Oleh: KH. Dr. Wido Supraha, M.Si.
Wakil Ketua Umum DPP PUI, Direktur Institut Adab Insan Mulia
Ilmu adalah milik Allah, datang dari Allah, bisa diraih dengan belajar (ta’allum) dalam ketakwaan. Ilmu turun dengan keridhaan-Nya, dan untuk mengejarnya, orang-orang shalih dahulu meneladankan untuk mendahulukan adab sebelum ilmu. Dengan mendahulukan adab, akan mengundang turunnya banyak ilmu dan penghayatan yang mendalam atas ilmu yang diperoleh. Dengan demikian, tidak seharusnya dikembangkan dikotomi antara ilmu agama dan ilmu dunia karena semua ilmu harus beragama dan ilmu agama memang ilmu yang ditegakkan di dunia, meliputi 3 (tiga) besar rumpun: ilmu syari’at, ilmu sosial dan ilmu alam.
Masih ingatkah kita dengan keilmuan yang dimiliki para Malaikat yang tidak mengetahui apapun kecuali setelah Allah berikan kepada mereka ilmu. Di dalam Surat Al-Baqarah [2] ayat 32, Allah SWT berfirman:
قَالُوْا سُبْحٰنَكَ لَا عِلْمَ لَنَآ اِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۗاِنَّكَ اَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ
Mereka menjawab, “Maha Suci Engkau. Tidak ada pengetahuan bagi kami, selain yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Allah SWT menegaskan bahwa diri-Nya memiliki sifat Al-‘Alim di lebih 150 tempat di dalam Al-Qur’an. Otoritas diri-Nya selaku pemegang semua kunci ilmu inilah yang seharusnya tidak membuat manusia hari ini berpaling dari-Nya. Perhatikan firman Allah SWT dalam Surat Al-An’am [6] ayat 59:
وَعِنْدَهٗ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَآ اِلَّا هُوَۗ وَيَعْلَمُ مَا فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِۗ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَّرَقَةٍ اِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِيْ ظُلُمٰتِ الْاَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَّلَا يَابِسٍ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ
Kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya; tidak ada yang mengetahuinya selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan (tertulis) dalam kitab yang nyata (Lauhulmahfuz).
Tanpa keridhaan atau kehendak Allah SWT, manusia pencari ilmu hanya mendapatkan bagian yang sedikit dan berada dalam kebingungan. Dalam hal ini, Rasulullah SAW bersabda sebagaimana riwayat al-Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037, dari Mu’awiyah r.a.:
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.”
Semua ilmu bermuara kepada Allah SWT sebagai sumber ilmu. Allah SWT Yang Maha Menciptakan Alam Semesta, maka Dia pula yang menyiapkan ilmu untuk ditegakkan oleh makhluknya yang berakal (Ulul Albab). Allah SWT turunkan sekian porsi kecil dari Ilmu-Nya ke dunia ini, melalui 2 (dua) jalur, yaitu: 1) Alam Semesta (Ayat-ayat Kauniyah); dan 2) Kitab Suci (Ayat-ayat Qauliyah).
Pertama, Allah SWT telah Menciptakan alam semesta sebagai salah satu sumber ilmu. Sumber ini didekati melalui proses berpikir (tafakkur) berbasis keyakinan bahwa “Tidak mungkin, Allah Menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Maha Suci Dia dari Menciptakan sesuatu tanpa tujuan. Hanya akal manusia saja yang masih sangat terbatas dalam menguak tabir ilmu tersebut.” Muslim dibiasakan dalam hal ini untuk terus memikirkan ciptaan Allah SWT dalam kondisi apapun, baik berdiri, duduk, maupun berbaring, dan tidak pernah diam mengosongkan pikirannya. Allah SWT berfirman dalam surat Ali ‘Imran [3] ayat 190-191:
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ
الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau. Lindungilah kami dari azab neraka.
Kedua, Allah SWT, menurunkan Kitab Suci kepada para Rasul-Nya untuk dijadikan panduan bagi umat dalam berpikir dan bergerak (beramal). Menjadi standar pembeda (al-furqan) dalam kebenaran (al-haqq), kebaikan (al-birr) dan kebahagiaan (as-sa’adah) dalam cara berpikir. Untuk itu, Kitab Suci, termasuk tentunya yang terakhir dan yang sempurna, Al-Qur’an al-Karim, didekati dengan proses tadabbur. Allah SWT berfirman dalam Surat Shad [38] ayat 29:
كِتٰبٌ اَنْزَلْنٰهُ اِلَيْكَ مُبٰرَكٌ لِّيَدَّبَّرُوْٓا اٰيٰتِهٖ وَلِيَتَذَكَّرَ اُولُوا الْاَلْبَابِ
(Al-Qur’an ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu (Nabi Muhammad) yang penuh berkah supaya mereka menghayati ayat-ayatnya dan orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.
