Politik Hukum UU ITE
DALAM suasana pandemi dan banyaknya bencana, publik diramaikan dengan gugatan atas UU ITE. Sebagian masyarakat menilai, regulasi ini syarat ancaman demokrasi: memasung berpendapat atau kritik di muka umum atau media sosial dan betapa mudahnya orang terjerat hukum. Di sisi lain, regulasi tersebut melindungi warga negara dari pelanggaran asusila, pencemaran nama baik, penghinaan, kekerasan atau pemerasan, dan perjudian di media sosial.
Revolusi Industry 4.0 dan sekarang memasuki revolusi 5.0, betapa cepatnya kemajuan teknologi yang disertai pergeseran budaya masyarakat. Etika dan moral yang menjadi pilar hubungan antar sesama semakin menurun di tengah derasnya informasi dan rendahnya literasi. Kian pudarnya budaya tabayun (klarifikasi), husnudzan (berprasangka baik) dan qul khairon au liyasmut (berkata baik atau diam) sebagai etika dalam menyerap berbagai berita. Terlebih berita politik.
Politik UU ITE
Mulai 2000-2005, kecepatan teknologi dan pemuatan data tanpa piranti keras menjadi tantangan tersendiri. Transaksi elektronik mulai diminati banyak orang. Tanpa terkecuali, media sosial sebagai ruang baru masyarakat melek teknologi mendapat perhatian dari para aktivis politik. Dari topik pertemanan seputar kehidupan domestik melebar ke bahasan wilayah publik. Mudahnya akses, media sosial jadi arena kritik sosial, politik dan hukum. Muncullah perdebatan pro kontra.
Sejak era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, siber dan dunia maya yang belum ada pengaturannya direspon. Era Presiden Megawati (2003), Unpad dan ITB menerbitkan RUU Tindak Pidana Teknologi Informasi sementara UI mengeluarkan RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik. Selanjutnya disahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 21 April 2008 sebagai UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Di jaman Presiden Jokowi diperbarui menjadi UU No. 19/2016.
Setelah banyak makan korban, regulasi tersebut menuai banyak kritik. Kritikan atas penerapannya dinilai banyak memuat pasal karet dan dituduh sebagai ajang kriminalisasi. Terutama kelompok-kelompok yang secara politik bersebrangan dengan kekuasaan. Para kritikus merasa UU ITE adalah ancaman berdemokrasi dan rawan digunakan untuk membungkam. Bukan menciptakan tatanan demokrasi yang berkeadilan dan menegakkan HAM, justeru sebaliknya menurunkan kualitas demokrasi. Banyak orang takut bicara sekalipun benar.
Dari Konfigurasi Politik Ke Perlindungan
Mencermati gejolak tersebut. Kita diingatkan oleh temuan kajian Mahfud MD jauh sebelum reformasi, bahwa produk hukum lahir dari konfigurasi politik beserta karakter produk hukumnya (Mahfud MD, 1996). karenanya, secara politik—bisa diduga mengandung tujuan perlindungan simbol negara (kepala negara), pejabat publik yang kerap jadi sasaran ujaran kebencian dan pencermaran nama baik. Lalu kemudian, oleh pendukung kekuasaan menjadi sarana perlawanan sekaligus membungkam.
Dari muatannya, regulasi ITE terutama pada bagian kedua secara khusus mengatur tindak pidana teknologi informasi. Sementara bagian satu terkandung ilegal konten, diantaranya informasi SARA, ujaran kebencian, informasi bohong (hoaks), penipuan online, pornografi, judi online, dan pencemaran nama baik. Di sub bagian dua mengatur akses ilegal diantaranya hacking. Lalu sub bagian tiga ada illegal interception, yakni bentuk penyadapan serta sub bagian empat terkait data interference, contoh ada upaya gangguan atau perusakan sistem yang ilegal.
Melihat UU ITE ibarat buah simalakama. Ditegakkan sangat riskan, terutama dalam kebebasan bicara sebagai bagian dari HAM. Dan atau mengemukakan pendapat di muka umum seperti di medsos dari sebab adanya penyumbatan komunikasi antara rakyat dan negara. Padahal, boleh jadi “kritik†pedas itu ibarat obat manjur untuk mengobati agar sembuh total. Yang dipahami oleh pihak lain sebagai ujaran kebencian atau SARA.
Di sisi lain, ruang media sosial tanpa pengaturan yang jelas banyak digunakan sebagai media bebas berpendapat tanpa bertanggung jawab. Ujaran kebencian, caci maki, penghinaan hingga kepada serangan SARA sering menimbulkan ketegangan. Kecepatan teknologi informasi tanpa tabayun, kerap menjadi saluran yang membahayakan terutama menyangkut informasi layanan publik, pandangan ajaran agama atau keyakinan. Oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, celah ini dimanfaatkan untuk tujuan memancing terjadinya gejolak konflik.
Pasal yang dimaksud diantaranya:
Pasal 27 ayat (3), “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.â€
Pasal 28 ayat (2): “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Menteri Komunikasi dan Informatika era Presiden Jokowi jili I, Rudiantara (5/9/2015) bersikukuh, bahwa UU ITE terutama Pasal 27 ayat (3) harus tetap dipertahankan dengan UU ITE tidak mungkin dihapus. Sebab menurutnya, pelanggar hukum harus diberi sanksi yang membuat efek jera. Selain itu menurutnya, pasal ini melindungi transaksi elektronik. Bukan dari pasalnya yang keliru, melainkan penerapannya yang memakan banyak korban.
