Merajut Kembali Warisan PUI: Menghidupkan Kesederhanaan yang Berakar
Serial Kenangan PUI Zaman Dahulu
Oleh: Ust H Nurhali Ahsan
Ketua DPW PUI Jawa Barat
Ketika saya masih anak-anak, pada sekitar tahun 1966-1974 (kelas 1 SMP). seingat saya, program-program PUI di kampung dan desa begitu sederhana namun kuat membekas dalam kehidupan sehari-hari. Program-program ini, yang kini mungkin dianggap remeh, dulu menjadi pembiasaan yang mendarah daging di masyarakat. Salah satu contohnya adalah gerakan mengaji di masjid dan musholla antara waktu Maghrib hingga Isya, serta shalat Subuh berjamaah yang dilakukan dengan penuh kekhusyukan.
Di masa itu, anak-anak seperti saya di desa-desa yang ada PUI-nya sudah bersiap-siap setiap menjelang Maghrib. Kami mandi, berpakaian rapi, memakai sarung dan kopiah, lalu berangkat ke masjid untuk shalat Maghrib berjamaah. Setelah itu, kami mengaji Juz ‘Amma di bawah bimbingan ustadz atau ustadzah PUI hingga adzan Isya berkumandang. Jika waktu pengajian belum cukup, kami melanjutkan setelah shalat Isya selama sekitar 10 hingga 15 menit, baru kemudian pulang ke rumah masing-masing.
Begitu pula setiap menjelang Subuh, orang tua kami selalu membangunkan kami untuk bersiap-siap pergi ke masjid. Kami berangkat shalat Subuh berjamaah, dan seringkali ada kultum singkat dari ustadz PUI setelah shalat. Kehidupan beragama kami, saat itu, sangat dipengaruhi oleh bimbingan para ustadz PUI yang hadir di kampung-kampung. Dari kebiasaan-kebiasaan harian seperti inilah, lambat laun PUI berhasil membangun surau, madrasah diniyah, dan kemudian berkembang menjadi MI dan MTs yang membawa branding PUI.
Saya juga masih ingat ketika orang tua menyuruh saya mengumpulkan “beras perelek” dari rumah-rumah warga untuk disetorkan kepada bendahara PUI. Selain itu, ada juga tugas mengambil dan menyetorkan “uang iuran PUI” dari warga kepada Ketua PUI tingkat kecamatan, almarhum Bapak Ustadz Nur Jaya. Allahummagfirlahu.
Kupikir, jika PUI mau tetap eksis dan berakar, hal-hal seperti di atas harus dihidupkan kembali. Di kampung dan desa, tidak perlu program yang muluk-muluk, tapi cukup hal-hal sederhana yang mengena dan konsisten. Dengan cara ini, insya Allah, para pendiri PUI akan mendapatkan pahala jariyah dari kiprah yang kita lakukan, terlebih lagi untuk kita sendiri.
Jika program ini berjalan dan berkembang kembali secara massif, terutama di kampung-kampung, insya Allah, kita bisa berhasil meminimalisir efek negatif dari media televisi dan media sosial yang selama ini telah banyak menghantam kita.
Gagasan ini menyadarkan kita bahwa untuk menjaga eksistensi dan relevansi PUI, kita tidak perlu program-program yang besar atau ambisius. Justru dengan menjalankan kembali program-program sederhana yang penuh makna dan konsisten, kita bisa melanjutkan warisan para pendiri PUI, yang bukan hanya membawa manfaat bagi mereka yang sudah tiada, tetapi juga memperkuat fondasi generasi mendatang.