Sejak diturunkannya Nabi Adam a.s. ke dunia, beliau telah dibekali sumber hidayah dan bimbingan petunjuk agar manusia tidak berakhir dengan penyesalan atau kesedihan. Perhatikan firman-Nya dalam surat Al-Baqarah [2] ayat 38:
قُلْنَا اهْبِطُوْا مِنْهَا جَمِيْعًا ۚ فَاِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِّنِّيْ هُدًى فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ
Kami berfirman, “Turunlah kamu semua dari Surga! Lalu, jika benar-benar datang petunjuk-Ku kepadamu, siapa saja yang mengikuti petunjuk-Ku tidak ada rasa takut yang menimpa mereka dan mereka pun tidak bersedih hati.”
Jika mentafakkuri alam semesta akan menjadikan pengenalan yang mendalam kepada wujudnya Allah, maka dengan mentadabburi Al-Qur’an, akan mendapatkan ketetapan nama, nilai, hakikat, noumena dan tujuan yang komprehensif. Dengan demikian, Al-Qur’an hadir untuk menguatkan pembacaan manusia pada alam semesta. Aktifitas tafakkur dan tadabbur yang saling menguatkan inilah yang akan melahirkan pribadi yang tidak mengalami cara berpikir dikotomi antara agama dan sains.
Sangat jelas terlihat bahwa agama adalah panduan bagi kehidupan di dunia, termasuk semua aktifitas di dunia, termasuk penelitian dan pengembangan ilmu tidak akan bisa lepas dari nilai-nilai agama. Begitu sebuah aktifitas dunia terlepas dari nilai agama, maka pada saat itu dia akan menggunakan nilai-nilai selain agama, dan sangat mungkin nilai yang digunakan itu adalah nilai liberal, sekular atau isme lainnya yang pernah dikembangkan oleh manusia sepanjang sejarah peradaban. Tidak ada yang bebas nilai (value-free) di dunia ini, melainkan terikat dengan nilai (value-laden).
Cara pandang yang memadukan realitas yang ghaib dan syahadah tentunya akan melahirkan pribadi yang holistik, tidak parsial. Pengembangannya ke depan adalah hilangnya sekat generalis-spesialis atau expert-specialist, subyektif-obyektif, atau dunia-Akhirat. Bersama coba dihilangkan jurang yang terlalu lebar antara ulama dan saintis, sehingga bergerak kepada ‘ulama yang saintis, saintis yang ulama’, dan pada akhirnya bergerak pada apa yang sejatinya bisa diraih oleh orang-orang yang dikehendaki Allah SWT, yakni sosok yang expert di bidang ilmu syari’at, ilmu sosial dan ilmu alam. Sosok yang bisa membagi kenikmatan dalam mengamalkan ilmu fardhu ‘ain, dan memiliki kecintaan pada beberapa cabang ilmu fardhu kifayah.
Nabi Adam a.s. sebagai khalifah pertama di muka bumi, sebagaimana tujuan dasar penciptaan manusia, pun dibekali dengan ragam cabang ilmu yang holistik, bukan parsial. Demikianlah generasi hari ini dididik menjadi generasi pengganti (khalifah), yang menguasai ragam cabang ilmu. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Baqarah [2] ayat 31:
وَعَلَّمَ اٰدَمَ الْاَسْمَاۤءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلٰۤىِٕكَةِ فَقَالَ اَنْۢبِـُٔوْنِيْ بِاَسْمَاۤءِ هٰٓؤُلَاۤءِ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ
Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya, kemudian Dia memperlihatkannya kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama-nama (benda) ini jika kamu benar!”
Seringkali Al-Qur’an mengajak pembaca untuk menikmati fenomena alam semesta, untuk kemudian diingatkan untuk tunduk kepada Yang Menciptakan alam semesta tersebut. Standar ketundukan atau ketakutan itulah standarnya para ulama. Perhatikan firman Allah SWT berfirman dalam Surat Fathir [35] ayat 28:
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَاۤبِّ وَالْاَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ اَلْوَانُهٗ كَذٰلِكَۗ اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ
(Demikian pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa, dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama.635) Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
Ilmu yang benar adalah ilmu yang mengandung ketundukan kepada Allah SWT dan diajarkan dengan metode untuk semakin mendekatkan diri kepada-Nya. Menyadarkan perasaan keberhutangan manusia kepada Allah SWT dan kebutuhan yang besar kepada Allah SWT, termasuk pada ilmu-Nya. Meyakini bahwa hanya Dia yang Maha Mengetahui segala sesuatu, dan bahwa manusia tidaklah mengetahui kecuali apa yang diridhai-Nya. Oleh karenanya, jangan sampai pengetahuan manusia yang terbatas, menjadikannya lalai dari mengingat Allah dan menunaikan amanah Ilahiyah, karena hal tersebut akan membawa manusia kepada kesombongan. Wal ‘iyadzu billahi.
—————————————–
Berlanjut pada tulisan berikutnya.
Ditulis oleh: KH. Dr. Wido Supraha, M.Si. (Wakil Ketua Umum DPP PUI, Direktur Institut Adab Insan Mulia | Kepala Pusat Studi Islamisasi Sains Sekolah Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor)