Menjadi Sosok Pendidik Mushlih Muntasib Beradab Mulia (1)

Oleh: KH. Dr. Wido Supraha, M.Si
Sekretaris Majelis Syuro Persatuan Ummat Islam (PUI)
(Disampaikan pada sesi Majelisul Ilmi Untuk Seluruh Sivitas Daarul Uluum PUI Majalengka, Selasa, 05 Agustus 2025)
Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Dzat Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat, dan seluruh umatnya hingga akhir zaman.
Allaahu Ghayatuna, wal Ikhlashu Mabdauna, wal Ishlahu Sabiluna, wal Mahabbatu Syi’aruna. Amma ba’du.
Saudara-saudaraku yang dimuliakan Allah SWT. Mari kita hadirkan hati dan pikiran untuk merenungi kembali hakikat pendidikan Islam dimana kita sedang menjalaninya. Ini bukan sekadar rangkaian kata, melainkan sebuah peta jalan yang membimbing kita untuk meraih kemuliaan, bukan hanya di dunia, melainkan juga di Akhirat.
Hakikat Ilmu: Jalan Menuju Ma’rifatullah
Segala sesuatu yang ada di alam semesta ini bermula dari ilmu. Dan sesungguhnya, ilmu adalah milik Allah SWT sepenuhnya. Dialah Al-‘Alim, Dzat yang Maha Mengetahui segala rahasia yang tersembunyi. Sebagai hamba-Nya, kita hanya diberikan setitik kecil dari lautan ilmu-Nya. Ilmu yang agung ini Allah sampaikan kepada kita melalui dua sumber utama yang tak terpisahkan: Al-Qur’an dan Alam Semesta.
Untuk meraih ilmu dari kedua sumber ini, kita memiliki tugas mulia. Terhadap Kitabullah, kita diperintahkan untuk mentadabburi ayat-ayatnya, meresapi setiap maknanya, dan merenungkan hikmah yang terkandung di dalamnya. Allah berfirman:
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِّيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Ini adalah sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran (Ulul Albab).” (QS. Shad [38] ayat 29)
Adapun terhadap Alam Semesta, kita diperintahkan untuk mentafakkuri ciptaan-Nya. Kita diminta menggunakan akal dan hati untuk merenungkan keagungan penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam. Allah menyebutkan ciri orang-orang yang berakal ini dalam firman-Nya:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِّأُولِي الْأَلْبَابِ. الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (Ulul Albab). (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka’.” (QS. Ali Imran [3] ayat 190-191)
Melalui proses tadabbur dan tafakkur inilah setiap manusia, apa pun profesi dan latar belakangnya, dapat meraih gelar mulia di sisi Allah: Ulul Albab. Pada tingkatan tertingginya, seorang Ulul Albab adalah sosok yang seimbang antara dunia dan Akhirat. Ia adalah pribadi yang tidak hanya memiliki ilmu dan gemar berbagi ilmu, tetapi juga memiliki harta dan senang berbagi harta. Harta yang dimilikinya adalah berkah dari aktivitas ekonomi yang halal, seperti jual-beli, yang tidak melalaikannya dari mengingat Allah.
رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللَّهِ
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah.” (QS. An-Nur [24] ayat 37)
Grup-grup whatsapp internal guru Daarul Uluum PUI Majalengka harus penuh dengan diskusi ilmu, bukan terpaku pada diskusi Jam Pelajaran dan rutinitas yang kering. Budaya ilmu harus terbangun setiap harinya.

Visi Pendidik: Melahirkan Pejuang Rabbani, Bukan Karyawan
Dalam dunia pendidikan, peran seorang pendidik adalah peran yang paling vital. Seorang pendidik sejati bukanlah seorang karyawan yang bekerja untuk mencari upah dan imbalan semata. Ia adalah seorang pejuang yang berjuang di medan pendidikan demi mengejar gelar yang jauh lebih tinggi: Rabbani. Gelar ini adalah aspirasi tertinggi bagi mereka yang mendedikasikan hidupnya untuk mengajarkan Al-Kitab dan mempelajarinya.
وَلَٰكِن كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ
“Akan tetapi (dia berkata): ‘Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya’.” (QS. Ali Imran [3] ayat 79)
Ayat di atas mengingatkan seorang pendidik untuk terus mengajarkan ilmu yang ia miliki, dan terus belajar untuk meningkatkan kompetensi. Ketika seorang guru berhenti belajar, pada saat itu ia tidak lagi layak menjadi seorang guru. Maka seorang guru adalah pembelajar sepanjang hayat (madal hayah).
Semangat perjuangan ini merupakan bentuk ittiba’ atau menapaktilasi jejak langkah Rasulullah SAW. Beliau bersabda: “Aku diutus sebagai mu’alliman (seorang guru) dan muyassiran (sosok yang mempermudah urusan manusia).” Melalui ajarannya, beliau tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menyempurnakan akhlak manusia dan mempermudah jalan mereka menuju Jannah. Inilah hakikat dunia pendidikan Islam: sebuah ladang untuk membiasakan murid tafaqquh fiddin (mendalami agama) dan iqamatuddin (menegakkan agama).