Guna mengakomodasi keresahan dan masukan berbagai pihak, pihak Kominfo bersama DPR merevisi dan mensahkan UU ITE pada 27 Oktober 2016 yang selanjutnya Presiden Jokowi menandatangani pada 25 November 2016. Selanjutnya, agar tidak terjadi multitafsir di masyarakat dan kalangan aparat penegak hukum, Kominfo merilis 7 poin revisi tersebut:
1. Menghindari multitafsir ketentuan larangan mendistribusikan, mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik bermuatan penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik pada ketentuan Pasal 27 Ayat (3), dilakukan 3 perubahan sebagai berikut:
a. Menambahkan penjelasan atas istilah “mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronikâ€;
b. Menegaskan bahwa ketentuan tersebut adalah delik aduan bukan delik umum; dan
c. Menegaskan bahwa unsur pidana pada ketentuan tersebut mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP.Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) disampaikan kepada DPR RI sebelum disahkan. UU ITE diundangkan pada 21 April 2008 dan menjadi cyber law pertama di Indonesia.
2. Menurunkan ancaman pidana pada 2 ketentuan sebagai berikut:
a. Ancaman pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik diturunkan dari pidana penjara paling lama 6 tahun menjadi paling lama 4 dan/atau denda dari paling banyak Rp 1 miliar menjadi paling banyak Rp 750 juta.
b. Ancaman pidana pengiriman informasi elektronik berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dari pidana penjara paling lama 12 tahun menjadi paling lama 4 tahun dan/atau denda dari paling banyak Rp 2 miliar menjadi paling banyak Rp 750 juta.
3. Melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap 2 ketentuan sebagai berikut:
a. Mengubah ketentuan Pasal 31 ayat (4) yang semula mengamanatkan pengaturan tata cara intersepsi atau penyadapan dalam Peraturan Pemerintah menjadi dalam Undang Undang;
b. Menambahkan penjelasan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) mengenai keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah.
4. Melakukan sinkronisasi ketentuan hukum acara pada Pasal 43 ayat (5) dan ayat (6) dengan ketentuan hukum acara pada KUHAP, sebagai berikut:
a. Penggeledahan dan/atau penyitaan yang semula harus mendapatkan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP;
b. Penangkapan penahanan yang semula harus meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu 1×24 jam, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.
5. Memperkuat peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada ketentuan Pasal 43 ayat (5):
a. Kewenangan membatasi atau memutuskan akses terkait dengan tindak pidana teknologi informasi;
b. Kewenangan meminta informasi dari Penyelenggara Sistem Elektronik terkait tindak pidana teknologi informasi.
6. Menambahkan ketentuan mengenai “right to be forgotten†atau “hak untuk dilupakan†pada ketentuan Pasal 26, sebagai berikut:
a. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan;
b. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan Informasi Elektronik yang sudah tidak relevan.
7. Memperkuat peran Pemerintah dalam memberikan perlindungan dari segala jenis gangguan akibat penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik dengan menyisipkan kewenangan tambahan pada ketentuan Pasal 40:
a. Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan Informas Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang.
b. Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.
Korban-korban jeratan UU ITE, diantaranya Saiful Mahdi, Baiq Nuril, Diananta Putra, Dandhy Dwi Laksono, Bintang Emon, Saidah Saleh Syamlan, Ahmad Dhani, Maher at-Thuwailibi, Prita Mulyasari, Singky Suadji dan masih banyk lagi. Desakan revisi UU ITE, kini (2021) mencuat kembali. Publik mengkhawatirkan UU ITE ini menjadi ancaman serius bagi masa depan demokrasi Indonesia. Terlebih setelah The Economist Intelligence Unit (EIU) merilis Laporan Indeks Demokrasi 2020 Indonesia dari skor 6.48 turun menjadi 6.3 pada peringkat ke-64 dunia. Jika tidak segera diantisipasi akan menjadi preseden buruk kemajuan demokrasi.
Di tengah kekhawatiran dan polemik tersebut, pengacara kondang Hotman Paris dalam acara ngopi bareng Mahfud MD mengusulkan, UU ITE mesti dirubah sebagai undang-undang perdata. Bahkan Hotman, meminta pemerintah serta DPR untuk menghapus Pasal 27 ayat 3 yang banyak menimbulkan keresahan sekaligus kontroversi tersebut. Pencemaran nama baik menurutnya adalah murni unsur perdata, bukan pidana sebagaimana yang diterapkan di negara Inggris.
Mengakhiri tulisan ini. Beranikah Presiden Joko Widodo melakukan revisi yang berkeadilan dalam UU ITE hingga menghapuskannya. Atau mengakomodasi saran Hotman Paris dengan merubahnya ke hukum perdata. Tentu saja, penulis berharap UU ITE ini harus menjadi payung keadilan yang berkeadaban. Mencerminkan demokrasi Indonesia yang sesungguhnya. Siapa pun bisa bersuara tanpa takut, juga publik mengungkapkan pendapat secara bertanggung jawab. (**)