Terimakasih Ibu Hebatku : Pengasuh yang Mendidik, Pendidik yang Mengasuh
Dalam rangka peringatan Hari Ibu 22 Desember 2025

Oleh: Rita Juniarty
Ketua Lembaga Ketahanan Keluarga
DPP Wanita Persatuan Ummat Islam
Pengantar
Ketahanan sebuah bangsa tidak pernah lahir dari ruang hampa. Ia bertumbuh dari keluarga-keluarga yang kokoh secara nilai, utuh secara relasi, dan sehat dalam pola pengasuhan. Dalam keluarga, peran ibu menemukan maknanya yang paling strategis. Ibu bukan sekadar pengasuh, melainkan pendidik utama; bukan hanya pengelola rumah tangga, tetapi penjaga arah peradaban.
Peringatan Hari Ibu seharusnya tidak berhenti pada simbol dan seremoni. Ia menjadi momentum reflektif untuk menegaskan kembali bahwa pengasuhan adalah kerja ideologis, dan pendidikan keluarga adalah fondasi perbaikan umat. Dalam perspektif Wanita Persatuan Ummat Islam (PUI), kerja pengasuhan dan pendidikan keluarga terhubung langsung dengan agenda besar Ishlahuts Tsamāniyah, delapan perbaikan menyeluruh kehidupan umat yang menjadi pijakan Gerakan Ishlah PUI.
Ketahanan Keluarga sebagai Fondasi Ishlah
Lembaga Ketahanan Keluarga (LKK) Wanita PUI memandang keluarga sebagai titik awal sekaligus titik penentu keberhasilan ishlah umat. Ketahanan keluarga bukan konsep normatif belaka, tetapi kerangka operasional yang mencakup enam dimensi utama: spiritual, legalitas dan keutuhan keluarga, fisik, ekonomi, sosial-psikologis, dan sosial-budaya.
Enam dimensi ini tidak berdiri sendiri. Seluruhnya berkelindan erat dengan Ishlahuts Tsamāniyah, sehingga peran ibu dalam keluarga sejatinya adalah peran ishlah konkret yang bekerja dari hulu kehidupan umat.
Ketahanan Spiritual (Ishlah al-‘Aqidah wa al-‘Ibadah)
Ketahanan keluarga selalu bermula dari keteguhan iman. Dalam kerangka Ishlah al-‘Aqidah wa al-‘Ibadah, ibu yang bermitra dengan ayah berperan menanamkan nilai tauhid, kesadaran ibadah, dan adab keseharian yang hidup dan membumi. Keteladanan shalat, kedekatan dengan Al-Qur’an, serta pembiasaan doa menghadirkan suasana ruhani yang mendidik.
Rumah menjadi madrasah pertama. Dari sanalah anak mengenal makna iman, tanggung jawab moral, dan orientasi hidup yang benar. Ketahanan spiritual keluarga inilah yang menjadi benteng awal menghadapi krisis nilai dan disorientasi moral zaman.
Ketahanan Legalitas dan Keutuhan Keluarga (Ishlahul ‘Ailah)
Keutuhan keluarga adalah syarat utama ketahanan sosial. Dalam Ishlahul ‘Ailah, ibu berperan menjaga keharmonisan relasi, memperkuat komunikasi, dan menumbuhkan rasa aman dalam keluarga. Ia hadir sebagai mitra ayah dalam pengasuhan, pengambilan keputusan, dan pembinaan karakter anak.
Ketika konflik hadir—sebuah keniscayaan dalam kehidupan—ibu memainkan peran penyeimbang emosional dan penjaga kebijaksanaan. Dengan demikian, keluarga tetap utuh, fungsional, dan mampu menjadi ruang tumbuh yang sehat bagi generasi.
Ketahanan Fisik (Ishlah al-‘Adah)
Ketahanan fisik keluarga dibentuk melalui kebiasaan hidup yang tertib dan sehat. Dalam Ishlah al-‘Adah, ibu menanamkan budaya kebersihan, kedisiplinan, serta kepedulian terhadap kesehatan jasmani dan lingkungan.
Pola makan keluarga, kebersihan rumah, hingga keteraturan aktivitas harian bukan sekadar rutinitas teknis, melainkan pendidikan karakter. Dari kebiasaan itulah lahir pribadi yang bertanggung jawab, teratur, dan beradab dalam menjalani kehidupan.
Ketahanan Ekonomi (Ishlah al-Iqtiṣhod)
Dalam dimensi ekonomi, ibu berperan sebagai pengelola rumah tangga yang bijak dan penjaga keberkahan rezeki. Ishlah al-Iqtiṣhod diwujudkan melalui pengelolaan keuangan yang tertib, sikap hidup sederhana, dan perencanaan masa depan keluarga yang bertanggung jawab.
Anak dididik untuk menghargai usaha, memahami makna kerja keras, serta menjauhi budaya konsumtif. Ekonomi keluarga tidak semata diukur dari jumlah, tetapi dari kebermanfaatan dan keberkahannya bagi keluarga dan lingkungan.
Ketahanan Sosial-Psikologis (Ishlah at-Tarbiyah)
Ketahanan keluarga tidak hanya ditentukan oleh faktor materi, tetapi juga oleh kesehatan emosi dan kualitas pendidikan karakter. Dalam Ishlah at-Tarbiyah, ibu menjadi pendidik utama yang membimbing perkembangan emosi, membentuk adab, dan menanamkan kedewasaan sikap.
Melalui komunikasi empatik, kesabaran, dan konsistensi nilai, ibu mengajarkan anak mengenali emosi, mengelola tekanan, dan menghadapi kegagalan dengan tangguh. Pendidikan inilah yang melahirkan pribadi matang secara psikologis dan bertanggung jawab secara sosial.
Ketahanan Sosial-Budaya (Ishlah al-Mujtama‘ wa al-Ummah)
Ketahanan keluarga juga tercermin dari kualitas interaksi dengan masyarakat. Dalam Ishlah al-Mujtama‘ wa al-Ummah, ibu menanamkan kepedulian sosial, adab bermasyarakat, dan kesadaran sebagai bagian dari umat.
Anak dibimbing untuk menghormati perbedaan, peduli pada lingkungan, serta menggunakan teknologi secara bijak. Dengan demikian, keluarga tidak terisolasi, tetapi hadir sebagai agen harmoni dan perbaikan sosial di tengah masyarakat.
Penutup
Dalam bingkai ketahanan keluarga dan Ishlahuts Tsamaniyah, ibu adalah penggerak ishlah yang bekerja dari ruang paling dasar kehidupan. Melalui perannya sebagai pengasuh yang mendidik dan pendidik yang mengasuh, ibu membangun fondasi ketahanan umat dan bangsa.
Terima kasih, Ibu Hebatku. Dari ketulusanmu lahir iman yang kokoh, dari kesabaranmu tumbuh karakter yang tangguh, dan dari keteladananmu terbentuk generasi yang siap memberi manfaat. Engkau adalah pendidik peradaban yang bekerja dalam senyap, namun dampaknya mengalir panjang dalam sejarah umat.



