islam terbesar ketiga di usia ke 105 tahun ini. Hingga hari ini, PUI punya 20 juta anggota, ribuan sekolah dan ratusan majelis ta’lim.
PUI yang resmi berdiri sejak 1917 mulai mengejar ketertinggalannya dari sang “Kakak” Muhammadiyah (berdiri 1912), atau “Adik” NU yang lebih muda 6 tahun (berdiri 1926).
Momentum kelahiran Lembaga Dakwah PUI yang baru didirikan pada 18 Maret 2023 ini, melahirkan semangat baru untuk berakselerasi membangun kebesaran PUI.
Keberadaan Da’i PUI adalah salah satu jantung eksistensi dan kebesaran PUI. Di fase awal, alumni-alumni sekolah dan pesantren PUI menyebar membuat banyak majelis ta’lim dan sekolah. Namun tantangan medan dakwah, realitas sosial dan perubahan zaman membuat Da’i PUI harus bertransformasi.
Tidak cukup hanya menjadi aktivis dakwah yang sekedar aktif berdakwah di ruang dan lingkungan yang terbatas, namun harus keluar menjawab berbagai tantangan zaman dengan memberikan natijah atau dampak (impact) yang terukur dan signifikan.
Label aktivis dakwah tersemat kepada mereka yang sudah mau aktif bergerak atau setidaknya terlibat dalam agenda dan program dakwah. Sementara Impactivis Dakwah disematkan bagi para aktivis dakwah yang telah membuat kebermanfaatan yang jelas dan terukur pada mad’u/objek dakwah mereka.
Julukan/gelar Impactivist setidaknya memberikan pemahaman dan kesadaran bagi da’i PUI untuk membangun orientasi menciptakan dampak (impact) kebermanfaatan dan perbaikan (ishlah) yang jelas dan terukur. Karena inilah yang dilakukan oleh para Walisongo. Bahkan sebelum membangun pondok atau padepokan, mereka terlebih dahulu membuat karya yang bermanfaat besar bagi masyarakat.
Kemajuan era digital ternyata memberikan tantangan baru bagi juru dakwah. Masyarakat, terutama generasi muda, memiliki standar tinggi atas apa yang akan mereka dengar, tonton, simak, gunakan, konsumsi atau jadikan rujukan.
Dalam hal mendengar ceramah misalnya, besar kemungkinan mereka tidak tertarik duduk berlama-lama di majelis ilmu di mushola atau masjid. Karena terbiasa menyimak ustadz yang berbobot tinggi atau kondang lewat YouTube, mereka menganggap biasa saja para ustadz yang mungkin berceramah di masjid mereka. Atau karena terbiasa mengkonsumsi tontonan informatif yang padat dan berdurasi singkat di tiktok, mereka tidak betah menyimak ceramah yang acaranya berjam-jam. Standar tinggi yang belum disadari para juru dakwah.
Namun di sisi lain, generasi era digital akan dengan ringan hati dan tangan terlibat dalam gerakan/program kebaikan, bila itu mereka rasakan kebermanfaatannya. Riset menunjukkan generasi Milenial ternyata memiliki kepedulian sosial yang tinggi, dan banyak membuat aksi-aksi sosial sesuai komunitas mereka. Pun bila ada tokoh/influencer yang dirasa punya produk karya yang mereka rasakan manfaatnya, maka mereka akan mau mendukung bahkan berpartisipasi aktif menjadi bagian produk tersebut.
Maka ada benarnya apa yang disampaikan KH Nurhasan Zaidi dalam sambutan saat Launching Lembaga Dakwah PUI. Bahwa jangan sampai kita sibuk membangun pesantren, tapi lingkungan sekitar banyak maksiat, kemiskinan, buta baca Al-Qur’an, dan hal miris lainnya. Kader dan juru Dakwah PUI harus punya empati dan kebermanfaatan (impact) yang jelas dan terukur. Berubah dari sekedar Aktivis Dakwah menjadi Impactivis Dakwah.
Bila kita warga PUI ingin menyaksikan kebesaran dan kejayaan PUI, maka cara paling realistis ada mengakselerasi sebanyak mungkin kader untuk bisa menciptakan kebermanfaatan (impact) yang jelas dan terukur. Akumulasi produk karya dengan impact besar inilah yang akan membantu masyarakat mencintai, mendukung bahkan berbondong-bondong menjadi bagian dari perjuangan PUI. Yang pada ujungnya membuat apa yang dicita-citakan pendiri bangsa kita bisa terwujud.
Sudah masanya sekolah dan kampus PUI keluar dari rutinitas sekedar membuat anak didiknya menjadi punya banyak pengetahuan, punya sederet piala, dan hal sejenisnya. Karena itu baru berupa kebermanfaatan untuk diri sang siswa atau komunitas kita yang terbatas. Buatlah anak didik kita memiliki empati yang tinggi, lalu tergerak membuat sesuatu yang memberikan impact yang jelas dan terukur.
Tidak masalah bisa itu baru hanya membantu satu atau dua orang mendapatkan solusi atas masalah mereka. Bila budaya ini terus berjalan, impact itu akan bertumbuh dan membesar hingga mendatangkan kesuksesan bagi mereka penggeraknya. Di saat itulah kebesarannya PUI akan terlihat hilalnya. Wallahu’alam.