Tak Cukup Tahajud

Oleh Ust. Ahmadie Thaha
Ketua Lembaga Budaya dan Literasi PUI
Ù…ÙØَمَّدٌ رَسÙول٠اللَّه٠وَالَّذÙينَ مَعَه٠أَشÙدَّاء٠عَلَى الْكÙÙَّار٠رÙØَمَاء٠بَيْنَهÙمْ
“Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya bersikap tegas terhadap orang-orang kafir, tapi berkasih sayang terhadap sesama mereka.” (Qs Al-Fath: 29).
Alkisah Abu bin Hasyim terkenal sebagai ahli ibadah. Dia kuat sekali melakukan shalat tahajud. Selama bertahun-tahun, dia selalu berjaga tengah malam.
Pada suatu malam ketika hendak mengambil wudhu untuk tahajud, Abu dikejutkan oleh kehadiran sosok makhluk yang duduk di tepi telaga tempatnya wudhu.
Kaget dengan kehadiran sosok itu di tengah malam yang dingin, Abu bertanya, “Wahai hamba Allah, siapakah engkau?â€

Sambil tersenyum, sosok itu menjawab, “Aku malaikat utusan Allah.”
Abu makin terkejut, tapi sekaligus bangga karena telah didatangi seorang malaikat mulia.
Abu lalu bertanya, “Apa yang sedang kamu lakukan di sini?â€
“Aku disuruh mencari hamba pencinta Allah,†jawab malaikat.
Melihat malaikat itu memegang sebuah buku tebal, Abu pun bertanya, “Bolehkah aku tahu, buku apa yang kau bawa?â€
Malaikat menjawab, “Oh, ini buku catatan yang memuat kumpulan nama hamba-hamba pencinta Allah.â€
Mendengar jawaban demikian, Abu bin Hasyim berharap dalam hati moga-moga namanya tertulis di situ.
Dugaan demikian beralasan. Abu rajin beribadah, tanpa putus mengerjakan shalat tahajud setiap malam, berdo’a dan juga bermunajat kepada Allah SWT di sepertiga malam, setiap hari.

Namun, untuk memastikan namanya tercantum di buku tadi, dia pun bertanya, “Bolehkah aku tahu, adakah namaku di situ?â€
“Baik, sebentar kulihat,†kata malaikat sambil membuka kitab besarnya. Dan, ternyata malaikat itu tak menemukan nama Abu bin Hasyim di dalamnya.
Tidak percaya, Abu meminta malaikat mencari sekali lagi.
“Betul, namamu tidak ada di buku ini!†kata malaikat.
Abu bin Hasyim pun gementar dan jatuh tersungkur di depan malaikat. Dia menangis sejadi-jadinya.
“Rugi sekali diriku,” ratapnya, “selalu bangun setiap malam mendirikan shalat tahajud dan bermunajat, tapi namaku tak termasuk golongan hamba pencinta Allah.”
Melihat itu, malaikat berkata, “Wahai Abu bin Hasyim! Bukan aku tak tahu engkau bangun setiap malam ketika yang lain tidur. Engkau memang mengambil air wudhu dan menahan kedinginan ketika orang lain terlelap dalam kehangatan buaian malam. Tapi tanganku dilarang Allah menulis namamu.â€
“Lantas, apa penyebabnya?†tanya Abu penasaran.
“Engkau memang bermunajat kepada Allah, tapi engkau pamerkan ibadahmu ke mana-mana dengan rasa bangga,” malaikat menjelaskan.
“Kamu asyik beribadah memikirkan diri sendiri, sedangkan di kanan kirimu ada orang sakit, lapar, atau sedang sedih, tidak engkau tengok, tidak kau temui.”
“Mereka itu mungkin ibumu, mungkin kakakmu, adikmu, mungkin sahabatmu, malah mungkin juga cuma saudara seagama denganmu, atau mungkin mereka cuma sekadar tetanggamu.”
“Tidak engkau pedulikan mereka, kenapa?”
“Bagaimana mungkin engkau dapat menjadi hamba pencinta Allah kalau engkau sendiri tidak pernah mencintai hamba-hamba yang diciptakan Allah?†tutur malaikat itu.
Mendengar penjelasan malaikat, Abu bin Hasyim merasa seperti​ disambar petir di siang hari.
Dia baru sadar, ibadah tidak cukup hanya membina hubungan dengan Allah semata (hablum minAllah), tapi juga dengan sesama manusia (hablum minannas) serta dengan alam semesta.