Seorang guru pejuang tidaklah sama dengan guru karyawan. Guru karyawan mungkin bekerja dengan baik, tetapi jarang memberikan kritik atau masukan yang konstruktif karena merasa itu bukan bagian dari tugasnya. Sebaliknya, guru pejuang berani memberikan kritik dan masukan demi perbaikan dan kemaslahatan muridnya, karena ia memandang perjuangan ini sebagai amanah besar dari Allah SWT.
Setiap guru yang memberikan kritiknya harus diapresiasi dengan baik karena ia telah mencurahkan pandangannya tanpa diminta. Bahkan, di Daarul Uluum PUI Majalengka, segala kritikan menjadi salah satu alat ukur guru yang produktif.
Ketika guru berbicara di depan, maka ia mulia. Ketika guru berbicara di belakang, atau bahkan menceritakan aib internal ke sosial media, maka ia telah kehilangan kemuliaan. Ia bahkan telah membocorkan sebuah kapal besar yang telah berlayar.
Dengan ilmu, guru tidak akan pernah menaati sebuah kemaksiatan. Dengan ilmu pula, guru tidak akan pernah mendiamkan sebuah kemungkaran. Semua ini karena ia hanya berharap pertolongan dari Allah SWT kelak di Yaumil Hisab.
Keadilan dan Ilmu: Amanah Ilmu, Tidak Bawa Perasaan
Inilah poin yang sangat penting untuk kita garis bawahi: dunia pendidikan tidak boleh diatur oleh perasaan, tetapi harus dikendalikan oleh ilmu. Seringkali, apa yang kita anggap baik menurut perasaan belum tentu baik menurut syariat dan akal sehat. Seorang pendidik sejati harus mampu menempatkan ilmu dan kebenaran di atas segalanya, bahkan di atas hubungan pribadi dan perasaan.
Prinsip ini dicontohkan secara sempurna oleh Rasulullah SAW sendiri. Beliau tidak pernah membiarkan perasaan pribadi memengaruhi penegakan hukum dan kebenaran. Dalam sebuah hadits masyhur, beliau pernah bersabda:
لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا
“Seandainya Fathimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Bayangkan, seorang ayah yang sangat mencintai putrinya, namun siap mengorbankan perasaan pribadinya demi menegakkan kebenaran. Inilah teladan tertinggi bagi kita semua, bahwa ilmu dan keadilan harus menjadi panglima dalam setiap tindakan, termasuk dalam dunia pendidikan.
Ketika seorang guru berjuang bukan demi harta, ia akan mendapatkan dua keuntungan besar: ia akan mendapatkan ridha Allah dan janji ketinggian derajat di Jannah. Namun, jika ia justru berharap kekayaan dari dunia pendidikan, ia akan merugi dalam banyak hal. Pertama, ia hanya akan mendapatkan harta yang sedikit di dunia ini. Kedua, ia belum tentu mendapatkan ketinggian Jannah, karena perjuangannya telah ternoda oleh nafsu duniawi. Dampak negatifnya, hal ini bisa mendorongnya pada praktik jual-beli yang tidak layak di sekolah, seperti menjual kursi masuk, menjual nilai, menjual buku dan seragam, atau bahkan ijazah. Padahal, aktivitas jual-beli hanya pantas dilakukan di pasar, bukan di lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi tempat suci.

Daarul Uluum PUI Majalengka: Visi Jauh di Atas Visi Negara
Mari kita renungkan sejenak sejarah Daarul Uluum PUI Majalengka, dimulai dari Majelisul Ilmi pada 1911. Organisasi PUI berdiri sejak 1917, dan Daarul Uluum telah hadir sejak 1919, jauh sebelum NKRI berdiri pada 1945. Fakta historis ini menegaskan bahwa Daarul Uluum hadir tidak sebatas mencari akreditasi dari manusia atau pemerintah, melainkan untuk mencari akreditasi tertinggi, yaitu ridha Allah SWT.
Pendidikan Islam tidak mengenal dikotomi. Bagi kita, tidak ada sekat antara sekolah dan madrasah, pesantren dan boarding school. Visi pendidikan Daarul Uluum jauh melampaui narasi pemerintah. Jika pemerintah berorientasi melahirkan a good citizen (warga negara yang baik), Daarul Uluum hadir dengan visi yang lebih tinggi: melahirkan a good man (manusia yang baik). Seorang manusia baik sudah pasti akan menjadi warga negara baik, namun seorang warga negara baik belum tentu cerminan karena ia seorang manusia baik, karena bisa jadi ia hanya patuh pada hukum, tetapi tidak memiliki akhlak dan moralitas yang mulia.
