OpiniPendidikan

Tantangan Penyatuan Kalender Hijriah dan Keakuratan Arah Kiblat

Catatan Musyawarah Ahli Hisab Rukyat Indonesia

Oleh: Tubagus Hadi Sutiksna

Lajnah Hisab Rukyat DSP PUI, Anggota Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama RI

Temu ahli hisab rukyat yang berlangsung di Tangerang pada 30-31 Oktober 2024 adalah kesempatan untuk mengevaluasi upaya penyatuan Kalender Hijriah Global dan isu akurasi arah kiblat dalam ibadah. Meskipun bertahun-tahun diupayakan, pertemuan ini kembali menggarisbawahi realitas bahwa penyatuan Kalender Hijriah tetap sulit dicapai, sedangkan penentuan arah kiblat membutuhkan pemahaman yang lebih mendalam.

Mengapa Penyatuan Kalender Hijriah Global Tidak Realistis?

Keputusan pemerintah untuk menghentikan program penyatuan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) adalah langkah yang realistis. Sejarah mencatat bahwa selama 1400 tahun terakhir, upaya penyatuan kalender ini selalu terbentur pada berbagai faktor, mulai dari perbedaan metode hingga pemahaman dalil-dalil agama. Terbukti, perbedaan penentuan awal bulan, terutama untuk Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, sering kali menjadi perdebatan di tengah masyarakat. Namun, kedewasaan umat dalam menyikapi perbedaan tersebut juga patut diapresiasi.

Para ahli dalam diskusi ini, seperti Prof. Thomas Djamaluddin, menegaskan bahwa perbedaan kalender tak perlu menjadi masalah yang meresahkan. Ibadah dapat berjalan dengan lancar meski menggunakan kalender yang berbeda, selama ada rasa saling menghargai. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Prof. Izzuddin yang menekankan bahwa keabsahan ibadah tidak tergantung pada penyatuan kalender, melainkan pada pemenuhan syarat-syarat ibadah itu sendiri yang didukung sains.

Arah Kiblat: Tantangan Akurasi dan Ketepatan

Penentuan arah kiblat adalah isu yang memerlukan akurasi tinggi, namun juga fleksibilitas pemahaman. Dalam pengukuran arah kiblat, toleransi sebenarnya tidak dibenarkan secara matematis. Setiap hasil perhitungan arah kiblat haruslah tepat, sesuai dengan alat ukur yang digunakan. Akan tetapi, fakta di lapangan sering menunjukkan adanya perbedaan kecil yang disebabkan oleh keterbatasan presisi alat ukur atau faktor penyelarasan posisi jamaah yang saling menyesuaikan shaf.

Sebagai anggota tim Hisab Rukyat Kementerian Agama, saya berpendapat bahwa toleransi dalam hal arah kiblat seharusnya tidak diperlukan pada tahap perhitungan awal. Meskipun demikian, kita perlu mengakui bahwa ada tantangan dari faktor teknis, seperti variasi antara alat ukur, serta perbedaan data global. Hasil pengukuran yang didapatkan harus diperlakukan apa adanya tanpa penyesuaian tambahan.

Kasubdit Hisab Rukyat Kemenag RI menyebutkan bahwa kriteria Imkan Rukyat yang digunakan untuk melihat hilal bersifat dinamis dan bisa ditinjau ulang. Hal ini memberi sinyal bahwa pemerintah membuka ruang bagi perkembangan ilmu pengetahuan untuk mendukung akurasi ibadah, termasuk dalam penentuan arah kiblat.

Refleksi: Membangun Toleransi dan Fleksibilitas dalam Keberagaman

Sebagai praktisi hisab dan rukyat, saya melihat diskusi ini sebagai ajang untuk memahami lebih dalam pentingnya keakuratan dalam ibadah tanpa mengabaikan fleksibilitas yang diperlukan. Penyatuan kalender Hijriah mungkin tidak bisa dicapai, namun kebersamaan umat dalam keberagaman tetap harus dijaga. Hal yang terpenting adalah mengedepankan toleransi dan menghargai perbedaan, baik dalam penentuan awal bulan maupun arah kiblat.

Harapan saya, pertemuan-pertemuan semacam ini bisa terus berlangsung untuk menyumbang masukan kepada pemerintah demi peningkatan kualitas kebijakan yang sesuai dengan tuntunan agama dan perkembangan ilmu pengetahuan. Masyarakat yang dewasa akan mampu menjalankan ibadahnya dengan khusyuk, tanpa terbebani oleh perbedaan yang tak seharusnya merisaukan.

Editor: A. Gabriel

Related Articles

Back to top button