Oleh Raizal Arifin, Sekjend Pesatuan Ummat Islam (PUI)
Ungkapan “rumput tetangga lebih hijau” seringkali kita ungkapkan saat merasa orang/pihak lain terlihat lebih baik daripada diri kita. Bila ungkapan ini dijadikan motivasi untuk memperbaiki diri, itu tak ada salahnya. Yang repot bila fikiran ini lahir dari sikap pesimis dan rendah diri (inferior) sehingga kita merasa orang lain lebih baik, dan kita adalah orang gagal yang tidak bisa menandingi orang lain tersebut. Mengapa sikap inferior ini bisa terbangun dan bagaimana membuat kita menjadi lebih progressif saat melihat rumput tetangga lebih hijau?.
Rivalitas, kompetisi atau persaingan antar manusia, perusahaan atau organisasi adalah hal yang lumrah terjadi. Apalagi kalau kita berada dalam satu tema atau target customer yang sama dengan pihak lain. Perasaan ini akan lebih menyakitkan bila di suatu masa dahulu kita setara dengan pihak tersebut, lalu saat ini kita seperti tertinggal jauh dari mereka.
Munculah perasaan diri bahwa kita ini kalah, gagal, bodoh, terpuruk dan sejenisnya. Lebih parah bila kita malah lebih banyak berapologi dan menyalahkan keadaaan, bukan sibuk memperbaiki diri.
Dalam pergaulan antar ormas, organisasi PUI kita dahulu sempat duduk sejajar dengan NU dan Muhammadiyah saat bersama mendirikan MIAI dan Masyumi. Di masa itu tokoh-tokoh PUI setara dan sejajar dengan yang lain. Namun berpuluh tahun kemudian, kita melihat PUI sepertinya amat jauh tertinggal dari dua saudara kita tadi. Memang ini kondisi yang tak bisa dibantah. Tinggal bagaimana kita menyikapinya saja. Apakah menjadi inferior dan merasa gagal, atau memotivasi diri untuk bergerak maju?.
Ada satu buku menarik yang ditulis Simon Sinek, berjudul Inifinte Game. Buku ini meluruskan pemahaman bahwa hidup adalah perlombaan atau kompetisi dengan orang/pihak lain. Bahwa hidup ini seperti pertandingan olah raga dimana kita berkompetisi yang ukuran menang kalah ditentukan aturan waktu dan ketentuan tertentu. Padahal sesungguhnya kita berlomba dengan diri kita sendiri dengan parameter keberhasilan/kesuksesan yang juga tergantung pada diri kita. Bukan oleh orang lain.
Kalau dalam perlombaan (finite game), kita diikat aturan ukuran kemenangan dan waktu tertentu. Misalnya dalam perlombaan lari atau panjat tebing, kita diminta mencapai garis finis dengan pemenang yang paling cepat tiba di garis finis. Atau sepak bola yang diatur dalam waktu 2×45 menit dengan pemenang yang lebih banyak menciptakan gol. Ukuran kemenangan ditentukan oleh aturan tertentu.
Hidup diri kita atau organisasi kita tidaklah bergerak seperti perlombaan terbatas (finite game) di atas. Kita hidup dalam pola infinite game, pertandingan yang tak punya batas. Seperti dalam QS Al-Baqarah 148: “Bagi setiap umat ada kiblat yang dia menghadap ke arahnya. Maka, berlomba-lombalah kamu dalam berbagai kebajikan”. Batas waktu kita hingga ajal menjelang atau kiamat. Target menang dan sukses kita pun ditentukan oleh diri kita sendiri. Proses mencapainya pun harus dilihat dalam proses dan capaian diri kita, bukan dengan parameter orang lain. Dengan begini, kita punya fikiran yang jernih dan waras tentang bagaimana kita membesarkan diri dan organisasi kita. “Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu”.
Dalam konteks PUI, akuilah kenyataan bahwa kita memang tertinggal dari NU dan Muhammadiyah. Tapi itu tidak dalam semua hal, dan kita pun bukan organisasi gagal. PUI punya banyak gagasan, nilai dan hal-hal positif yang istimewa dan pantas diperjuangkan. Kita berada di PUI karena alasan nilai-nilai tersebut. Maka kita lah yang perlu merancang masa depan, kesuksesan dan aturan main diri kita sehingga apa yang dicita-citakan pendiri PUI bisa kita perjuangkan dan wujudkan.
Sesungguhnya Intisab yang kita baca sehari-hari adalah formula ideologi dan konsep yang paripurna. Intisab adalah buah kecerdasan dan bimbingan Allah SWT pada KH Abdul Halim, KH Ahmad Sanusi dan pemikir-pemikir awal PUI. Intisab menegaskan spirit kejama’ahan PUI dibangun atas landasan Allahu ghoyatuna dan wal iklhasu mabdauna, dan isahul sabiluna. Dari sinilah muncul mahabbah antar sesama jama’ah PUI dan kepada ummat Islam secara luas. Atas dasar Ikhlas dan mahabbah ini, kita bergerak melakukan berbagai perbaikan sebagaimana telah dipandu dalam Islahus Tsamaniyah.
Yang menjadi tantangan kita adalah bagaimana mengoperasionalisasikan nilai dan konsep tersebut dalam gerak terogranisir dan sistematis. Bagaimana kita bisa menghidupkan dan menguatkan setiap struktur kita, dari pusat hingga ranting, dengan keistiqomahan menjalankan taklim-taklim rutin. Bagaimana kita merawat amanah aset-aset PUI dengan profesional dan bermanfaat besar. Bagaimana kita menambah jumlah amal-amal usaha, aset-aset baru, lembaga pendidikan baru agar PUI semakin besar dan berkibar.
Dengan segala keterbatasan yang ada, kitalah yang menentukan tahapan kesuksesan PUI kita. Kita tak perlu iri, inferior atau merasa di bawah organisasi lain dalam menjalankan roda kejama’ahan kita. Cukupkan dengan intisab, Islahus Tsamaniyah, dan fikiran-fikiran besar PUI yang selama ini ada. Selanjutnya kita melakukan ikhtiar maksimal dan sistematis untuk membangun masa depan kebesaran PUI. Kita bergerak bukan karena rivalitas dengan pihak lain, tapi karena Allah SWT, juga takzim dan kepahaman kita pada apa yang diperjuangkan dan dicita-citakan para pendiri PUI.
Semoga Allah SWT membuka lapisan demi lapisan jalan menuju kebesaran dan kesuksesan PUI. Semoga Allah SWT menguatkan langkah PUI untuk semakin optimal melakukan Islah kepada jama’ah PUI, kepada ummat Islam, juga kepada Bangsa dan Negara Indonesia yang kita cintai. Bukan semata menjalankan Islah, tapi mewujudkan Islah dengan cara yang seksama, cerdas, efektif dan impactful. Karena kita adalah da’i yang melakukan perbaikan (Islah) sebelum segala sesuatunya. Wallahu’alam. [][][]