Untuk mewujudkan visi luhur ini, Daarul Uluum mengimplementasikan tiga prinsip utama:
1. Narasi Pendidikan 12 Tahun yang Terintegrasi
Daarul Uluum berkomitmen membangun sistem pendidikan terpadu dari tingkat dasar hingga lulus tingkat menengah atas. Ini menjamin proses pendidikan yang holistik dan berkelanjutan, di mana nilai-nilai, kurikulum, dan budaya tidak terputus di tengah jalan, melainkan menjadi satu kesatuan yang utuh.
2. Narasi Perubahan untuk Masyarakat Menengah ke Atas
Daarul Uluum menyasar masyarakat yang memiliki kesiapan finansial dan visi untuk pendidikan terbaik bagi putra-putri mereka. Langkah ini strategis untuk memastikan mitra pendidikan yang sejalan dengan narasi pendidikan yang berkualitas dan progresif.
3. Narasi Full Day School (06.00-17.00 WIB)
Konsep ini bukan sekadar menambah jam belajar, melainkan sebuah revolusi pendidikan yang menghilangkan dikotomi antara madrasah dan pondok pesantren. Melalui narasi full day school, Daarul Uluum mengintegrasikan pendidikan formal dengan pendidikan pesantren. Lebih dari itu, konsep ini juga mengaktifkan fungsi homeschooling di malam hari. Di rumah, murid-murid belajar membantu orang tua, beristirahat cukup dari pukul 21.00 hingga 04.00, dan yang terpenting, shalat tahajjud berjama’ah bersama ayah yang berperan sebagai ‘kyai’ di rumah. Bagi murid yang berdomisili jauh, disediakan asrama dengan standar dan budaya yang sama dengan di rumah.
Peran Pendidik dan Jumlah Murid Ideal: Sebuah Kajian Mendalam
Kita menyadari bahwa jumlah murid dalam sebuah kelas memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap kualitas pendidikan. Kelas ideal yang berisi 10-15 murid memungkinkan guru menjalankan perannya sebagai pendidik secara optimal. Mengapa demikian? Karena dalam kelompok kecil, guru dapat menjalin interaksi personal yang mendalam, mengenal setiap karakter murid, mengidentifikasi potensi dan masalah mereka, serta memberikan bimbingan adab dan ilmu secara intensif. Hal ini sejalan dengan berbagai penelitian pendidikan yang menunjukkan bahwa rasio guru-murid yang rendah berkorelasi positif dengan hasil belajar murid yang lebih baik, keterlibatan yang lebih tinggi, dan penyesuaian sosial-emosional yang lebih sehat.
Sebaliknya, ketika jumlah murid bertambah menjadi 28-36, peran guru akan bergeser menjadi pengajar yang fokus pada penyampaian materi kurikulum. Interaksi personal menjadi terbatas, evaluasi lebih bersifat kuantitatif, dan bimbingan karakter seringkali terabaikan. Lebih jauh lagi, jika kelas mencapai 50 orang atau lebih, guru hanya akan menjadi tabligher atau penceramah, yang hanya mampu menyampaikan informasi satu arah tanpa adanya kesempatan untuk berinteraksi, berdialog, dan mendidik secara mendalam. Tentu, hal ini jauh dari esensi pendidikan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, yang mendidik para sahabat secara personal.
Pendidikan adalah Ranah Suci, Jauh dari Politik
Pada akhirnya, dunia pendidikan adalah ranah suci yang harus dijaga dari kontaminasi kepentingan sesaat, termasuk politik. Dunia pendidikan adalah tempat untuk menegakkan standar kebaikan, kebenaran, dan kebahagiaan yang bersumber dari wahyu Ilahi, bukan dari kalkulasi politik. Allah SWT berfirman:
وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS. Al-Ma’idah [5] ayat 49)
Ayat ini menegaskan prinsip fundamental bahwa segala keputusan dan kebijakan, termasuk dalam pendidikan, harus didasarkan pada apa yang telah Allah turunkan, bukan pada hawa nafsu atau kepentingan kelompok.
Penutup: Tekad untuk Berjuang dan Bertawakal
Saudara-saudaraku sekalian, perjalanan kita di dunia pendidikan adalah sebuah ikhtiar tiada henti. Kita bertekad untuk terus melakukan perbaikan (islah) di tengah segala keterbatasan. Inilah esensi dari firman Allah SWT yang diucapkan oleh Nabi Syu’aib:
إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih sanggup.” (QS. Hud [11] ayat 88)
Namun, kita tidak boleh berputus asa. Setelah segala daya dan upaya kita kerahkan, setelah tekad kita bulat, maka serahkanlah semuanya kepada Allah. Karena hanya dengan tawakal, hati kita akan tenang dan jiwa kita akan tentram.
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.” (QS. Ali Imran [3] ayat 159)
Semoga segala perjuangan kita di Daarul Uluum, demi mendidik generasi Rabbani, senantiasa mendapat petunjuk, pertolongan, dan ridha dari Allah SWT.
Wallahu a’lam bish-shawab.



